Ragu,
ragu-ragu, keragu-raguan, semua sama bukan? Mulai ragu, dan tengah ragu-ragu,
hingga menghadapi keragu-raguan. Beberapa malam terakhir seperti banyak ragu
dan kerabatnya muncul. Menyangsikan keputusan menjalin hubungan terlalu awal,
menyalahkan diri yang jatuh cinta sedemikian cepat, ingin menganulir, ingin
mundur saja, tetapi mengapa rasanya kepalang tanggung? Ada rasa berat yang menahan
Elok untuk melakukan itu.
”Kurang?”
Aco memecah lamunan Elok, malam itu di warung coto mereka berdua makan malam
bersama seperti biasanya. Aco memotongkan ketupat, menuangkan sambal dan kecap,
memeraskan jeruk nipis di mangkuk Elok. Aco pun mengambil sebungkus kacang
goreng dan kerupuk melinjo tambahan dari meja sebelah. Segelas teh hangat juga
sudah tiba siap diminum. Elok tak pernah diperlakukan demikian.
”Kok
diem aja dari tadi?” Aco
bertanya sembari memakan coto di hadapannya.
“Nggak
apa-apa, laper.” Elok menjawab sembari tersenyum. Ia berusaha menutupi pikiran
yang mengganggu.
”Kurang
sambelnya?” Aco memastikan.
”Pas
kok.” Elok kembali tersenyum. Aco mengangguk.
Elok
menatap lelaki di depannya, bulir-bulir keringat menetes. Aco seringkali
keringatan ketika makan. Lelaki itu tampak lahap, hingga Elok mulai mencoba
membuka obrolan.
”Kamu
pernah deket sama siapa aja di kantor?” Elok membuka dengan hal yang
mengganggunya akhir-akhir ini.
”Nggak
ada, kan aku sama Ratih.” Aco menjawab santai.
”Kalian
nggak pernah putus?” Elok penasaran.
”Nggak
pernah.” Aco menjawab dengan yakin sembari menggeleng.
”Kenapa?”
Aco bertanya balik.
”Nggak, ada
yang bilang kamu pernah deket sama Safira? Emang iya?” Elok bertanya serius.
”Safira?
Nggak ada sih. Dia kan sama Mas Juan?” Aco kembali menjawab dengan santai. Elok
terdiam.
”Siapa
yang bilang?” Aco bertanya lagi.
”Dia
sendiri.” Elok menjawab pelan.
”Apa dia
bilang?” Aco penasaran.
”Kamu
deketin dia sampai dia risih dan lapor ke Mas Juan.” Elok menceritakan kembali apa
yang ia dengar saat makan siang.
”GR banget.” Aco hanya menanggapi
singkat, sambil tersenyum kecil.
”Jadi
nggak pernah?” Elok kembali memastikan.
”Nggak pernah.” Aco masih menjawab
santai.
“Kalau Jenni?”
Elok berganti objek.
”Kok dia?” Aco terlihat bingung.
“Katanya kamu
sering godain dia, ganggu-ganggu dia sampai dia risih dan jauhin kamu.” Elok
kembali mengulang hal yang ia dengar. Aco tertawa kali ini. Ia terlihat amat
geli.
”Gila
ya, ngarang banget.” Aco masih tertawa geli.
”Ini
kata siapa lagi?” Aco bertanya lagi.
”Dia
sendiri.” Elok menjawab pelan.
”Mereka
kenapa sih?” Aco terus menampakkan wajah geli yang membuat Elok merasa sia-sia
melanjutkan topik ini. Walaupun Elok masih menyisakan 1 nama.
”Kamu
percaya mereka?” Aco bertanya sambil masih tertawa kecil. Elok mengangkat
pundak, tanda tak tahu.
”Kamu
lihat aja kelakuan mereka, mungkin nggak kalau aku suka?” Aco mengarahkan Elok
pada kesimpulan yang ia mau.
”Safira
emang ke-GR-an, beberapa kali dia bilang andai dia belum sama Mas Juan dia
mungkin bisa sama aku. Tapi aku nggak nanggepin.” Aco menyampaikan itu dengan meyakinkan.
”Jenni?
El menurutmu dia tipeku? Mungkin nggak aku suka cewek kayak dia?” Aco menatap
Elok dengan intimidatif.
”Mungkin
aja.” Elok menjawab polos.
”Kamu
nggak kenal aku berarti. El, nggak mungkin aku suka cewek sepasif itu. Bukan
tipeku. Dan kalau dia bilang aku godain dia, sumpah itu hal paling aneh yang
aku denger. Asli Jenni parah.” Aco berbicara sambil menggelengkan kepalanya.
Elok tak
punya tenaga lagi untuk membalas ucapan Aco, dengan beberapa argumen itu saja
Elok merasa masuk akal apa yang Aco sampaikan.
”Yang
penting sekarang kita.” Aco melihat Elok dalam-dalam. Elok menunduk, tak bisa
ia melihat wajah itu terlalu lama. Aco mengusap-usap punggung tangan Elok.
Usai
mereka pulang dan kembali ke kost masing-masing, Aco menelepon Elok. Rutinitas
itu benar-benar mereka lakukan setiap malam.
”Sudah siapin
minum?” Aco dari layar
ponsel..
”Sudah.” Elok menjawab
sembari memperlihatkan sebotol air mineral.
”Aku
sekarang pakai instagram.” Aco memperlihatkan akun instagramnya yang baru ia
buat. Elok tersenyum, itu hal yang ia sarankan pada Aco sebelumnya.
”Boleh
nggak fotonya ini?” Aco memperlihatkan foto mereka berdua saat mereka makan
berdua di warung coto, foto itu yang ia pasang sebagai profile instagramnya.
”Boleh.”
Elok mengangguk saja. Elok melihat akunnya, lalu mengikuti dan mengunjungi
profile kekasihnya itu. Beberapa orang sudah ia ikuti, yaitu om, tante, sepupu dan
adik-adiknya. Tetapi saat melihat kolom pengikut, ada beberapa kawan kerja yang
sudah mengikuti Aco.
”Yakin
nggak apa-apa fotonya?” Elok baru tersadar.
”Nggak
apa-apa.” Aco santai.
”Ada Mas
Iyan.” Maksud Elok di kolom pengikut.
”Ya
nggak apa-apa mereka tau, masa mau sembunyi-sembunyi terus?” Aco terlihat
yakin. Hati Elok menghangat, seharusnya sedari awal tak perlu ia ragukan
kekasihnya itu. Kalaupun benar ia pernah dekat dengan siapapun sebelumnya,
bukankah itu sudah masa lalu? Dan Elok tak punya hak menghakimi itu. Elok mulai
meyakinkan diri untuk tidak lagi mempermasalahkan hal itu. Persetan dengan
Safira, Jenni, Dinda, semuanya ia tak peduli. Ia hanya ingin fokus pada Aco.
**
Malam itu usai menutup telepon Aco,
Elok membuka Line. Disana ada pesan dari Gardana. Pesan beberapa menit lalu
yang belum Elok baca.
”Udah
tidur?” Elok membuka pesan itu, tetapi ia enggan membalasnya. Menyadari Elok
membaca pesannya, Gardana mengirim pesan tambahan.
”Boleh telepon bentar?” Belum
sempat Elok membalas, Gardana sudah menelepon.
”Iya.” Elok
sedikit gugup.
”Apa
kabar?” Gardana bertanya lirih sedikit berbisik.
”Sehat.
Kamu?” Elok bertanya balik.
”Sehat,
alhamdulillah aku sudah lulus.” Gardana menyampaikan kabar baik itu dengan
senyum getir.
”Alhamdulillah.
Sudah tau mau lanjut kemana?” Elok berbasa-basi.
”Belum
tau, tapi kayaknya kerja.” Gardana menjawab hati-hati.
”Good luck ya.” Elok terus
berbasa-basi. Ia seperti ingin segera mengakhiri panggilan ini.
”Gimana
sama Zidane?” Gardana mengetahui nama asli Aco.
”Baik
kok.” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Elok.
”Oh ya
aku denger kamu sekantor sama Dharma ya.” Gardana membuat Elok semakin ingin menghindari
topik ini.
”Iya.”
Elok menjawab pelan.
”Ya udah,
lanjut aja kalau mau tidur. Jaga kesehatan.” Elok bergegas menutup panggilan
itu. Ia merasa tak enak dengan Gardana, ia pun merasa bersalah dengan Aco, ia
merasa sudah membohongi Dharma, semuanya membuat ia gelisah. Malam itu ia sulit
tidur, banyak hal yang mengganjal pikirannya.
**
Setelah
jam kerja berakhir, Elok pulang lebih dulu. Aco masih ada agenda rapat dan
belum ada tanda-tanda hendak pulang. Sesampainya di kamar, Elok menerima
panggilan dari Dharma, awalnya Elok mengira ini terkait pekerjaan.
”Halo,
iya.”
”Lagi
dimana El?” Suara Dharma terdengar jelas.
”Udah di
kost, kenapa?” Elok menjawab cepat.
”El,
kamu serius sama cowok itu?” Dharma bertanya dengan tegas.
”Kamu
nggak tau tabiatnya?” Dharma semakin meninggi.
”Iya aku
udah denger kok dia pernah deketin Dinda ya?” Elok menjawab santai.
”Terus
kenapa kamu lanjut?” Dharma terdengar marah.
”Makasih
ya udah khawatir, aku juga masih cari tau gimana dia sebenernya.” Elok mencoba terdengar welcome
dengan nasihat Dharma. Walaupun dalam hatinya ia sudah bertekad untuk tidak
mendengarkan apapun.