Kepada Tikus

 

Anehnya pion-pion itu terus merasa tinggi

Padahal harganya kami yang beri

Angka yang masuk ke perutmu itu hasil kami

Mengapa sulit sekali tahu diri?

 

Bagaimana jika kita biarkan gelap terjebak sunyi

Kita bungkam, riuh hanya menetap di kepala

Yang terdengar hanya iya-iya saja

Apa tidak menjadi semakin suram negeri ini?

 

Satu, dua, sepuluh dekade mendatang

Akan ditentukan dari usaha kita hari ini

Terus teriakkan dengan lantang

Sejahtera itu hak anak cucu kami

Mantra

 

Bertaruh pada hidup

Bunga-bunga di kepala dibiarkan redup

Perasaan baik datang dan pergi

Lalu kembali lama sekali

 

Berkawan dengan gagal

Hingar-bingar kejayaan tak dikenal

Mencoba lagi dan lagi

Lalu bangkit ribuan kali

 

Semoga peruntunganku hari ini

Mantraku setiap pagi

Ah

 

Menerjemahkan diri

Ingin itu ingin ini

Desember resolusi

Diulang Januari

 

Aku ini apa? Entah

Kedinginan di bawah terik

Merasa haus di tengah hujan

Semua ada, namun tidak dengan jiwa

 

Selalu ada yang belum

Rasanya tak pernah ada momentum

Sekadar lewat, tak berarti

Hidup sekarat, lalu abadi

 

Semua membeku

Tidak punya banyak waktu

Pikiran dan kaki tangan

Tak pernah bisa beriringan

 

Harapan koyak

Angan menjadi artefak

Asa kian nihil

Usaha demi usaha mustahil

 

Ah

 

 

Terjaga


Tak ada pulas, aku terjaga

Kepalaku berat, nafasku terbata

Kuhilangkan isi kepala satu dua

Terus kembali tiga empat lainnya

 

Seringkali aku bertingkah demikian

Menghadapi tidur yang tak teratur

Memikirkan apakah ini begadang atau kepagian

Lalu menyesal kemudian

 

Banyak yang terlintas

Masalah lalu lalang seperti rutinitas

Otakku sibuk membiarkan mereka saling serang

Apakah memikirkan ini siang tidak memungkinkan?


Dua Belas

Seperti datang sebagai penumpang

Aku tak punya kendali

Kupikir hidup ini mudah menjadi pemenang

Naif sekali

 

Untukku yang ambisius

Masaku sudah terputus

Apa itu juara?

Dua belas mengajarkan aku rela

 

Aku mengutuk diri

Apa karena aku lalai?

Lalu kuhardik lagi

Kemana larinya nilai-nilai?

 

Dalam sedih yang teramat

Dan kecewa yang sungguh berat

Aku kali pertama tahu

Aku tak sehebat itu


Delapan Belas

 

Melihat diri di delapan belas

Saat kecewa, mimpi-mimpi tergilas

Nyaman? Tak jua tiba walau aku memelas

Ini realitas?

 

Keadaan begitu kejam

Aku dipaksa memendam

Ingin berilmu saja perlu uang

Sedikitpun tak tampak peluang

 

Menyesuaikan diri

Menurunkan ekspektasi

Enyahlah rasa iri

Apalah itu edukasi

 

 

Satu

 

Dalam cerita yang kudengar & ingat

Aku seperti teman kecil penghilang penat

Ayahku buruh, ibuku di rumah berpeluh-peluh

Aku merengek dan mengaduh, gaduh

 

Tak ada rumah, apalagi megah

Tak ada tanah, apalagi sawah

Tak ada

 

Cerita demi cerita tak luput dari sengsara

Aku adalah harapan besar mereka

Kalau besar mungkin menjadi pegawai negeri

Bukan seperti bapak yang buruh tani

 

 

 

Suatu Hari di 2017

 

Suatu hari di 2017

Aku menepi dari rutinitas

Datang kepada ikan-ikan

Tanpa pelindung arus pun diterjang

 

Jika hari itu aku tenggelam

Disantap ikan, dihantam karang

Diombang-ambing  sampai tak seorangpun menemukan

Kiranya aku tak keberatan

 

Sebelum hari itu aku kewalahan

Jadi tak hidup pun tetap lumayan

Suatu hari di 2017

Aku berlari dari hidup yang naas

 

Sebelum Dua Angka

 

Sebelum dua angka

Tak ada satu, dua, tiga di angka pertama

Aku masih mengira

Dewasa akan bisa apa saja

 

Belasan menjadi penantang

Dua puluhan menjadi unggulan

Tiga puluhan menjadi teladan

Empat puluhan? Sulit kubayangkan

 

Kupikir hidupku akan hebat

Yang indah-indah kuangankan sekelebat

Karena apalagi yang kupunya?

Mengelukan harapan dan asa

Hanya itu satu-satunya cara

 

Mawas Diri

 

Ketakutan dan mawas diri

Mengapa ini teramat dekat sekali

Dinding, tak ada yang bisa membatasi

Dilema, seperti niscaya, aku terbebani

 

Gangguan bukan dari penantang

Aku tampak tenang, namun isi kepalaku berkeliaran

Bajingan, kuhunus pedang ke pikiran

Kuteriakkan lantang

“Bubar kau setan!”

 

Di dimensi lain, aku takut jika tidak takut

Apa jadinya aku jika tak punya kalut

Tertinggal, percuma, sia-sia

Jangan sampai itu jadi akhirnya

 

Mawas diri, aku ingin terus merawat ini

 

Mati

 

Setengah mati

Mati-matian

Mati

Lalu tak berarti

 

Yang kupikir benar akan pudar

Masalah terkadang membesar

Padam keesokan, menyala kemudian

Aku kewalahan terus terang

 

Tujuan yang kuimpi

Titik yang kutiti

Aku berapi-api

Rasanya setengah mati

 

Usahaku tak berkesudahan

Pikiranku tersita begitu dalam

Kuajak maju segelintintir

Akhirnya kami mati-matian

 

Tampak suaraku didengar sekian kali

Beberapa kali lainnya aku tak diamini

Mereka lihat aku mudah untuk dibenci

Yang kuperjuangkan terasa mati

 

Sudah kuambil duri-duri

Pada akhirnya tak berarti

Kurang Sekarang

 

Memulai dari kurang, lalu menjadi sekarang

Harusnya aku bisa berjalan melenggang

Tak melihat kemarin, hanya melihat ke depan

Bekas jejak kaki hanyalah rintisan

 

Ribuan rintang menyiksa bergantian

Bisa saja putus asa, jika tak ingat dendam

Aku harus bisa membalasnya

Sampai terngiang namaku di telinga

 

Dunia ini jahat seperti mulut para penjilat

Mereka elu-elukan yang dianggap hebat

Lalu menyisihkan yang tak berpangkat

Bangsat

Dua Satu

 

Kepadaku si dua satu

Habis semua muda berlalu

Menangis untuk yang tak sebegitu

Bodohnya aku

 

Andai bisa terulang

Ingin kukejar masa gemilang

Belajar dasar menjadi pemenang

Bukan pecundang pengemis si belang

 

Kukabarkan kepada dua satu

Jangan bodoh seperti aku

Terlena pada yang tak sebegitu

Asu

Tawan

 

Belasan tahun menjadi tawan

Mengakhiri ini rasanya sungkan

Apa ini benar atau keliru Tuhan?

Aku terlena tak keruan

 

Atasku tampak cemerlang

Bawahku tak punya masa depan

Aku keliru jangan-jangan

Bukan itu mimpiku kawan

 

Menata kalimat indah dan sedikit kesah

Perasaan dibiarkan liar lepas tercurah

Bukan hidup yang harus sempurna

Panutan ah aku muak menahannya

Di Antara

 

Belum usai penatku terlepas

Aku harus berlarian terengah-engah

Udara dingin, halimun utuh

Ini bentuk usaha atau sekadar patuh?

 

Menyiapkan jawaban berisi

Omong kosong sesekali

Berharap pengakuan

Di tengah banyak gempuran

 

Atas meremehkan, bawah tak percaya

Duka orang yang berada di antara

Jika ini terlewati

Bukankah aku mejadi sakti

 

 

Pejuang

 

Di balik meja aku duduk manis menunggu kesempatan

Biarlah mereka para pemuka dibiarkan bertandang

Dari wajah, asal-muasal, hingga tinggi badan

Aku tak masuk kriteria ke medan perang

 

Saat semua andalan terlewatkan

Giliranku menunjukkan keahlian

Kupatahkan label dan anggapan

Kupastikan aku bisa bertahan

 

Jika aku mati tertembak

Aku akan hidup kembali dengan hebat

Tak lagi kubiarkan kesempatan terlewat

Berjuang hingga nafas tercekat

Menjegal Prasangka

 

Kulangkahkan kakiku menuju mimbar

Kudapati tak seorangpun bisa kujegal

Mereka bak pemenang yang sudah ditentukan

Aku hanya mampu perlahan

 

Dalam doa yang khidmat

Kuberanikan diri penuh tekad

Aku pernah berhasil, hari ini pun bisa

Kuulang-ulang seperti mantra

 

Beberapa detik sebelum kuucap kata pertama

Aku merasa akan terbata-bata

Namun, yang menjegalku ternyata hanya prasangka

Pemenang yang ditentukan adalah aku orangnya

Tinggi atau Berarti

 

Pelan-pelan aku meniti jalan

Saat belum tiba aku bisa menggila

Penat, tetapi usahaku harus berkali lipat

Ingat, asal-usulku tak punya peringkat

 

Kiri-kanan beradu, aku linglung mencari tahu

Manakah tuju? Lagi-lagi meragu

Antara menjadi tinggi atau menjadi berarti

Sulit kupilih berkali-kali

 

 

 

Ragu

 

Saat pagi aku menjadi penuh dedikasi

Di malam hari aku ingin menyendiri

Di waktu tertentu aku ingin menjadi pejuang

Di waktu yang lain aku mengikuti perasaan

 

Terkadang aku ingin tampak tangguh

Tak sedikitpun mengaduh, tak pula gaduh

Tetapi tak jarang aku juga ingin mengeluh

Tampak muram, menceritakan rapuh

 

Aku yang berbeda malam dan pagi

Membuatku sulit menentukan ambisi

Waktu

 

Seperti mencintaimu

Selamanya memang tak akan cukup

Begitupun aku menjalani hari-hari

Waktu enggan berpihak, aku kalah telak

 

Bertemu dari petang hingga petang

Terik tak kunjung berbalik

Siang sibuk, malam mengantuk

Rencana akhirnya bertumpuk

 

Wahai pembunuh waktu

Enyahlah dari hadapanku

 

My Liberation Notes, K-Drama Dengan Naskah Terbaik

Judul : My Liberation Notes
Tayang Perdana : 9 April 2022
Stasiun TV : JTBC
Pemain : Son Suk Ku, Kim Ji Won, Lee El, Lee Min Ki, Lee Ki Woo, etc.
Genre : Drama



        Seringkali, penokohan dalam sebuah film atau series cenderung menyorot mereka yang menonjol. Peran utama jelas adalah mereka yang punya banyak porsi mencuri perhatian, yang paling hebat, yang paling baik, yang paling cerdas, yang paling kaya, yang paling cantik atau tampan, yang paling kompeten, atau jika film inspirasi maka akan diambil siapa yang paling banyak berjuang lalu berhasil. Tapi, tidak dengan drama ini.
        Peran utama digambarkan sebagai tokoh yang introvert dan tidak banyak bicara, tidak tampak sering terlibat, ia hanya gemar mengamati orang lain. Dan dari sana lah sisi menari drama ini. Kim Ji Won sebagai pemeran utama ditulis dengan sedemikian introvert tetapi memiliki pemikiran yang dalam. Hampir sepanjang drama, dialog-dialog yang relate.

"Jika aku bisa duduk dan bekerja di sini bersamamu, pekerjaan memuakkan ini pasti akan menjadi pekerjaan yang indah. Aku pasti bisa melalui semua ini. Sebenarnya, aku hanya bersandiwara menjadi wanita yang disukai banyak orang, dan menjadi wanita sempurna. Aku ingin berimajinasi bahwa diriku yang sekarang adalah orang yang disukai, dan selalu didukung orang lain sehingga hidupku nyaman. Aku ingin berpikir menjalani hariku dengan bahagia bersamamu. Begitulah pikirku. Alih-alih merasa sengsara dan menderita saat tidak bersamamu, aku berusaha semangat dengan memikirkanmu, bukankah aku hebat?" - Mi Jeong

" Ibuku bilang aku memang ditakdirkan bersifat buruk. Namun aku tak selalu begitu. Terkadang aku juga baik, yaitu saat gajian. Sehari itu saja. Aku jadi orang yang baik di hari itu. Orang akan menjadi baik saat punya uang dan saat mencintai. Memang begitu kenyataannya. Seseorang akan jadi lebih baik secara otomatis jika punya uang atau pria. Namun, aku tak punya keduanya. Bagaimana aku bisa punya semangat? Bagaimana bisa sifatku jadi baik? Kupikir perasaanku akan lebih baik jika mengeriting rambut, tetapi malah makin runyam." - Gi Jeong

"Katanya jika ada suara jangkrik, artinya suhu 24 derajat. Katanya mereka juga tahu bahwa sebentar lagi musim dingin. Maka itu, mereka sedang berusaha keras mencari pasangan agar tak sendirian di musim dingin. Bahkan hewan kecil seperti mereka saja bercinta. Sebagai manusia, bukankah seharusnya mencari pasangan juga? Binatang saja tahu pedihnya menjalani musim dingin sendirian. Mereka berteriak-teriak selantang itu, memberi tahu bahwa musim dingin datang, jadi jangan biarkan mereka sendiri. Kita harus juga begitu." - Gi Jeong

"Aku sudah muak. Entah apa yang salah dengan ini semua, hanya saja aku merasa muak. Berhubungan dengan orang lain bagaikan pekerjaan bagiku. Menjalani hari demi hari adalah pekerjaan berat." - Mi Jeong

"Aku selalu merasa kosong. Hanya ada pria-pria brengsek. Semua pria yang kutemui itu bajingan. Karena itu, pujalah aku agar aku merasa penuh." - Mi Jeong

"Setelah aku pikir lagi, para pria brengsek di hidupku selalu melihatku dengan tatapan begitu. Tatapannya bagai berkata kau orang yang payah. Itu membuatku merasa menjadi orang yang menyedihkan yang tidak berguna sama sekali. Hal yang membuat kita muak dan marah adalah tatapan seperti itu. Sebuah hubungan yang terus terulang saat kita malah menemukan kekurangan kita, saat kita ingin mencari tahu sisi kita yang pantas dicintai." Mi Jeong 

"Aku mau membotaki rambutku sampai habis. Maksudku, aku tidak pernah diuntungkan oleh rambut ini, tetapi mengapa aku harus terus menjaganya seakan-akan ini simbol kewanitaan? Aku harus susah payah keramas tiap pagi, dan mengeringkannya hingga pegal. Rasanya bak menderita seumur hidup karena rambut yang tak berarti ini. Jika dibotaki, aku pasti tak akan berharap apapun lagi. Dan hidupku akan menjadi ringan. Apa aku akan dipecat jika botak?" Gi Jeong

"Mereka yang bekerja di gedung setinggi itu pasti bermental baja. Mereka bisa saja terjun dari sana, tetapi menahan diri. Bukan terjun karena sengsara, tetapi karena emosi sesaat. Mudah untuk terjun saat emosi." Mi Jeong

"Orang-orang merasa takut saat mendengar guntur dan kilat, tetapi anehnya aku malah merasa tenang. Aku berpikir, akhirnya dunia ini berakhir. Itu yang selalu kuharapkan. Aku seperti merasa terkurung, tetapi tidak tahu cara keluarnya. Jadi aku berharap semua bisa berakhir bersama. Hidupku memang tidak amat sengsara, tetapi tidak juga bahagia." Mi Jeong

"Semua orang sedang dalam perjalanan menuju kematian mereka, kenapa mereka begitu excited dan bahagia?" -Mi Jeong

"Apakah aku memiliki tujuan? Apakah tidak boleh aku menjalani hidup meski tidak memiliki tujuan apapun? Aku tidak bisa memaksakan diri untuk hidup dan melakukan sesuatu yang tidak aku sukai." -Chang Hee

"Di pengalamanku, kamu akan berubah saat kamu melakukan sesuatu yang tidak pernah kamu lakukan sebelumnya." -Mi Jeong

Dan masih banyak lagi kutipan-kutipan lainnya. Drama ini benar-benar layak untuk dinikmati dan memiliki cerita unik dengan karakter kuat dan dialog-dialog yang tidak umum. Bagi orang yang senang dengan drama yang penuh dengan perasaan, maka My Liberation Notes bisa jadi opsi tontonan menarik.


- LM

25

 

Beberapa hari setelah perjumpaan kali pertama di warung Bu Ratmi tempo hari, Rokhani memberanikan diri menelepon Sanna. Sanna menyambutnya dengan ramah hingga sekali lagi menawarkan mampir ke rumahnya. Dari kunjungan pertama hari itu seusai dzuhur pada hari sabtu, Sanna dan Rokhani berbincang banyak. Agar menghindari gosip tetangga, Sanna sengaja berbincang di teras dengan ditemani Puang Ani dan Puang Ola. Perbincangan berlangsung santai tetapi sudah membahas hal-hal yang cukup serius. Termasuk status Sanna saat ini. Sanna dan keluarga seolah merasa nyaman berbincang dengan Rokhani yang memang pandai bicara. Ia juga bercerita tentang keadaannya yang masih sendiri hingga usia hampir 45 tahun itu.

“Masa tidak ada keinginan punya pasangan?” Puang Ola yang baru hari itu mengenal Rokhani dengan santai menanyakan hal yang sebenarnya sensitif itu.

“Ingin kak, tapi belumlah.” Rokhani menjawab dengan cengengesan.

“Kalau tidak sama Puang Sanna saja.” Puang Ola mencolek lengan Sanna. Dahi Sanna mengkerut, wajahnya masam.

“Mau kita?” Rokhani dengan nada bercanda.

“Jangan, anakku 4.” Sanna menjawab dengan tertawa diikuti tawa yang lain.

Semenjak hari itu, Rokhani jadi semakin sering mengunjungi Sanna. Terkadang hanya sekedar mampir membawakan sayur-sayuran, lauk-pauk, atau beras. Tak jarang pula datang hanya untuk memberi uang saku Fatiyah dan Andara, kalau Gemma jelas tidaklah mau. Dari yang terlihat, siapapun akan berpikiran bahwa ada yang spesial di antara Sanna dan Rokhani, atau terburuknya perasaan Rokhani pada Sanna yang spesial, bertepuk sebelah tangan, karena sikap Rokhani kentara sekali, orang berbeda kabupaten pun jika melihat interaksi mereka saat bertemu sudah pasti salah paham.

 

**

Sampai pada satu titik, Puang Takko dari Makassar mendengar cerita itu dari Puang Ola. Cerita tentang Rokhani, bujang tua yang bolak-balik mengunjungi Sanna, keakraban mereka pun dijelaskan dengan rinci oleh Puang Ola. Mendengar cerita itu dengan sigap saat libur bekerja Puang Takko pulang ke Palakka, ia ingin mendengar cerita itu secara langsung, dari istrinya hingga ibunya. Saat semua informasi ia rasa cukup, Puang Takko meminta Sanna untuk mengundang Rokhani ke rumah. Melihat kondisi yang ada, Sanna tidaklah keberatan. Walaupun memang di keluarga, Puang Takko termasuk yang paling didengar apapun yang ia katakan. Singkat cerita mereka pun bertemu.

“Jangan terlalu sering datang, tidak baik dilihat tetangga.” Niat hati Puang Takko menggertak. Rokhani hanya menunduk, ia tak banyak bicara malam itu.

“Ta suka dengan Sanna?” Puang Takko bertanya dengan suara keras. Rokhani masih tidak menjawab.

“Saran saya jangan. Sanna biar fokus sama anaknya saja. Saya dan keluarga pun sepakat tidak akan setuju.” Suara Puang Takko semakin tegas. Rokhani semakin tidak berkutik, ia sama sekali tidak bicara sampai Puang Takko menyerah mencoba berdiskusi dengan lelaki itu. Dari dalam dapur, Sanna merasa teramat malu dengan Rokhani, ia merasa pertanyaan Puang Takko terlalu ceplas-ceplos, sedang ia tak merasa jika Rokhani menyukainya, bahkan rasanya ialah yang menyukai lelaki itu, harus ia akui.

Tanpa banyak pertanyaan lagi, Rokhani pulang. Perbincangan di keluarga itu perihal Rokhani pun terus berlanjut dengan kesimpulan, jangan sampai lelaki itu datang lagi.

 

**

Apapun yang menjadi keputusan keluarga tak bisa menjadi penghalang apabila dua sejoli sudah ingin bersama. Sanna dan Rokhani diam-diam sudah dimabuk cinta. Tidak lagi bertemu, tetapi mereka bertukar kabar lewat SMS dan telepon. Sampai puncaknya, Sanna dan Rokhani mendaftarkan pernikahan di KUA Palakka. Pernikahan yang lebih seperti kawin lari, tetapi dilakukan dengan amat rapi dan tidak diketahui orang terdekat, Sanna dengan pintarnya meminta bantuan adik dari ayahnya Puang Kamal yang tinggal di Maros sebagai wali nikah. Singkatnya, mereka sah sebagai suami istri. Saat pertama kali keluarga di Palakka tahu, Sanna sempat menjadi bulan-bulanan dan masuk persidangan keluarga karena dianggap mencoreng kepercayaan keluarga. Tetapi apa mau dikata, pernikahan sudah dilakukan dan mau tidak mau restu harus sudah didapat.

Seminggu setelah kabar itu tersiar, Sanna sengaja membuat acara syukuran di rumahnya sekaligus memperkenalkan Rokhani secara resmi sebagai suaminya. Lelaki yang ia kenal sejak lama dan saat ini  ia sukai dan terlihat bertanggung jawab, dan sepertinya sangat baik, dan dan lainnya yang dengan mudah menjadi validasi keputusan yang Sanna anggap tepat.

**

Layaknya keluarga di Palakka, Aco pun tahu belakangan. Bahkan siapa Rokhani dari awal pun ia tak pernah dengar. Sedikitpun tak pernah ia bayangkan jika mamminya menikah lagi, seolah bagi Aco itu adalah penghianatan paling kejam pada mendiang ayahnya. Ia merasa kesal, tidak rela, tetapi di sisi lain ia juga mulai menyalahkan dirinya sendiri, apalagi saat Sanna beralasan bahwa apa yang Aco beri selama ini belumlah cukup. Aco mengakhiri panggilan telepon itu dengan perasaan marah yang tak terkira.

Selama beberapa hari paska kabar yang ia rasakan seperti hantaman itu datang, Aco menghabiskan malamnya dengan mengunci diri di kamar. Aco memilih banyak diam dan menjalani kehidupan bisu. Dadanya terasa sesak sekali. Seperti ada yang salah dari apa yang selama ini ia lakukan. Seperti tidak terima dengan apa yang ia dengar. Seperti ia gagal menjaga ibunya. Sedikitpun, Aco tak pernah memberikan celah dalam pikirannya untuk mencoba menerima lelaki itu. Mengganggapnya ayah? Cuih. Tidak sudi.

 

**

 

Sanna yang tengah dimabuk cinta punya seribu alasan pembenaran terhadap keputusannya. Sulit sekali membuat sekelilingnya paham bahwa jatuh cinta tidak hanya dialami remja atau dewasa muda, ia pun berhak. Seperti ingin meneriakkan keyakinannya itu pada semua orang, termasuk Aco, putranya. Ia ingin sekali menceritakan rasa mulas setiap kali jadwal ia bertemu Rokhani, lalu menceritakan debarnya yang tidak kunjung berhenti setiap bertatap muka secara langsung, belum lagi perasaan penuh harap yang ia percaya membawa kehidupan yang lebih baik baginya dan keempat anaknya. Selama kembali bertemu bujang tua itu, Sanna menjadi wanita penuh semangat yang bangun bagi dengan wajah berseri dan tanpa beban. Ia merasa hidup cukup walaupun miskin, kenyang walau kekurangan, dan bahagia walaupun menjadi musuh keluarga. Begitulah, tak ada yang paham isi hatinya.

Sedang Rokhani pun sama, ia seperti menemukan jawaban dari rasa penasarannya dahulu. Sanna yang pernah ia coba dekati namun seakan tidaklah memberi sinyal balik padanya kini terang-terangan menerimanya. Bahkan dengan penghasilannya yang tidak seberapa. Wanita cantik itu terlihat sama seperti puluhan tahun lalu di mata Rokhani. Ia pun lebih kurang memelihara debar yang sama dengan Sanna. Debar yang tak mudah dimengerti siapapun. Untuk itu, pantang baginya menyerah hanya karena seorang manusia bernama Takko melarangnya. Maju terus walaupun dengan cara yang cukup culas. Tapi ia lupa, selain Takko ada orang lain lagi yang menentang kenekatannya itu.

Sudah berhari-hari Aco malas berinteraksi dengan siapapun kecuali terpaksa, urusan kantor misalnya. Selebihnya, ia memilih banyak diam dan memasang wajah tidak ramah.

 

24

 

            Masa evaluasi Elok sudah hampir tiba, Keputusan ia akan menjadi karyawan tetap, perpanjangan kontrak, ataupun putus kontrak. Elok sedikit gusar perihal itu, dan berkali-kali harus berpikir keras bagaimana caranya agar pada masa evaluasi ini ia bisa maksimal menunjukan kinerjanya. Sedikit menggelikan bagi Elok, ia sedang berharap besar terhadap manusia, penilaian baik dari manusia, memvalidasi dirinya bahwa ia layak dipertahankan, dan itu membuat ia merasa jijik. Tetapi mau bagaimana lagi, ia tak punya pilihan.

            Sudah hampir dua minggu Elok pulang larut, ia membantu divisi keuangan untuk mengumpulkan dokumen-dokumen persiapan kunjungan dari luar. Di siang hari ia masih harus ikhlas menjadi pesuruh untuk hal-hal remeh-temeh yang sudah mulai nyaman ia lakukan. Seisi ruangan menyadari apa yang Elok lakukan itu, kentara sekali ia bertekad ingin diterima, usaha itu tampak penuh pamrih, hingga tak sedikit pula yang langsung mengkritik perilaku Elok dan beberapa orang lainnya memanfaatkannya. Tak terkecuali Aco yang mendengar hal-hal ganjil tentang Elok, ia risih, namun tak berhasil menasehati perempuan itu.

            Malam itu Elok masih bertahan di kantor hingga pukul 9 malam, Aco berkali-kali mengirim pesan dan mencoba menelepon, Elok mengaktifkan mode senyap, ia sibuk menyusun dan mengurutkan dokumen-dokumen berdasarkan urutan waktu agar mudah saat diperlukan. Hingga 30 menit berlalu, Elok tak jua merespon Aco. Aco sudah menduga kekasihnya itu belum pulang, hingga ia dengan sigap menuju kantor. Dengan berapi-api Aco mencoba menahan diri agar tidak meledak, hingga ia tiba di ruangan, masih terang-benderang, sayangnya hanya ada Elok disana, sendirian, Aco naik pitam. Tak banyak bicara, Aco menarik Elok dari kursinya.

            ”Apa sih, lepas nggak?” Elok berusaha melepas cengkeraman tangan Aco yang sangat kuat. Aco tak peduli, ia meraih ponsel dan tas Elok lalu menyeret kekasihnya itu keluar dari kantor. Bisa ditebak, mereka akan bertengkar hebat setelah ini. Aco tak sedikitpun melonggarkan cengkeramannya hingga mereka tiba di halaman kantor. Aco mencegat taksi yang lewat, memaksa Elok masuk dan meminta diantar ke kost. Elok tak berkutik, ia ketakutan. Bukan karena Aco marah, tetapi karena kekasihnya itu diam. Sepanjang jalan tak satu kata pun keluar dari keduanya. Hingga tiba di depan kost Elok, Aco mulai lepas.

            ”Kamu pikir itu bener? Hah? Mereka nggak akan peduli kamu pulang jam berapa, apa yang kamu kerjain. Nggak.” Aco terlihat sangat marah.

            ”Aku cuma usaha, salah?” Elok menangis, ia kelelahan sekaligus kesal dengan Aco.

            ”Bukan gitu cara kerjanya. Kamu jadi kacung, ngerjain semuanya sendiri, kamu pikir itu bakal berhasil?” Aco menarik nafas dalam dengan berat.

            ”Kamu emang selalu mikir aku nggak mungkin berhasil kan? Kamu selalu mikir aku KACUNG.” Elok semakin menangis.

            ”Kamu nggak pernah realistis.” Suara Aco meninggi, beberapa penghuni kost tampak mengintip lewat jendela kamar masing-masing. Menyadari itu, Aco menarik Elok keluar pagar.

            ”Aku mau kamu berhenti. Jangan jadi gila.” Suara Aco mengecil, namun penuh penekanan. Beberapa kali ia menekan giginya tanda teramat geram.

            ”Aku capek duduk di meja itu, kamu ngerti nggak?” Tangisan Elok menjadi-jadi. Ia berjalan meninggalkan Aco. Aco hanya diam, membiarkan Elok memasuki pagar, lalu pulang beberapa saat kemudian.

            Malam itu baik Aco maupun Elok meredam emosinya di kamar masing-masing, keduanya berharap perasaan ini segera hilang dan esok bisa bekerja seperti biasa, namun sayang hingga lewat tengah malam keduanya masih dalam keadaan tidak tenang.

            ”Udah tidur?” Elok yang masih terjaga mengirim pesan pada Aco. Ia menyadari, memaksakan diri untuk tidur dan berpura-pura tidak terjadi apapun tidak akan banyak membantu. Cukup lama Elok menunggu Aco membalas pesannya, ia meyakini Aco pun masih belum tidur. Ia bolak-balik memeriksa pesan itu, hingga akhirnya terbaca. Aco langsung menelepon.

            ”Kenapa belum tidur?” Suara Aco terdengar lembut, seperti orang berbeda dengan yang beberapa jam lalu.

            ”Nggak bisa.” Suara Elok parau.

            ”Istirahat, besok kerja.” Kepala Aco memang mendingin, tetapi dadanya berdebar kencang.

            ”Aku minta maaf.” Elok mengucapkannya dengan terbata.

            ”Aku juga, aku keterlaluan ya?” Aco terdengar menyesal.

            ”Nggak, aku ngerti kok maksudmu.” Elok mulai berpikir jernih.

            ”Aku nggak pernah sekalipun berpikir kamu nggak akan berhasil. Justru karena aku percaya kamu, aku ngerasa kamu nggak perlu berusaha sekeras itu.” Aco benar-benar lembut mengucapkan itu. Elok terdiam.

            ”Aku janji nggak akan bikin kamu susah.” Hati Elok menghangat mendengar itu, berapa kalipun mereka bertengkar, Aco memang selalu berhasil membuat amarahnya mereda. Atau mungkin memang ia tak pernah benar-benar marah pada Aco. Masih sama, Aco tanpa celah bagi Elok.

 

**

 

            Bertahun-tahun lamanya semenjak Jalal berpulang, Sanna menjalani hari-hari sebagai ibu dan menyambi sebagai pemetik kopi. Sekalipun Aco sudah berpenghasilan lumayan, tidak jua semua kebutuhan Sanna dan anak-anaknya bisa ditanggung serta-merta oleh Aco. Mungkin hanya kebutuhan pokok saja, asal bisa makan dan hidup layak, selebihnya jika ada keperluan tambahan, keperluan sekolah untuk tugas, patungan, ekstrakulikuler, uang jalan, menyumbang di acara hajatan, seragam arisan, belum lagi keperluan dadakan yang lain yang seringkali tidak terduga. Karena itulah Sanna masih perlu bekerja, agar tidak selalu memberatkan putranya. Dalam proses Sanna menjalani hidup sebagai orang tua tunggal, ia bertemu kembali dengan kenalan lama yang dahulu pernah menjadi kawannya di organisasi remaja masjid saat Sanna masih bersekolah SMP di Maros, jauh sebelum mengenal Jalal. Ialah Rokhani, anak lelaki dari orang tua asal Jawa Timur yang merantau ke Sulawesi Selatan. Rokhani menghabiskan masa SD hingga SMA di Maros, lalu ia merantau ke Kalimantan untuk waktu yang lama, dan setelah puluhan tahun itu ia kembali ke Tanah Sulawesi namun berpindah ke Kabupaten Bone, bekerja sebagai kuli bangunan untuk Haji Syarif, salah satu kontraktor bangunan ternama di Bone. Masih menjadi pertanyaan, di usianya yang hampir 45 tahun Rokhani belum menikah. Padahal jika dilihat-lihat ia tidaklah jelek, cenderung tampan, wajahnya kearab-araban, badannya tinggi tegap, dan yang lebih penting sekalipun ia bekerja di bawah terik dan gosong, Rokhani tetap terlihat menarik, ia cocok dengan pakaian apapun. Tak jarang perempuan-perempuan dari yang muda hingga berusia lanjut melihat Rokhani sebagai idola, objek untuk cuci mata.

Hari itu sepulang Sanna dari kebun, ia mampir ke warung tepat di sebelah balai desa untuk berbelanja sabun dan kapur barus. Saat menunggu Ibu Ratmi mengambilkan kembalian, Sanna mendengar suara yang merdu sekali masuk ke telinganya. Suara yang secara otomatis membuat Sanna dimanjakan dalam beberapa saat.

”Ada yang isi 20 bu?” Ucap lelaki itu sembari menunjuk rokok kretek yang ada dalam etalase.

“Habis om.” Bu Ratmi menyahut.

Secara tidak sadar, Sanna melihat wajah lelaki itu. Tidak asing pun tidak mudah pula ia kenali. Garis mukanya benar-benar khas, apalagi sorot matanya, tak ada duanya. Lelaki itu pun menyadari ia tengah diamati, lalu ia melakukan hal yang sama. Benar saja, Sanna tidak banyak berubah. Wajahnya masih cantik dan mirip dengan ia remaja. Jika pun dilombakan siapa yang akan lebih mudah dikenali, maka Sanna lah jawabannya.

“Andi Sanna Mardiat?” Dengan suara pelan nan ragu-ragu. Lama Sanna mencerna sapaan dari lelaki itu. Sampai ia hanya bisa bertanya balik.

“Kita pernah kenal dimana sebelumnya ya?” Sanna tersenyum sekaligus berpikir keras dimana ia menjumpai lelaki beralis tebal itu.

“Masjid At-Thoyibbah Maros.” Rokhani menjawab yakin.

“Masya Allah, iya ya? Tahun berapa itu? Kita sudah lama di sini?” Sanna menjawab sekaligus bertanya antusias.

“Sudah 5 bulanan di dekat Pasar Sentral. Rumahmu daerah mana?”

“Dekat dari sini, kapan-kapan mampir.” Sanna berbasa-basi. Lalu tanpa ragu Rokhani meminta nomor telepon Sanna.

23

 

            Enggan bertengkar di rumah, Aco membawa Elok ke sebuah tempat, Terowongan Sumpang Labbu yang juga sudah sering Elok dengar dari Aco. Di atas terowongan mereka berdebat, Elok hampir menangis, Aco berulang kali mengucapkan kalimat yang sama.

”Sekarang bukan masanya kita permasalahin itu. Kita sudah saling kenal keluarga, tinggal gimana kita maintain aja hubungannya.” Aco setengah putus asa, amarah Elok seperti membuncah.

“Kalian masih komunikasi, bahkan ke mammi? Dia sengaja?” Suara Elok setengah ia tahan.

”Dia sudah mau nikah sayang.” Aco kembali mengulang kalimat yang sama sekali tidak menenangkan Elok.

”Justru itu kenapa dia masih nggak tau malu? Harusnya dia urus kehidupannya sendiri.” Elok semakin hilang kendali, suaranya semakin berat.

”Kalaupun dia mau balik sama aku, belum tentu keluargaku mau. Dia sudah sama orang lain, ya sudah. Kamu berlebihan sayang.” Aco menarik lengan Elok, ia tak tahu apa lagi yang bisa dilakukan agar Elok tenang.

”Telpon dia sekarang, bilang nggak akan ganggu kamu lagi.” Sulit sekali bagi Elok berpikir jernih.

”Dia pasti akan ketawa kalau lihat kita begini.” Aco menarik nafas panjang, ia benar-benar putus asa.

”Kamu masih peduli pendapatnya?” Seperti kerasukan setan, Elok meminta Aco melakukan yang ia mau. Aco mengambil ponsel di dalam sakunya, lalu memanggil sebuah nomor. Tampak di layar, bahkan nomor itu tidak disimpan di kontak Aco, seperti nomor yang ia bisa hapal, bahkan seingat Elok Aco tak pernah menghapal nomornya. Elok kehabisan akal melihat kedua orang ini. Semakin ia merasa tidak mengenal Aco.

”Halo, iya.” Suara Ratih terdengar dari pengeras suara.

”Pacarku mau kamu nggak usah hubungi aku sama keluargaku lagi.” Aco langsung dengan lantang mengucapkan itu. Terlihat Aco menahan malu, tetapi tekanan dari Elok membuatnya terpaksa.

”Oh iya, kita sudah nggak ada apa-apa kan.” Ratih menjawab tenang. Terdengar ada rasa menang disana. Elok cemburu? Artinya ia tak cukup percaya diri. Mungkin seperti itulah kesan yang didapat Ratih.

Elok seperti menyesal meminta itu pada Aco, tak jua rasa lega ia dapat walaupun Aco sudah menelpon Ratih di depannya. Ia justru semakin gelisah, apalagi saat ingat bagaimana Aco dengan mudahnya mengingat nomor ponsel Ratih, entah ini sudah panggilan ke berapa, bisa jadi semua terjadi setelah Aco bersama Elok. Perasaan Elok berkecamuk hingga hari terakhir ia ada di kampung itu.

 

**

 

            Aco dan Elok menuju Makassar pagi itu, dengan mengendarai motor mereka melewati jalanan berkelok Bone-Makassar dengan pemandangan yang luar biasa indah.

            ”Mau mampir ke taman kupu-kupu?” Aco bertanya pada Elok.

            ”Boleh, belum tentu nanti aku bisa kesini lagi.” Elok menjawab dengan sarkas. Aco paham maksud itu.

            ”Berarti kamu pikir nggak akan kesini lagi? Sama aja kamu pikir kita nggak akan sama-sama?” Aco mencoba menegaskan. Elok terdiam. Ingin sekali iya mengamini perkataan Aco, tetapi lebih jauh ia berharap bisa kembali ke tempat ini terus dan terus.

            ”Bisa nggak kita tenang sebentar aja? Kamu selalu mikir yang nggak-nggak.” Suara Aco terdengar lembut, ia menarik tangan kiri Elok dan menggenggamnya sambil mengendarai motor. Elok tak berontak, ada perasaan hangat saat itu. Amarah Elok seperti mereda.

            Tiba di Bantimurung, Aco memarkirkan motornya. Sepanjang memasuki area, mereka disambut banyak kupu-kupu. Aco merangkul Elok, kemudian menggandengnya, tak henti mereka saling berpegangan satu sama lain.

            ”Sama aku aja ya.” Aco membisikkan itu pada Elok, kalimat yang justru sering Elok ucapkan hari itu terdengar dari mulut Aco. Kupu-kupu yang memenuhi tempat itu, seakan juga memenuhi hati dua sejoli itu. Di saat seperti ini, yang tersisa hanya perasaan yakin dan berharap bisa bersama orang yang sama selamanya.

 

**

 

            Menyisakan sehari untuk beristirahat, Elok sengaja mematikan ponselnya. Ia membenamkan diri di atas kasur dan memutar lagu-lagu dari pemutar musik miliknya. Sekitar pukul 3 sore, ibu kost datang mengetuk pintu kamar Elok.

            ”Mbak, ada yang nyari.” Elok keluar kamar dan mengekori ibu kost. Di teras sudah menunggu 2 anak kecil dengan tas lengkap.

            ”Loh kok di sini dek?” Elok menghambur peluk pada Denok dan Hapsari.

            ”Ikut mbah.” Hapsari menunjuk Ajeng yang berdiri di ujung teras, Ajeng teralihkan anggrek bulan yang cantik dengan beragam warna.

            ”Ibu telpon kamu nggak aktif.” Ajeng berjalan ke arah Elok, memberikan peluk.

            ”Ayok masuk.” Elok bergegas membawa mereka ke kamar agar bisa mengobrol dengan leluasa.

            ”Nginap ya?” Elok berbicara dengan Denok. Denok geleng-geleng.

            ”Mbakmu beneran nggak pulang.” Ajeng masih terdengar sedih.

            ”Dah biarin aja bu, anggap aja sudah ilang.” Elok kesal mengingat iparnya itu.

            ”Kasihan bocah-bocah.” Ajeng melihat ke arah Denok & Hapsari.

            “Kan ada aku bu.” Elok menunjuk dirinya sendiri dengan tegas.

            ”Mau kamu ngurusin mereka?” Ajeng bertanya serius.

            ”Mau.” Elok menjawab tanpa berpikir.

            ”Alhamdulillah.” Ajeng terdengar lega, tetapi mimik mukanya tak bisa menyembunyikan keraguannya pada jawaban Elok.

            ”Ibu sebenernya pengen kamu di kampung aja, biar bantu ibu jaga mereka. Kadang ibu kewalahan lo, mana kaki sering kumat.” Ajeng sembari memijat-mijat kakinya pelan.

            ”Kenapa nggak ibu aja yang pindah kesini. Jadi aku juga masih bisa kerja.” Elok ikut memijat kaki Ajeng.

            ”Ya kita lihat nanti lah.” Ajeng masih ragu memikirkan tempat tinggal jika harus keluar dari kampung.

            Malam itu Ajeng dan kedua cucunya menginap di kamar kost Elok, mereka banyak berbincang. Keresahan-keresahan Ajeng tumpah malam itu, Elok pun sama. Menceritakan hidup, merencanakan esok, semua terasa ringan saat beban itu dibagi.

 

**

 

            Mendengar kabar Ajeng menginap, pagi-pagi sekali Aco sudah tiba di kost Elok. Membawakan kue-kue untuk sarapan, Aco menyalami Ajeng.

            ”Sehat bu?”

            ”Alhamdulillah sehat.”

            ”Kami berangkat dulu bu.” Elok muncul dan langsung berpamitan sebelum sempat Aco berbincang dengan Ajeng lebih banyak.

            ”Kok buru-buru?” Aco penasaran.

            ”Jangan ngobrol dulu sama ibu, dia lagi sensi.” Elok mulai mengoceh semua cerita yang semalam ia bahas dengan ibu. Sepanjang jalan menuju kantor Aco mendengarkan dengan khidmat. Hingga sampai pada cerita rencana pindah Ajeng dan keluarga.

            ”Kamu yakin bawa mereka kesini?” Elok mengangguk.

            ”Kamu aja belum settle sayang.” Aco mencoba realistis.

            “Ya siapa tau setelah ini kerjaanku bagus.” Elok coba optimis.

            ”Aamiin.” Aco mencoba percaya saja, ia tak ingin mengacaukan optimisme Elok.

            Setibanya di kantor, Elok baru mulai berpikir. Sepertinya apa yang ia yakini tadi, tidak serta-merta akan mudah. Melihat memo yang ada di layar komputernya, tumpukan kertas-kertas yang menunggu dikerjakan, agenda meeting, serta pekerjaan-pekerjaan dadakan lain yang biasanya timbul tenggelam membuat Elok kewalahan sebelum memulai. Mengandalkan pekerjaan ini untuk menyambung hidup dengan kedua keponakan yang masih sekolah. Sudah tentu ia harus berusaha lebih keras, lebih tekun, lebih tangguh. Jika satu dua kali ia harus menangis, maka ia harus bangkit lagi ribuan kali. Seperti itulah pikiran berisik Elok pagi itu.

22

 

            Kalau kamu berharap orang lain akan bisa bersikap sesuai dengan apa yang selalu diharapkan, maka sebenarnya dunia ini hanya akan berjalan biasa-biasa saja. Tidak ada usaha yang lebih keras, semua orang saling baik dan membiarkan orang lain meraih segalanya lebih awal. Kita tidak akan sibuk dengan menerka-nerka, tak ada area abu-abu, semua berjalan pada putih dan lapang sekali melihat apapun, terang benderang tak ada kegelapan. Namun, sejak awal semuanya tidak diciptakan demikian. Sisi hitam dan putih dibiarkan hidup hingga lebih banyak manusia nyaman di area abu-abu, sisi yang bisa saja menyakiti kita tanpa disengaja. Hari-hari ini siapapun bisa melakukan itu.

            Aco bangun pagi-pagi sekali, ia sudah sibuk membersihkan rumah dari lantai hingga jendela-jendela. Elok belum tampak keluar kamar. Sedang Sanna sedang di dapur membuat sarapan. Dari luar Fatiyah berteriak memanggil Sanna, ia membawakan ponsel karena ada panggilan.

            ”Iye nak, apa kabar?” Ratih yang sudah tak tenang beberapa hari ini memberanikan diri menelepon Sanna. Sementara Sanna seakan paham akan telepon ini. Ia berusaha agar tidak membahas Elok yang sudah 3 hari ini menginap di rumahnya.

            ”Berapa hari dia disana mammi?” Ratih memang tidak sabaran, ia langsung saja bertanya. Sanna enggan membahas, tetapi mau tidak mau ia harus menjawab.

            ”2 minggu nak. Acaramu kapan?” Sanna mengalihkan pertanyaan.

            ”Ditunda mammi, harusnya bulan depan.” Di luar apa yang Sanna pikirkan.

            ”Kenapa?” Sanna penasaran.

            ”Masih ragu-ragu, dan kayaknya lebih baik ditunda.” Sanna merasa lega sekaligus bingung dengan ini. Ia termasuk orang yang menyukai Ratih, bahkan ia tak pernah berpikir bahwa gadis itu akan dijodohkan. Selama ini ia melihat Aco dan Ratih teramat cocok. Tetapi, pesan itulah yang sepertinya ingin disampaikan Ratih, bahwa ia belum yakin akan menikah, perjodohan itu belum benar-benar terjadi, dan ia seperti menyiratkan masih punya kemungkinan bersama Aco.

            Setelah panggilan pagi itu, Ratih kembali tak segan untuk menghubungi Sanna. Ia pun tak ragu-ragu menanyakan tentang Aco dan Elok. Tak hanya pada Sanna, Ratih pun kembali dekat dengan adik-adik Aco. Hingga mau tak mau, Aco menyadari itu. Sama seperti Sanna, Aco tampak lega mendengar kabar pernikahan perempuan itu ditunda. Tetapi bagaimana dengan Elok.

 

**

 

            Beberapa vendor sudah dibatalkan, cincin dan uang panai sudah dikembalikan, keluarga besar belum kembali bertemu setelah pembatalan ini. Nurdin enggan berusaha lebih lagi, sepertinya perjodohan ini memang tidak akan berhasil, sesederhana itu pemikiran Nurdin. Lelaki itu memilih menghabiskan waktu berlibur ke Makau untuk beberapa hari. Kedua orang tuanya akhirnya pun tak ingin ambil pusing, mereka justru masih berhubungan baik dengan kedua orang tua Ratih. Mencoba untuk memahami bahwa Ratih masih labil dan perlu waktu. Hanya itu yang bisa dipercaya kedua keluarga itu.

            ”Kamu dimana?” Pesan masuk dari Ratih. Nurdin belum berminat membalas pesan itu, apalagi ingat pertengkaran tempo hari.

            ”Ini mau bener-bener batal?” Ratih kembali mengirim pesan. Nurdin bingung membaca pesan itu.

            “Kalau nggak jawab berarti iya.” Nurdin hanya membacanya dari pop up pesan.

            “Bahkan kamu sama sekali nggak perjuangin aku.” Nurdin mengingat-ingat, yang saat itu ingin menunda adalah Ratih, tetapi kenapa sekarang perempuan itu mempertanyakan sikapnya?

            ”Oke aku akan bilang ke keluarga kalau kamu emang mau batalkan.” Nurdin muak, Ratih semakin drama. Pesan Ratih semakin membuat Nurdin yakin sebaiknya memang tidak mengiyakan ini dari awal. Ia seperti dibuat seolah-olah ia yang jahat, padahal Ratih lah yang selalu menghindar dan ragu, hingga akhirnya ingin menunda. Nurdin pun masih maklum saat Ratih masih menulis nama Aco di profil BBMnya, bahkan beberapa kali Ratih kedapatan menulis sesuatu tentang Aco yang bahkan saat itu ia dan Ratih sudah bertunangan, tetapi Nurdin merasa tak perlu mempermasalahkan itu. Ratih lah yang selalu berusaha menyulut perdebatan antar mereka, seperti mencari-cari bahan untuk bertengkar dan ujung-ujungnya merasa tersakiti. Nurdin memilih mengabaikan pesan itu hingga kemudian Ratih menghapusnya.

 

**

 

            Kampung yang selama ini hanya ia dengar, yang biasanya ia hanya bisa berimajinasi kali ini benar-bisa ia lihat secara nyata, kampung yang cukup nyaman dijadikan tempat tinggal. Rumah-rumah panggung yang tampak kokoh, orang-orang ramah yang saling sapa setiap kali berpapasan, keluarga dekat yang terasa sangat akrab dan menyatu, banyak hal yang membuat Elok takjub. Aco pulang kampung seperti sesuatu yang istimewa di kampung, Sanna libur ke kebun, keluarga silih berganti datang untuk melihat Aco, berkenalan dengan Elok, dan mereka sibuk memasak bersama atau sekadar berkumpul biasa. Hari itu semua sedang asik berkumpul membuat kapurung. Elok duduk di depan sebaskom adonan yang siap dibentuk. Ia mencoba membaur dengan ibu-ibu yang hampir semuanya menggunakan bahasa bugis. Elok hanya paham beberapa istilah, itupun jarang ia dengar di percakapan hari itu. Semua terasa asing.

            ”Diam-diam saja dari tadi?” Dengan dialek kentalnya Puang Ola bertanya pada Elok. Elok tersenyum saja, sadar kalau memang ia sedari tadi tidak paham apa yang dibicarakan.

            ”Nda mengerti dia.” Sanna tersenyum dan mencoba membantu Elok.

            ”Eee anak Puang Ame nda mengerti bahasa sini?” Semua terdiam. Elok bingung apa yang dimaksud. Fatiyah yang duduk di depan Elok tampak mencolek-colek Puang Ola. Sementara yang lainnya canggung. Tiba-tiba ponsel Sanna berbunyi tepat di samping Elok, muncul pop up pesan dari seseorang yang tidak asing.

A.Ratih Baru : Iya mammi, sampai ketemu di MKS.

            Dada Elok berdegup kencang, tak beraturan, sedikit sesak, penasaran, ia hanya berdoa semoga bukan Ratih yang ia tahu. Lekas-lekas ia mengalihkan pandangan kembali ke adonan di depannya dengan mimik muka yang sulit sekali ia sembunyikan. Belum lagi saat ia mengingat kata-kata Puang Ola saat menyebut Puang Ame, sejauh ingatan Elok itu kemungkinan besar orang tua Ratih, yang juga sudah dikenal lama di kampung. Tetapi Elok menahan diri untuk tidak tampak kecewa. Ia hanya terus berdoa agar situasi ini lekas berakhir, ia bisa beranjak ke kamar atau tempat lain yang bisa membuatnya lebih nyaman dan tenang. Aco bahkan tak terlihat dimana rimbanya.

            Setelah semua matang, keluarga laki-laki mulai berdatangan dan makan bersama. Aco barulah tiba berbarengan dengan yang lainnya. Dari sudut kanan ruangan Aco melihat-lihat ke arah Elok yang tampak sibuk, Elok melihatnya sesekali, tapi tatapan itu terasa hambar, Aco sadar ada yang salah dengan Elok, entah apalagi. Kini Aco pun berada di ketidaknyamanan, ia tak sabar segera berbicara dengan Elok dan menanyakan ada apa. Aco mengambil ponsel dan mengirim pesan, Elok tak terlihat berniat membacanya. Dengan perasaan tak tenang, Aco menunggu acara ini segera berakhir.

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...