Sabtu, 05 April 2025

15

 

            Ragu, ragu-ragu, keragu-raguan, semua sama bukan? Mulai ragu, dan tengah ragu-ragu, hingga menghadapi keragu-raguan. Beberapa malam terakhir seperti banyak ragu dan kerabatnya muncul. Menyangsikan keputusan menjalin hubungan terlalu awal, menyalahkan diri yang jatuh cinta sedemikian cepat, ingin menganulir, ingin mundur saja, tetapi mengapa rasanya kepalang tanggung? Ada rasa berat yang menahan Elok untuk melakukan itu.

            ”Kurang?” Aco memecah lamunan Elok, malam itu di warung coto mereka berdua makan malam bersama seperti biasanya. Aco memotongkan ketupat, menuangkan sambal dan kecap, memeraskan jeruk nipis di mangkuk Elok. Aco pun mengambil sebungkus kacang goreng dan kerupuk melinjo tambahan dari meja sebelah. Segelas teh hangat juga sudah tiba siap diminum. Elok tak pernah diperlakukan demikian.

            ”Kok diem aja dari tadi?” Aco bertanya sembari memakan coto di hadapannya.

            “Nggak apa-apa, laper.” Elok menjawab sembari tersenyum. Ia berusaha menutupi pikiran yang mengganggu.

            ”Kurang sambelnya?” Aco memastikan.

            ”Pas kok.” Elok kembali tersenyum. Aco mengangguk.

            Elok menatap lelaki di depannya, bulir-bulir keringat menetes. Aco seringkali keringatan ketika makan. Lelaki itu tampak lahap, hingga Elok mulai mencoba membuka obrolan.

            ”Kamu pernah deket sama siapa aja di kantor?” Elok membuka dengan hal yang mengganggunya akhir-akhir ini.

            ”Nggak ada, kan aku sama Ratih.” Aco menjawab santai.

            ”Kalian nggak pernah putus?” Elok penasaran.

            ”Nggak pernah.” Aco menjawab dengan yakin sembari menggeleng.

            ”Kenapa?” Aco bertanya balik.

            ”Nggak, ada yang bilang kamu pernah deket sama Safira? Emang iya?” Elok bertanya serius.

            ”Safira? Nggak ada sih. Dia kan sama Mas Juan?” Aco kembali menjawab dengan santai. Elok terdiam.

            ”Siapa yang bilang?” Aco bertanya lagi.

            ”Dia sendiri.” Elok menjawab pelan.

            ”Apa dia bilang?” Aco penasaran.

            ”Kamu deketin dia sampai dia risih dan lapor ke Mas Juan.” Elok menceritakan kembali apa yang ia dengar saat makan siang.

            ”GR banget.” Aco hanya menanggapi singkat, sambil tersenyum kecil.

            ”Jadi nggak pernah?” Elok kembali memastikan.

            ”Nggak pernah.” Aco masih menjawab santai.

            “Kalau Jenni?” Elok berganti objek.

            ”Kok dia?” Aco terlihat bingung.

            “Katanya kamu sering godain dia, ganggu-ganggu dia sampai dia risih dan jauhin kamu.” Elok kembali mengulang hal yang ia dengar. Aco tertawa kali ini. Ia terlihat amat geli.

            ”Gila ya, ngarang banget.” Aco masih tertawa geli.

            ”Ini kata siapa lagi?” Aco bertanya lagi.

            ”Dia sendiri.” Elok menjawab pelan.

            ”Mereka kenapa sih?” Aco terus menampakkan wajah geli yang membuat Elok merasa sia-sia melanjutkan topik ini. Walaupun Elok masih menyisakan 1 nama.

            ”Kamu percaya mereka?” Aco bertanya sambil masih tertawa kecil. Elok mengangkat pundak, tanda tak tahu.

            ”Kamu lihat aja kelakuan mereka, mungkin nggak kalau aku suka?” Aco mengarahkan Elok pada kesimpulan yang ia mau.

            ”Safira emang ke-GR-an, beberapa kali dia bilang andai dia belum sama Mas Juan dia mungkin bisa sama aku. Tapi aku nggak nanggepin.” Aco menyampaikan itu dengan meyakinkan.

            ”Jenni? El menurutmu dia tipeku? Mungkin nggak aku suka cewek kayak dia?” Aco menatap Elok dengan intimidatif.

            ”Mungkin aja.” Elok menjawab polos.

            ”Kamu nggak kenal aku berarti. El, nggak mungkin aku suka cewek sepasif itu. Bukan tipeku. Dan kalau dia bilang aku godain dia, sumpah itu hal paling aneh yang aku denger. Asli Jenni parah.” Aco berbicara sambil menggelengkan kepalanya.

            Elok tak punya tenaga lagi untuk membalas ucapan Aco, dengan beberapa argumen itu saja Elok merasa masuk akal apa yang Aco sampaikan.

            ”Yang penting sekarang kita.” Aco melihat Elok dalam-dalam. Elok menunduk, tak bisa ia melihat wajah itu terlalu lama. Aco mengusap-usap punggung tangan Elok.

            Usai mereka pulang dan kembali ke kost masing-masing, Aco menelepon Elok. Rutinitas itu benar-benar mereka lakukan setiap malam.

            ”Sudah siapin minum?” Aco dari layar ponsel..

            ”Sudah.” Elok menjawab sembari memperlihatkan sebotol air mineral.

            ”Aku sekarang pakai instagram.” Aco memperlihatkan akun instagramnya yang baru ia buat. Elok tersenyum, itu hal yang ia sarankan pada Aco sebelumnya.

            ”Boleh nggak fotonya ini?” Aco memperlihatkan foto mereka berdua saat mereka makan berdua di warung coto, foto itu yang ia pasang sebagai profile instagramnya.

            ”Boleh.” Elok mengangguk saja. Elok melihat akunnya, lalu mengikuti dan mengunjungi profile kekasihnya itu. Beberapa orang sudah ia ikuti, yaitu om, tante, sepupu dan adik-adiknya. Tetapi saat melihat kolom pengikut, ada beberapa kawan kerja yang sudah mengikuti Aco.

            ”Yakin nggak apa-apa fotonya?” Elok baru tersadar.

            ”Nggak apa-apa.” Aco santai.

            ”Ada Mas Iyan.” Maksud Elok di kolom pengikut.

            ”Ya nggak apa-apa mereka tau, masa mau sembunyi-sembunyi terus?” Aco terlihat yakin. Hati Elok menghangat, seharusnya sedari awal tak perlu ia ragukan kekasihnya itu. Kalaupun benar ia pernah dekat dengan siapapun sebelumnya, bukankah itu sudah masa lalu? Dan Elok tak punya hak menghakimi itu. Elok mulai meyakinkan diri untuk tidak lagi mempermasalahkan hal itu. Persetan dengan Safira, Jenni, Dinda, semuanya ia tak peduli. Ia hanya ingin fokus pada Aco.

 

**

 

            Malam itu usai menutup telepon Aco, Elok membuka Line. Disana ada pesan dari Gardana. Pesan beberapa menit lalu yang belum Elok baca.

            ”Udah tidur?” Elok membuka pesan itu, tetapi ia enggan membalasnya. Menyadari Elok membaca pesannya, Gardana mengirim pesan tambahan.

            ”Boleh telepon bentar?” Belum sempat Elok membalas, Gardana sudah menelepon.

            ”Iya.” Elok sedikit gugup.

            ”Apa kabar?” Gardana bertanya lirih sedikit berbisik.

            ”Sehat. Kamu?” Elok bertanya balik.

            ”Sehat, alhamdulillah aku sudah lulus.” Gardana menyampaikan kabar baik itu dengan senyum getir.

            ”Alhamdulillah. Sudah tau mau lanjut kemana?” Elok berbasa-basi.

            ”Belum tau, tapi kayaknya kerja.” Gardana menjawab hati-hati.

            ”Good luck ya.” Elok terus berbasa-basi. Ia seperti ingin segera mengakhiri panggilan ini.

            ”Gimana sama Zidane?” Gardana mengetahui nama asli Aco.

            ”Baik kok.” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Elok.

            ”Oh ya aku denger kamu sekantor sama Dharma ya.” Gardana membuat Elok semakin ingin menghindari topik ini.

            ”Iya.” Elok menjawab pelan.

            ”Ya udah, lanjut aja kalau mau tidur. Jaga kesehatan.” Elok bergegas menutup panggilan itu. Ia merasa tak enak dengan Gardana, ia pun merasa bersalah dengan Aco, ia merasa sudah membohongi Dharma, semuanya membuat ia gelisah. Malam itu ia sulit tidur, banyak hal yang mengganjal pikirannya.

 

**

 

            Setelah jam kerja berakhir, Elok pulang lebih dulu. Aco masih ada agenda rapat dan belum ada tanda-tanda hendak pulang. Sesampainya di kamar, Elok menerima panggilan dari Dharma, awalnya Elok mengira ini terkait pekerjaan.

            ”Halo, iya.”

            ”Lagi dimana El?” Suara Dharma terdengar jelas.

            ”Udah di kost, kenapa?” Elok menjawab cepat.

            ”El, kamu serius sama cowok itu?” Dharma bertanya dengan tegas.

            ”Kamu nggak tau tabiatnya?” Dharma semakin meninggi.

            ”Iya aku udah denger kok dia pernah deketin Dinda ya?” Elok menjawab santai.

            ”Terus kenapa kamu lanjut?” Dharma terdengar marah.

            ”Makasih ya udah khawatir, aku juga masih cari tau gimana dia sebenernya.” Elok mencoba terdengar welcome dengan nasihat Dharma. Walaupun dalam hatinya ia sudah bertekad untuk tidak mendengarkan apapun.

Jumat, 04 April 2025

14

 

            Hari jumat pada umumnya menjadi hari santai bagi hampir seluruh karyawan. Selain jam istrirahat yang cukup lama karena sholat jumat, juga karena jadwal rapat seringkali kosong di hari tersebut. Elok pun berangkat kerja dengan perasaan ringan, karena sabtu-minggu ia akan bersantai menikmati libur. Berjalan dari tempat parkir hingga naik ke ruangan Elok sengaja tetap mengenakan penyuara telinga. Musik slow mengalun membawa Elok pada perasaan damai dan relaks. Beberapa kawan yang ia jumpai di lift hanya ia sapa dengan senyum atau lambaian tangan. Tak ada satu suara pun yang ia biarkan mendistrak rasa bahagianya pagi ini, atasannya sekalipun. Elok tiba di ruangan, meletakkan tas, menyalakan komputer, kemudian ke toilet untuk merapikan rambut dan riasannya. Setelah usai ia ke pantry untuk membuat segelas kopi. Elok masih enggan melepaskan musik di telinganya, hingga Dharma menyapanya di pantry.

            ”Kapan rencana pulang El?”

            ”Pulang kemana?” Elok tersenyum.

            ”Ke Kuala.” Dharma menunjuk ke arah barat.

            ”Mungkin akhir tahun.” Elok tampak ragu-ragu.

            ”Lama banget. Nggak kangen abang?” Dharma tersenyum, Elok pun turut tersenyum, ia paham maksud kawannya itu. Sebelum Elok bekerja, Gardana pernah beberapa kali membawa Elok ke kampung halamannya, dan bertemu Dharma disana. Saat tiba di kantor ini, Elok baru sadar jika Dharma satu kantor dengannya, karena lebih seringnya Dharma tugas di luar kota.

            ”Masih kan?” Dharma memastikan. Elok menggangguk saja sembari tetap tersenyum. Ia seperti tak ingin menjawab dengan gamblang. Biar saja ini menggantung saja. Biar mereka yang menyimpulkan sendiri. Mungkin itulah yang dipikirkan Elok.

            Seperti sudah mendapatkan jawaban yang ia mau, Dharma berlalu meninggalkan pantry. Elok tiba-tiba merasakan tubuhnya lemas. Jantungnya berdegub kencang seperti tengah meluapkan rasa bersalah. Pikirannya tak jelas berlarian ke sudut-sudut kemungkinan yang ia benci. Entah mengapa.

Perasaan kacau itu tiba-tiba buyar saat Afif menelepon.

“Halo iya.”

“Bantu cek jadwal meeting sama team legal kapan El?” Dari jauh Afif terdengar terburu-buru. Elok bergegas ke mejanya.

            ”Selasa, jam 2 siang.” Setelah melihat jadwal yang ada di komputernya.

            ”Bantu re-schedule dong. Selasa ada keperluan mendadak nih.” Afif meminta pada Elok.

            ”Maunya kapan? Karena Pak Abu yang minta di hari itu.” Elok mengingat-ingat saat Pak Abu kebingungan mengatur jadwalnya dengan team legal.

            ”Pak Abu mah gampang, yang penting kan hasilnya.” Afif tetap ingin jadwal diubah. Elok patuh, ia coba menghubungi team legal dan mendapatkan jadwal sesuai keinginan Afif, mundur 2 minggu.

            “Oke sudah aman.” Elok mengakhiri telepon.

            ”Siapa?” Aco sudah berdiri di hadapan Elok dan menanyakan yang ia telepon.

            ”Afif.” Elok menjawab sambil menutup ponselnya.

            ”Ngapain dia?” Aco bertanya lagi dengan nada yang membuat Elok kurang nyaman.

            ”Minta bantu re-schedule meeting doang.” Elok menjawab dingin.

            “Kok ke kamu, kan bisa ke adminnya.” Pertanyaan Aco mulai intimidatif. Elok tak bisa menjawab lagi.

            “Lain kali arahin ke Dinda aja, jangan kamu yang kerjain.” Aco mengucapkan itu dengan penuh penekanan, lalu meninggalkan meja Elok dan berjalan menuju toilet. Elok masih tak memahami situasi yang baru terjadi. Ia seakan ditegur untuk hal yang bukan kesalahannya. Tetapi ia tak punya jawaban untuk membela diri. Tetapi ia juga kesal dengan sikap Aco yang seakan memojokkannya. Tetapi-tetapi yang lain yang membuat Elok merasa hari itu ada sisi lain Aco yang baru ia lihat.

            Dari jauh ternyata Dharma mengamati situasi itu, wajah Aco yang intens melihat ke arah Elok, Elok yang tampak menjawab dengan takut-takut, semua itu terasa janggal bagi Dharma.

 

**

 

            Lama Elok tampak menganggur, tak terasa bell istirahat siang berbunyi. Seisi ruangan berebut keluar untuk makan siang. Elok masih berdiam diri di meja, ia masih bingung hendak makan apa hari ini. Beberapa kawan perempuan mengajaknya makan bersama, Elok menolak dengan halus. Karena siang ini bebar-benar istirahat panjang dan sayang jika hanya tinggal di ruangan.

            ”Ayok El, kita mau makan kepiting.” Safira yang keluar dari toilet mengajak Elok. Safira seperti orang terakhir yang ada di ruangan. Para lelaki sudah menuju masjid untuk sholat jumat.

            ”Dimana?” Elok bertanya dengan kurang semangat.

            ”Arah Manggar, yuk. Udah pada nunggu di bawah.” Safira meyakinkan. Seperti kena hipnotis Elok mengikuti ajak Safira.

            Di depan kantor sudah berkumpul sekitar 4 orang termasuk Bu Santi. Mereka menunggu Jenni mengambil mobil di parkiran.

            ”Tumben mbak mau ikut.” Bu Santi sedikit kaget melihat Elok. Saat Jenni tiba pun ia kaget melihat Elok yang tiba-tiba mau bergabung makan siang dengan mereka.

            Tiba di salah satu restaurant seafood, mereka sudah siap memesan menu combo yang bisa dimakan bersama. Saat menunggu makanan datang, masing-masing dari mereka sudah sibuk mengobrol. Yang tersisa hanya Elok dan Safira yang diam saling berpandangan. Mereka canggung, seperti ada yang ingin ditanyakan.

            ”Kemana libur kemaren El? Katanya kamu pulang ya?” Safira berbasa-basi. Elok tak siap mendengar pertanyaan itu. Ia kewalahan dan hanya memilih tersenyum dan mengangguk.

            ”Pulang kampung El? Ada acara apa?” Dinda ikut bertanya.

            ”Berapa jam sih El kalau dari sini?” Bu Santi juga turut menambahkan.

            ”Sekitar 8 jam bu.” Hanya pertanyaan Bu Santi yang dijawab Elok.

            ”Jauh ya? Capek banget.” Bu Santi menanggapi.

            “Denger-denger kamu dideketin Aco?” Tanpa basa-basi Jenni bertanya.

            ”Hah? Nggak.” Dengan spontan Elok menjawab. Dalam situasi itu seperti tidak tepat jika ia jawab dengan jujur.

            ”Iya janganlah ya.” Bu Santi terkekeh. Elok memilih tidak bertanya lebih lanjut.

            ”semua orang juga dideketin masalahnya.” Jenni menimpali Bu Santi sambil tertawa.

            ”Masa iya?” Bu Santi bertanya polos.

            ”Iya lah. Nih nih nih korbannya.” Jenni menunjuk Dinda, Safira, dan dirinya sendiri. Bu Santi terdiam tak lagi berkomentar, Elok pun sama namun kepalanya tiba-tiba dipenuhi banyak pertanyaan. Hatinya sedikit terluka. Kembali ada sisi lain yang sepertinya tidak ia ketahui dari kekasihnya itu. Atau mungkin ia memang belum mengenal lelaki Aco? Menyelesaikan makan siang dan kembali ke kantor dengan perasaan yang kurang nyaman.

 

**

 

            Elok tiba di kantor 5 menit setelah bel masuk. Aco sudah ada di mejanya. Aco sedikit terkejut melihat Elok datang bersama gerombolan ibu-ibu yang sedari awal ia wanti-wanti agar tidak Elok dekati. Pun setahu Aco, Elok juga tidak nyaman bergabung dengan gerombolan itu. Aco spontan langsung bertanya pada Elok.

            ”Darimana?” Aco mengirim pesan. Di mejanya Elok tampak membuka komputer dan sudah mulai bekerja.

            ”PING!” Aco mengirim pesan lagi. Elok masih belum membalas.

            ”PING!”

            ”PING!”

”PING!”

            ”PING!”

”PING!”

            ”PING!”

”PING!”

            ”PING!”

            Terus saja Ao mengirim pesan, tak terlihat Elok membalasnya atau sekadar membacanya. Aco tidak sabar menunggu, ia pun beranjak dari kursi dan menghampiri Elok.

            ”Mana Hapemu?” Wajah Aco tampak marah, Elok yang tengah membuat laporan seketika langsung merogoh ponselnya di dompet yang tadi ia bawa.

            ”Kenapa?” Elok bertanya sembari membuka ponselnya.

            ”Balas itu.” Aco melotot kepada Elok, suaranya pelan namun penuh penekanan. Wajahnya merah padam seolah kesalahan Elok amat fatal. Elok bergegas membalas pesan itu.

            ”Manggar. Makan kepiting.” Elok membalas.

            ”Sama mereka?” Aco kembali memastikan.

            ”Iya.” Elok membalas singkat.

            ”Kenapa? Tumben?” Aco kesal.

            ”Kenapa? Sesekali aja.” Elok membalas cepat.

            ”Terakhir ya, jangan lagi.” Aco melarang.

            ”Kenapa emang?” Elok bertanya.

            ”Mereka penggosip. Isinya ghibah kan pasti?” Aco curiga. Elok ingin sekali membahas dengan Aco yang tadi ia dengar, namun ia enggan karena masih merasa sakit hati dengan itu. Lebih tepatnya ia tak siap mendengar jawaban Aco. Ia memilih mengakhiri obrolan itu dengan mengiyakan kemauan Aco.

 

           

Selasa, 01 April 2025

13

 

Karyawan baru, pasangan  baru, bahan baru, rumor baru, semangat baru.

Seisi Main Office kini tengah ramai dengan konspirasi bolosnya 2 karyawan yang diduga tengah pergi berdua. Pembawa kabar pertama adalah Daniel, dan yang lainnya adalah Iyan. Daniel dan Iyan antusias memimpin sebuah rapat ghibah yang dihelat di meja kantin sepanjang coffee break. Dijamu seceret kopi dan sepiring kacang kulit, meja itu menjadi menarik bagi siapapun yang melintas. Agendanya jelas, Elok dan Aco. Beberapa dari mereka pada akhirnya bertaruh.

“100 ribu pertama mereka nggak pacaran. Aku kenal cowoknya Elok soalnya.” Dharma, teman  SMP Gardana saat di Bontang.

“100 ribu kedua mereka pergi berdua tapi nggak pacaran. Karena memang setau aku Aco punya pacar.” Kailani, orang yang cukup dekat dengan Aco.

“200 ribu mereka pacaran tapi bakal putus kurang dari 3 bulan.” Iyan bersemangat.

“Jahat lu yan.” Tigor mesam-mesem dengan taruhan Iyan.

“Aku yakin Aco nggak mungkin serius. Dan Elok juga kayaknya agak nggak beres nggak sih?” Iyan menambahkan.

“500 ribu mereka pacaran tapi akan backstreet beberapa saat dan akan cukup langgeng.” Daniel dengan cukup yakin.

Disusul taruhan-taruhan dari orang-orang lainnya yang juga tak kalah antusias dengan setiap kemungkinan-kemungkinan yang ditulis detail di catatan milik Daniel. Mereka bubar ketika bel tanda coffee break berakhir berbunyi.

Dharma dan Tigor masih belum puas dengan hasil rapat ghibah plus pertaruhan tadi karena ditutup sebelum beberapa hal ia rasa clear.

“Gor, ngerasa aneh nggak sih?”

“Aneh gimana?”

“Elok kalau sampai beneran dia sama Aco parah sih. Kamu ngerti kan maksudku?” Dharma yang merupakan kawan lama Gardana  masih belum terima dengan kemungkinan itu. Tigor mengangguk.

“Tipe Elok juga biasanya yang alim, baik, kalem.”

“Maksudmu Rumi?”

“Ya setipe Rumi. Sedangkan Aco?” Walaupun sebenarnya yang Dharma maksud adalah Gardana. Dharma melihat ke arah Tigor, mereka seolah berada di pemikiran yang sama. Bukan rahasia lagi, sebelum Elok menginjakkan kaki di kota ini, tersiar kabar bahwa Elok pernah dekat dengan Rumi. Entah darimana kabarnya.

“Ya kan?”

“Iya juga sih.” Tigor setuju dengan isi kepala Dharma yang bahkan tak perlu ia ungkapkan dengan kata-kata.

*

 

Di sisi lain di dalam office, beberapa ibu-ibu sedang berkumpul di depan sebuah meja yang di atasnya bercokol sebuah nampan berisi buah-buahan dan sambal rujak. Sulit dihindari, itu situasi paling menarik ghibah lain yang tentu saja versi ibu-ibu.

“Korban selanjutnya nggak sih?” Emma dengan antusias.

“Setelah gagal dapetin kamu kan?” Jeni menyahut sembari mengunyah mangga muda di mulutnya.

“Kamu sempat juga ma?” Safira bertanya kaget.

“Dipepet terus, sampai jijik sendiri.” Emma memperlihatkan ekspresi geli.

“Sama aku juga gitu.” Safira menambahkan. Jeni dan Emma kompak melihat ke arah Safira.

“Iya, beneran. Ngechat gombal-gombal dan sekalian saja kuberitahu Mas Juan.”

“Gila ya, padahal Mas Juan kan bosnya.” Jeni menggeleng-geleng.

“Nah itu dia. Memang agak sakit sih kayaknya.” Nona pun spontan mengalihkan ingatannya beberapa waktu silam saat Aco juga merayunya dengan modus serupa. Beruntungnya saat itu ia gesit memberitahu Dharma dan langsung dibentengi kekasihnya itu dengan berbagai macam petuah-petuah dan nasihat yang akhirnya membuat Nona tak perlu membuang banyak tenaga meladeni sikap sok kecakepannya Aco.

“Aku jamin Elok bakal ditinggal kok.”

“Iya, paling juga Aco cuma coba-coba.”

“Elok bilang dia punya pacar kok. Memang sama-sama aneh sih kayaknya.”

“Ya cocok sudah.” Yang satu main-main, yang satu pun sama.

“Biarin lah, nanti juga kena batunya.”

 

**

            Udara panas hari itu dilawan dengan semangkuk pisang  ijo dan seporsi coto plus iga bakar di sebuah warung makan. Sepanjang turun dari angkot, Aco enggan melepaskan genggamannya dari tangan Elok. Satu hal yang paling Elok suka adalah ini, sentuhan. Ia merasa ketika kekasihnya melakukannya di tempat umum menandakan ada sebuah deklarasi bahwa perempuan ini adalah milikku dan bagi Elok itu penting.

“Suka?” Aco mendapati Elok senyum-senyum sendiri saat Aco semakin kuat memegang tangannya. Elok mengangguk merespon itu.

“Sesuka itu sama aku?” Elok kembali mengangguk. Aco tersenyum lebar seolah menikmati jawaban-jawaban Elok.

“Aku nggak pernah kenal perempuan seceria kamu.” Itu yang meluncur dari mulut Aco kala itu.

*

Kabar kepergian mereka berdua tersiar cepat hingga sampai ke telinga Ratih, entah darimana asalnya. Yang jelas kebersamaan Aco dengan perempuan lain sebelum mereka benar-benar berpisah membawa awan hitam bahkah petir bagi Ratih.

“Nggak bisa banget ya kamu tunggu sebentar lagi?”

“Kenapa harus kamu pamer-pamerin di depan orang lain?”

“Agustus itu nggak lama.”

Berkali-kali Ratih mencoba menghubungi Aco, namun tak jua ia mendapat jawaban. Ketika kekesalan membuncah, keluarlah kalimat-kalimat tidak perlu yang bertujuan menyakiti hati Aco.

“Aku nyesel transferin kamu uang, aku pikir niatmu pergi untuk keluargamu, tapi malah sama cewek lain. Kamu seniat itu ya mau langsung move on?”

Tak jua pesan itu mendapat tanggapan, sementara Ratih menangis sejadi-jadinya. Ada ego yang terlukai, ego harusnya ia yang move on terlebih dahulu, karena ia yang lebih siap dengan perpisahan ini.

Saat sudah kelelahan menangis, Ratih tertidur dengan mata sembab. Ia tiba-tiba terbangun dengan nada pesan yang memang sengaja ia setting cukup nyaring. Pesan dari Aco.

“Nggak kok, dia cuma mau bareng aja kesini. Bukan siapa-siapa. Dusta yang sedikit menenangkan Ratih.

**

Bersama dengan sanak keluarga, Nurdin datang mengunjungi Ratih malam itu. Membawakan sebuah tiket dan bukti pemesanan travel agent, ia dengan sumringah menyampaikan tempat bulan madu mereka. Menceritakan rinci tempat tujuan hingga hal-hal seru yang bisa mereka habiskan. Ratih yang tengah menunggu telpon dari Aco menanggapi Nurdin dengan seadanya. Ia tak begitu antusias. Pikirannya terbagi di tempat lain.

“Kamu sehat kan?”

“Sehat, cuma agak ngantuk.”

“Mau istirahat sekarang?”

“Boleh?”

“Istirahat saja.” Nurdin beranjak dari teras dan membaur dengan keluarga lainnya di ruang tengah. Ratih bergegas ke kamar sebelum keluarga lain mencegatnya dengan banyak pertanyaan. Sayangnya, Fitri ada disana. Perempuan itu mengekori Ratih ke kamarnya dan berusaha membaca situasi.

“Sampai kapan de?”

“Kamu sudah mau menikah.”

“Masih mau ingat-ingat si kampret itu?”

Ratih menggeleng, tatapannya kosong, ia merebahkan diri sebelum matanya memanas dan menangis. Ia menangisi entah apa. Hatinya sedih, terlebih melihat Nurdin yang berlaku teramat baik. Sedang dalam kepalanya masihlah menyimpan Aco, Aco, Aco yang tak pernah melakukan apapun saat ia akan dijodohkan.

"Kenapa dia nggak mau sedikit berusaha kak?”

 

 

 

 

Senin, 31 Maret 2025

12

 

Membelah jalanan yang dikelilingi hutan Gunung Kasturi, Elok dan Aco tak hentinya berbagi dekap, berbagi cerita, hingga jokes receh yang mempertemukan tawa mereka di udara. Bolos dan menempuh perjalanan jauh berdua, setelah jadian kurang dari sebulan memang hal paling berani yang mereka lakukan. Udara malam yang dingin, ditambah AC bus membuat mereka tak henti saling berbagi dekap. Saat tengah malam, Elok mengeluhkan kakinya yang beku, kedinginan. Aco dengan sigap menggamit gulungan sepasang kaos kaki perempuan berwarna putih dengan sentuhan sedikit pink di bagian tungkai yang membuat Elok sedikit bertanya.

            ”Punya siapa?” Karena bisa dipastikan ini bekas pakai.

            ”Punyaku, salah beli.” Aco menjawab santai sambil memakaikan kaos kaki itu di kaki Elok. Elok enggan membahasnya lagi, walaupun ia cenderung tidaklah percaya. Sembari Aco memasangkan kaos kaki, Elok melihat wajahnya samar-samar dari pantulan lampu-lampu jalan yang mereka lewati yang berhasil merangsek masuk ke dalam bus. Elok menyadari, sulit tidak merasa bahagia di saat-saat seperti itu. Aco terlalu memperlakukannya dengan baik.

            Banyak mengobrol membuat mereka sukar menghindari topik-topik sensitif. Mantan pacar, masa lalu, alasan gagal di hubungan sebelumnya, kadar perasaan, masih sayang dan tidak, keluarga, aib, dan lain-lain. Semua dengan leluasa dibahas tanpa batasan apapun dan tetap merasa nyaman. Hingga, satu hal yang membuat mood Elok berubah.

            ”Aku pergi kali ini pinjam uang Ratih.” Elok terdiam saat Aco mengatakan itu, ia kesal bukan main karena dari cerita Aco sebelum ini, Ratih adalah mantan kekasihnya. Namun, anehnya hanya sesaat Elok terganggu dengan cerita itu. Dalam sekejap, ia bisa kembali mengembalikan mood seperti di awal, dan memaksakan diri agar tidak lagi merasa terganggu, menikmati perjalanan hingga tertidur.

            ”Kacang, aqua, mijon, kacang, aqua, mijon.” Elok terbangun saat mendengar dan merasakan seseorang meletakkan sebungkus kacang dan minuman kemasan di kursinya. Ia langsung mencari-cari dimana Aco, namun tak kunjung menemukan tanda-tanda dimana lelaki itu. Sekeliling sudah ramai dengan orang-orang yang silih berganti masuk ke dalam bus berjualan segala macam makanan. Dari kacang-kacangan hingga nasi bungkus, dari minuman kemasan hingga es plastikan. Di luar bus juga tak kalah ramai, para penumpang bus mulai berhamburan turun dan tersebar ke toilet, warung, mushola, dan beberapa bersantai di depan deretan bus sekadar untuk mengobrol atau merokok. Elok memutuskan turun dari bus dan mencari Aco.

            Masih dengan kesadaran yang belum begitu sempurna, Elok meninggalkan bus berharap tidak begitu sulit menemukan Aco. Benar saja, dari kejauhan tampak lelaki dengan tubuh tinggi tengah memecah kerumunan. Pada dini hari Aco masihlah seseorang yang terlihat menarik di mata Elok. Dengan T-shirt berwarna putih bergambar Nirvana, celana denim dengan sobekkan di bagian lutut, sneakers berwarna navy, dan wajah yang tampak lebih cerah dibanding manusia-manusia lain yang Elok lihat saat itu, membuat Elok tak sanggup menahan senyum dan perasaan berdebar yang sulit ia kendalikan. Jatuh cinta.

            ”Mau kemana?” Suara Aco terdengar parau, mungkin karena udara malam. Senyum simpul yang tersungging, dan telapak tangan yang dengan cepat mendarat di kepala Elok, membuat gadis itu tak punya banyak persiapan untuk menghadapi kondisi. Jantungnya nyaris copot, hatinya menghangat sekaligus berdebar, perutnya melilit, dan respon terhadap semua kondisi itu jelas menjadi di luar pikiran Elok. Elok tak canggung memeluk Aco, ini seakan reaksi paling natural yang seharusnya terjadi saat itu. Aco pun membalas pelukan itu dengan dekap yang sama.

”Tak ada dingin, tak ada orang lain, waktu sedang dibekukan oleh wanita paling bahagia di muka bumi, Aku.” – Elok.

**

Berlari dari kenyataan, menarik kembali sebuah keputusan, kembali pada masa paling indah sekaligus menyengsarakan, apa mungkin? Bahkan pilihan menjadi sengsara pun masih tak tampak menakutkan dibanding pernikahan ini.

Malam itu satu malam penuh Ratih tak bisa menghubungi Aco. Kekasih yang sebentar lagi akan menjadi mantan itu seharusnya memang masih dalam genggamannya. Mereka belum putus bahkan ketika pernikahannya dengan Nurdin, lelaki pilihan orang tuanya itu tinggal menghitung hari. Ratih seperti tidak pernah rela melepaskan Aco yang sudah lebih dari 4 tahun menemaninya.

“Halo mas, Aco ada di kamarnya nggak? Soalnya kutelpon nggak bisa.” Ratih memberanikan diri menghubungi Daniel, teman sekost Aco yang jadi satu-satunya orang yang Ratih kenal. Lama perempuan itu menunggu balasan Daniel, namun yang ia dapat jawaban yang tak sesuai harapannya. Ia merasa seperti dilupakan, padahal seharusnya ia yang melakukan itu lebih dahulu. Khawatir, hanyalah alasan yang paling mungkin ia pakai dibanding alasan curiga dan yang lainnya. Ratih gelisah sepanjang malam hingga beberapa hari kemudian, Aco benar-benar menghilang padahal sebelum itu Aco memintanya untuk mentransfer sejumlah uang.

Lamaran, foto prawedding, mengurus berkas ke KUA, persiapan gedung, katering, dekor, MUA, dokumentasi, seragam keluarga, tak mampu menyita pikiran Ratih seberat saat ia memikirkan Aco. Perasaan mereka berdua memang terlalu dalam, terlalu jauh, dan seharusnya, setidaknya bagi Ratih, tak mampu dipisahkan siapapun. Sayangnya, keadaan berkata berbeda.

Dalam kegelisahan, Ratih yang dalam hatinya pun diliputi rasa marah mulai mencoba mengalihkan pikirannya ke hal lain. Hal yang tetap membawanya pada ingatan tentang Aco, namun setidaknya tidak perlu memaksanya untuk terus menunggu kabar lelaki itu dengan putus asa. Ratih memusatkan emosinya dalam kepala, menatanya sedemikian rupa, dan mulai membuka folder “Personal” dalam laptopnya.

*

LDR, sebuah konsep hubungan yang sulit meyakinkan siapapun termasuk keluarga Ratih.

“Cari yang lain saja.”

“Yang pasti-pasti saja.”

“Yang serius saja.”

Saja-saja lainnya yang membuat Ratih tersudut dan akhirnya mengiyakan saat ia harus diperkenalkan dengan Nurdin. Yang memang tidak begitu dengan paksaan, logika-logika sederhana yang jika dipikirkan ulang tidaklah salah. Aco tak mungkin bisa serius, sedangkan usia Ratih sudah menuju 25 tahun, usia yang dalam keluarga Ratih dinilai sangat terlambat jika belum menikah.

Pertemuan pertamanya dengan Nurdin ditemani Fitri, kakak ipar Ratih yang mengenal Nurdin saat berbisnis di Johor. Jadilah, ketika Nurdin datang ke Makasar, Fitri mengatur segala macam hal agar keduanya bisa berkenalan. Sebuah restaurant di sebuah hotel di pusat kota Makasar menjadi pilihan Fitri.

Dengan cowl neck dress berwarna army dan rambut lurus yang dibiarkan tergerai, Ratih berjalan penuh percaya diri dengan stiletto berwarna hitam ditemani Fitri yang hanya mengantarkannya hingga loby hotel.

Saat melenggang menuju meja, Ratih sudah terfokus pada lelaki berjenggot tipis yang mengenakan tailored suit berwarna grey dan rambut tersisir rapi di sudut ruangan. Setelah berjarak sekitar 5 meter, lelaki itu berdiri dan melambaikan tangan pada Ratih.

“Hai.” Keduanya bersalaman dan Nurdin mempersilakan Ratih duduk. Malam itu menjadi malam yang membuat Ratih berpikir, mungkin perjodohan ini tidaklah terlalu buruk. Setelah malam itu, Ratih mulai membuka diri pada Nurdin dan seolah tidak pernah keberatan jika mereka melangkah ke hubungan yang lebih serius. Pikiran yang semakin menuju hari H, semakin ingin ia anulir. Ratih benci keputusannya.

 

 

Minggu, 30 Maret 2025

11

 

            SMPN 1 Kuala Timur, sekolah yang dipilih Elok. Setelah banyak teman yang lain memilih masuk pesantren, MTs ataupun sekolah islam lainnya. Elok tetap teguh pendirian ingin masuk SMP. Saat itu alasan Elok karena ekskul klub buku, tidak lebih dari itu. Perdebatan cukup sengit dengan Mahesh terjadi, ia ingin adiknya banyak belajar agama, tetapi Ajeng justru lebih santai.

            ”Ya biarkan lah bang, itu pilihannya.” Ajeng meyakinkan anaknya.

            ”Ibu nggak pengen anak ibu berilmu?” Mahesh emosi.

            ”Pengen, tapi nggak harus masuk pesantren.” Ajeng menjawab lembut.

            ”Ibu mau waktunya habis untuk ekskul nggak jelas itu?” Mahesh semakin keras.

            ”Kok nggak jelas? Itu justru kumpulan anak-anak pinter bang.” Elok menjawab.

            ”Kamu nggak tau disana nggak ada filterring tema bacaan? Ada buku dewasa juga dan kamu mau ikut? Nggak bisa. Kalaupun kamu masuk SMP, abang nggak izinin kamu ikut klub buku.” Pendapat paling konyol dari Mahesh yang membuat Elok ilfil. Dari sana Elok merasa sudut pandang abangnya dalam melihat sesuatu teramat sempit. Wajar jika ia sangat yakin memilih Ranu sebagai istri, karena ya memang abangnya itu tidak bisa berpikir lebih jernih.

            Elok meninggalkan perdebatan konyol itu dan masuk kamar, ia lebih memilih menyudahi itu, walaupun dalam hatinya tetap yakin akan melawan abangnya, apapun kondisinya. Ajeng mengekori Elok, ia mengetuk pintu kamar lalu masuk sebelum Elok sempat menjawab.

            ”Nggak apa-apa kalau memang kamu sudah yakin, ibu dukung.” Ajeng hanya mengucapkan itu lalu pamit. Elok menangis sejadi-jadinya, ia menahan tangis itu sejak berhadapan dengan Mahesh. Lalu tumpah ruah saat ia sendirian.

 

**

 

            Memasuki masa orientasi siswa, Elok sudah mulai mendapat kawan, salah satunya Abigail. Elok dan Abigail menjadi satu kelompok saat itu, mereka diberi tugas untuk membuat presentasi terkait pengenalan sekolah sesuai hasil orientasi beberapa hari terakhir. Dari sana Elok melihat, bahwa Abigail orang yang cerdas. Gadis berambut panjang itu pintar mengambil sisi menarik dari suatu hal, dan lebih menariknya lagi ia pandai menggambar dan komputer. Saat itu, tidak banyak anak-anak yang dengan mahir mengoperasikan komputer. Abigail mungkin 1 dari 10. Tugas setiap orang dibagi, dan Elok menerima bagian presentasi, Abigail yang menyiapkan apa saja yang perlu ditampilkan, sedang kawan lainnya membantu mengumpulkan materi. Disanalah terlihat Abigail tampak sebagai pemimpin, sangat dominan. Gadis itu pun cukup cerdas membagi tugas dan menentukan pemain. Elok tercengang dengan apa yang dilihatnya, betapa seorang anak 12 tahun bisa sedemikian lincah dan tahu apa yang harus dilakukan.

            ”Dari SD mana?” Saat jam makan siang, setelah presentasi usai, Elok berkesempatan mengobrol dengan gadis itu. Rasa penasarannya dengan sekolah asal Abigail karena seragam Sdnya berbeda dengan kawan-kawan yang lain.

            ”SD Seberang Laut 4.” Jawab Abigail. Elok memutar otak, mengingat-ingat tempat yang disebutkan Abigail, ia merasa familiar tetapi ia lupa dimana letak pastinya sekolah itu.

            ”Kalau dari sini harus nyeberang 4 jam pakai speed boat.” Abigail menambahkan. Ia sadar Elok terlihat bingung.

            ”Disana nggak ada SMP?” Elok penasaran.

            ”Ada, tapi abah pindah tugas kesini.” Jawab Abigail.

            ”Kerja dimana?”

            ”Kebun sawit.”

            Setelah jawaban itu, Elok tak lagi bertanya lebih jauh. Ia hanya masih belum bisa menghubungkan antara nama Abigail, wajah, kecerdasan, talenta, dan tempat asal ia tinggal. Semua seakan tidaklah matching. Seberang laut, desa terpencil yang bahkan Elok selalu yakin belum ada internet disana. Sangat kontras dengan Abigail yang cenderung memiliki pola pikir modern dan lebih unggul darinya.

 

**

 

            Memasuki tahun pertama di SMP, Elok cepat beradaptasi. Ia ada di kelas yang cukup beragam siswa-siswinya. Dari kutu buku hingga anak ternakal. Dari yang rapi hingga yang awut-awutan. Sayangnya, ia tidak sekelas dengan Abigail. Elok secara tak sengaja duduk dengan Hanum, salah satu perempuan pendiam di kelas. Walaupun duduk berdekatan, Elok dan Hanum jarang berbicara. Mereka hanya saling bantu saat pelajaran agama yang diminta menghafal surah pendek, mau tidak mau Hanum meminta bantuan Elok untuk memastikan bacaannya benar. Selain pelajaran itu, mereka nyaris seperti orang asing, atau teman yang tidak akur, diam-diaman. Selama setahun sekelas, mereka mulai akrab menjelang kenaikan kelas. Mereka belajar bersama sebelum ujian.

            Saat kelas 2, kelas mulai dikelompokkan berdasarkan ranking. 30 besar 1 angkatan dikumpulkan menjadi 1 kelas unggulan. Elok kembali bersama Hanum, dan mereka pun sekelas dengan Abigail. Dari sanalah mereka bertiga menjadi akrab. Walaupun memilih ekskul yang berbeda. Abigail yang gemar ikut klub badminton, Hanum yang lebih senang ikut PMR, sedang Elok masih kecewa klub buku tiba-tiba bubar di tahun kedua ia di SMP. Kata Bu Lastri, karena kurang peminat. Akhirnya Elok bergabung di ekskul yang tak ia pahami, Pramuka. Dari sana Elok seringkali menjadi bulan-bulanan oleh Hanum dan Abigail, mereka merasa ini cukup kocak melihat betapa semangatnya Elok menceritakan klub buku itu.

            Elok hampir setiap hari ke perpustakaan, ia punya target membaca 2 hingga 4 buku seminggu, khusus sebagai bekal saat hadir di klub buku. Elok sangat tertarik dengan novel dan puisi, di klub itu ia seperti bertemu keluarga baru yang satu frekuensi dengannya, walaupun memang banyak dari peserta berasal dari kelas XII yang saat mereka lulus, 90% peserta klub buku berkurang, alhasil klub itu dibubarkan. Elok heran, mengapa tak ada peserta didik baru yang mau masuk klub itu. Selebaran gencar dibagikan ke kelas-kelas, pemberitahuan pendaftaran ada di mading sekolah, usai masa orientasi pun kegiatan itu dipromosikan oleh Bu Lastri, tetapi tak cukup untuk menarik minat. Apa yang salah? Ia yang sering diledek Hanum dan Abigail kali ini lebih sering menghindar. Ia memilih jam kosong dan jam istirahat untuk pergi ke perpustakaan, kali ini bukan untuk membaca, tetapi hanya ingin melamun saja. Banyak yang ia pikirkan hingga jika orang lain melihatnya akan terasa seperti orang yang tengah punya masalah hidup berat dan tak terselesaikan.

            ”El, sudah bel.” Bu Rohana penjaga perpustakaan mengingatkan Elok tentang bel masuk. Elok dengan langkah berat berdiri dan keluar menuju kelas. Ia masih berpikir keras, bagaimana caranya agar klub buku bisa kembali. Tetapi tak jua ia menemukan solusi. Ia hanya merasa malas saat menyadari bahwa jumat depan ia sudah harus mulai masuk kegiatan pramuka, dan itu tidaklah menyenangkan. Ia membayangkan harus baris-berbaris, upacara, belajar sandi-sandi, simpul-simpul, yang di kepalanya itu adalah pelajaran sia-sia, tak ada guna. Belum lagi jika ia harus terpaksa ikut berkemah. Rasanya seakan semua ini bukan yang ia inginkan. Ia menyesal seribu kali memilih ini, tetapi pilihan yang lain pun tak ada yang membuatnya tertarik. Elok benar-benar merasa pasrah, kehidupan tak menarik di kelas baru segera dimulai.

Popular Posts