Berlari ke ujung bumi, keluar dari kolong langit, berlomba dengan bintang beradu terang, semustahil itulah menghindari pertanyaan "kapan".
"Sampai kapan jadi pratu?"
"Lagi?" Jube berbalik ke arah Sekar yang asik membaca komentar di laman facebooknya. Sekar tersenyum geli setelah membacakan komentar itu dengan keras dan penuh penekanan.
"Semprot lah sekali-kali."
"Biarin ah."
"Minimal kamu hapus komentarnya."
"Nggak usah biarin aja."
"Sini aku aja yang balas."
"Nggak usah be."
Pertengkaran semacam ini sudah kali ke sekian terjadi di antara mereka berdua. Jube yang tegas dan mudah marah, Sekar yang santai dan cengeng. Perpaduan paling pas untuk berselisih akan banyak hal.
Cocok adalah kata yang tidak akan pernah pas untuk menggambarkan bagaimana hubungan dua manusia. Bukan cocok, mungkin lebih tepatnya mau berkompromi.
Di kamar berukuran mungil itu, Jube seringkali menghabiskan waktunya setiap sabtu dan minggu. Tempat itu sempit namun melegakan bagi Jube, tak ada bayang-bayang wajah garang ibu mertua juga suara nyaring yang memekakkan telinga. Bebas.
Sedang Sekar sangat terbuka pada tamu agung yang satu ini. Selain karena makanan enak hasil masakan mertua yang dibawa, juga karena Jube dengan sukarela mendengar cerita. Menguntungkan.
"Iya bu, sudah aman." Jube mengangkat telpon ibu mertuanya yang juga selalu pergi setiap akhir pekan itu. Berbincang sejenak lalu mengakhiri panggilan.
"Dormi lagi?" Sekar memastikan panggilan telpon itu membahas seekor kura-kura yang dipelihara ibu mertua Jube. Jube mengangguk putus asa.
"Akhir-akhir ini lebih sensitif masalah Dormi."
"Kok bisa?"
"Dormi lagi mageran eh dikira sakit lah, kurang gizi lah."
"Dormi welcome to the club."
"Kaum rebahan detected."
Sekar dan Jube lalu tertawa bersamaan.
Aroma tumisan rempah dari dapur kantin masuk ke kamar Sekar, menyengat indera penciuman, menusuk-nusuk tak kenal ampun, sedap sekali rasanya. Sekar berlari keluar kamar.
"Jangan makan dulu kkk" Jube belum menyelesaikan kalimatnya namun Sekar sudah hilang dari pandangan.
Di dapur, Sekar menghampiri Latifah alias Latif, dan Kamelia alias Kamil, dua koki andalan kantin yang rasa masakannya membuat seisi gedung ketagihan.
"Mbak Taji, malam ini menunya kambing." Latifah memegang spatula seraya menatap Sekar dengan manja.
"Top." Senyum Sekar merekah, mendekatkan wajahnya pada Latifah dan mengacungkan kedua jempol.
"Jangan lupa ya mbak, permintaan saya yang kemarin." Kamelia yang tengah sibuk mempersiapkan rebusan pun ikut nimbrung dalam obrolan.
"Siap beb." Sekar mengangkat telapak tangan kanannya, di dekatkan pada pelipis seolah sedang hormat.
"Jus tomatnya jangan lupa." Sebelum meninggalkan dapur, Sekar berpesan sembari mengedipkan matanya pada kedua lelaki kemayu itu.
***
Dari salah satu meja kantin yang berada tepat di depan televisi tak sengaja Acay melihat pergerakan Sekar yang keluar dari dapur. Ia mengalihkan pandangan beberapa saat setelah Sekar berlalu, dalam benaknya ada perasaan kurang suka melihat perilaku perempuan itu.
"Sok cantik." Batinnya.
"Woy." Dari pintu depan kantin, Jendra masuk setelah memarkir mobil. Tanpa canggung menepuk keras bahu Acay hingga temannya itu kaget bukan kepalang. Setelah sadar kehadiran Jendra, Acay spontan menutup hidung.
"Habis nyangkul ya?"
"Kenapa? Wangi banget ya?" Jendra malah mendekatkan hidungnya pada lengan kiri dan kanan. Acay ilfil.
Tak lama, dari dinding kaca yang menghadap ke timur tampak dua perempuan melintas. Yang satu jelas dikenali adalah Sekar, yang satu lagi baru kali pertama mereka lihat. Jendra memberi kode pada Acay, kode dengan tepukan tangan dan ekspresi wajah menunjuk, matanya menyala, wajahnya antusias, Jendra terpesona dengan kawan Sekar itu.
"Cantik cay."
"B aja." Acay membuang muka.
Sejak hari itu Jendra setia menunggu, menandai hari saat kawan Sekar itu berkunjung, dan memperhatikan perempuan itu malu-malu.
***
Setelah lama Jube memutuskan menerima pinangan Yasir, lelaki yang dipacarinya lebih kurang 2 tahun semenjak lulus kuliah dan merantau jauh-jauh dari Pulau Sumatera ke Kalimantan. Yasir meyakinkan Jube bahwa kehidupan setelah menikah tentu akan lebih menyenangkan, pun Jube tak perlu lagi sukar akan kemungkinan LDR atau resiko-resiko lain orang pacaran pada umumnya. Tinggal dan menetap di tanah kelahiran Yasir, melepaskan pekerjaan demi menjadi seorang istri sepenuhnya pun akhirnya menjadi pilihan Jube. Keputusan yang ia sesali berkali-kali.
Yasir yang seringkali bepergian ke luar kota, Jube yang dengan terpaksa menghabiskan waktu di rumah bersama ayah dan ibu mertua, mengatasi dirinya yang tak pandai mengurus rumah, ketidakbecusannya memasak, kebiasaannya bermalas-malasan, dan buah hati yang tak kunjung datang, rasa-rasanya lengkaplah nilai minus itu disematkan pada Jube. Ia ingin sekali kembali bekerja, namun ragu meminta izin pada suaminya. Itulah alasan Jube selalu mewanti-wanti Sekar untuk jangan terburu-buru menikah. Pernikahan hanyalah proses memenjarakan diri secara sengaja, kecuali jika menemukan seseorang yang berjiwa bebas, katanya.
Bisa disimpulkan, Jube hanyalah satu di antara seribu orang yang menasihati Sekar perihal pernikahan, hanya Jube yang berkata jangan terburu-buru menikah. Sementara yang lainnya sibuk bertanya kapan, sibuk berkomentar miring, sibuk mendesak dengan ragam alasan ini dan itu, namun yang masuk ke telinga Sekar justru hanyalah nasihat Jube. Nasihat langka yang sangat sesuai dengan pandangan hidupnya.
Berdiam diri di kamar, menunggu kabar dari seseorang, bertukar bincang via panggilan video hingga kantuk menyerang, seperti itulah rutinitas malam minggu Sekar selama bertahun-tahun. Bersama seseorang yang dalam kurun waktu tertentu silih berganti dengan yang baru, nyaris tak ada yang menyentuh waktu setahun. Semua hanya bertahan rata-rata satu hingga tiga bulan, selebihnya akan menghilang. Entah Sekar yang mendadak dingin, atau si lelaki yang tiba-tiba tak ingin. Bermacam alasan sudah pernah dipakai hingga siapapun yang mendengar alasan Sekar berganti dari satu orang ke yang lainnya, semua terdengar seperti lagu lama dari kaset rusak, basi.
***
Pak Chan, bapak-bapak usia setengah abad, berperut buncit dan memiliki rambut yang sedikit memutih menghampiri Acay dan Jendra di salah satu gazebo area merokok di samping gedung. Ia membawa sepiring potongan semangka dan pepaya. Acay merasakan aura negatif setelah kehadiran Pak Chan, ia bersegera menyelesaikan seruputan kopi terakhirnya, dan berniat pergi. Tetapi, Jendra jauh lebih lincah dari dugaannya, ia sudah berdiri setelah membuang sisa rokok yang masih panjang lalu pamit, bahkan sebelum Pak Chan duduk sempurna. Akan terasa aneh jika Acay juga melakukan hal yang sama.
"Loh mau kemana?" Pak Chan bertanya polos.
"Biasa pak, waktunya telpon orang rumah." Jendra membuat alasan masuk akal, namun di mata Acay terlalu kentara bahwa itu bohong. Jendra melirik ke arah Acay dengan tatapan licik. Sial, batin Acay. Tak lama setelah kembali ke kamar, Jendra mengirim pesan.
"Dinikmati ya ngobrolnya, bapak mau tidur dulu." Membaca pesan itu, seketika isi kebun binatang meraung-raung di kepala Acay. Jan***.
"Makan buah-buahan itu penting Cay, jangan ngopi terus." Yak sip neraka bincang dimulai, batin Acay kesal. Ia hanya diam tak bereaksi apapun.
Nama lengkapnya Chaniago Hendri, sekilas jika mendengar nama itu pasti beberapa orang berpikir bahwa Pak Chan berasal dari Minang. Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut ternyata beliau lahir dan besar di Kalimantan. Keluarga Pak Chan menetap di Pontianak, sedang putra sulungnya berkuliah di Fakultas Kedokteran di Solo. Hidupnya bahagia katanya, tetapi polah tingkahnya tidak menggambarkan demikian. Berkali-kali Pak Chan harus dengan ikhlas menjadi bulan-bulanan entah di kehidupan nyata maupun di sosial media. Semua karena komentar-komentar kontroversialnya, dari membanggakan diri sendiri, sok pintar, hingga kejeliannya dalam mencari-cari kesalahan orang lain. Ya, dia paling sempurna. Sementara orang lain tidak. Tetapi, di balik semua itu tak banyak yang mengerti keresahan hati Pak Chan yang jauh dari anak dan istri. Juga pertanyaan kapan yang terus menyerangnya berkali-kali.
To be continue...
L.M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar