Perdebatan sengit, pertarungan penuh peluh, saling bersikeras bertahan dalam pendapat, semuanya tidak terelakkan. Walaupun pada akhirnya tetaplah Aksar yang menang. Takkan pernah ada orang tua yang mampu melawan anaknya sendiri, tak terkecuali Warsi.
Lahir dari ayah seorang pegiat film dan ibu seorang novelis tidak lantas membuat Aksar Vimana menjadi seorang idealis. Ia tidak mengejar apa yang ia inginkan, barangkali memang ia tak ingin apapun. Aksar cenderung ingin hidup menjadi orang biasa, berkuliah biasa, dan bekerja layaknya orang biasa, tidak ada hal spesifik yang ingin ia lakukan.
Darah seni mengalir deras pada Aksar, namun seakan tak tergerak hatinya untuk menyentuh bidang itu. Bidang yang tak menjanjikan, katanya. Padahal ayah dan ibunya berharap banyak, terlihat dari bagaimana nama anak lelaki itu dibuat.
Aksar adalah nama pemberian ibunya yang berasal dari kata Aksara, kata yang lekat sekali dengan dunia kepenulisan, dunia ibunya. Menulis bagi Warsi adalah suatu hal sakral yang membuatnya bahagia, selain mengenal ayahnya tentunya. Sedang nama Vimana sempat menjadi sesuatu yang diperdebatkan pasangan itu. Bagi Warsi, Vimana yang ia tahu adalah sebuah istana atau kereta terbang mitologis yang dijelaskan dalam teks-teks hindu dan epos sansekerta. Warsi punya harapan besar agar anaknya seperti demikian, besar bak istana, terbang menikmati kehidupan. Pun Hutama punya pendapat lain, ia mengenal kata Vimana pada sebuah film India berjudul Pushpaka Vimana yang release di akhir era 80'an. Film tanpa dialog yang saat itu begitu banyak melahirkan penggemar. Bagi Hutama, film itu belum layak untuk dicintai sedemikian karena menghilangkan beberapa faktor penting dalam menonjolkan keindahan sebuah film. Sayang, pendapat Hutama itu hanya dibaca Warsi sebagai upaya untuk menentangnya saja, karena Hutama tak mampu menjelaskan penolakannya dengan baik. Namun, terjadilah nama itu. Setelah Hutama menjadi seorang pemenang yang mengalah. Ketika si ayah bersikeras, si ibu pun menangis, dan disanalah putusan nama itu terjadi.
***
Jendra Apriadharma, lelaki asal Medan namun tidak berdarah batak yang cerdas dan penuh intrik. Ragam cara sudah pernah ia pakai untuk meloloskan diri dari masalah, mulai dari cara tercela hingga terpuji, dari yang membuat gaduh hingga sunyi sepi, dari yang dipuja hingga dibenci, semua sudah ia coba hingga berhasil. Katanya, tak ada satu pun orang yang bisa membuat seseorang gagal kecuali dirinya sendiri. Begitu pula saat ia ingin merantau ke Kalimantan. Larangan demi larangan menghantamnya dua puluh empat per tujuh, ia tetap tak mengeluh. Namun, ia mainkan cara halus agar keluarganya luluh.
Lebih kurang seminggu sebelum keberangkatan ke Kalimantan, Jendra menyusup ke kerumunan ibu-ibu tempat di mana ibunya sering berkumpul. Saat itu, ibunda Jendra tengah sakit-sakitan, setiap hari hanya berdiam diri di kamar meratapi nasib anaknya yang gelisah ingin merantau. Jendra meminta bantuan ibu-ibu lain untuk membujuk ibunya, bak naskah sebuah sinetron Jendra menulis rapi dialog demi dialog agar diucapkan para aktor dadakan itu.
"Anak Ci Tanti sukses kerja di Kalimantan, sekarang loh sudah punya rumah sendiri di Gedung Johor."
"Ipar Tulang Tanjung masih muda juga sudah bisa beli mobil, katanya sih kerjanya di tambang."
"Nanti kalau si Ucok lulus kuliah pasti kubiarkan merantau, siapa tahu dapat jodoh di sana."
Kalimat demi kalimat meluncur lancar dari para ibu-ibu, namun ibunda Jendra tidaklah bereaksi. Sampai terakhir jurus andalan dari Mamak Lubis, ibu paling disegani di tongkrongan. Selain karena usianya yang paling matang, pengalamannya merantau yang tak ada dua, bijaknya dalam bertutur dan bertindak, juga karena lugas dan beraninya beliau dalam menyampaikan pendapat.
"Anak hanya titipan, bukan milik kita. Kalau dia mau apapun, restuilah." Kalimat itu terjeda, Mamak Lubis menarik nafas panjang. Ia amat menjiwai peran sampai-sampai aktor lain tercengang.
"Ci, merantau bukan hal yang salah kan? Yang buat kamu tidak ikhlas bukan kasih sayang tapi ego."
"Saya punya alasan sendiri." Ibunda Jendra berusaha menyanggah.
"Apa? Khawatir? Takut jauh? Justru merantau yang mengajarkan anak untuk rindu pulang ci." Lagi, Mamak Lubis menghela nafas berat. Tampak sekali ia serius, bukan akting.
"Silahkan kau renungkan." Tutupnya, sebelum meninggalkan kamar ibunda Jendra.
Setelah hari itu, sikap ibunda Jendra berubah 180 derajat. Tampak restu bertumpuk di sorot matanya, sesekali ia terlihat sedih namun di saat yang sama mengalir doa dari lisannya, hati Jendra pun menghangat karenanya.
***
Semenjak Tugi, putra sulungnya memutuskan berkuliah kedokteran di Solo, beban hidup Chaniago dan keluarga semakin besar. Istrinya yang seringkali mengeluhkan keadaan dan menuntut ini dan itu bekerja sebagai karyawan laundry di pusat kota, sedang ke tiga anaknya yang lain diasuh oleh orang tua Chan yang tinggal di rumah. Di usianya yang sudah kepala 5, Chan di perantauan masih harus ekstra kerja keras untuk memenuhi segala bentuk keperluan.
Tetapi, beban itu tak ingin membuatnya tampak kacau. Chan cenderung memperlihatkan sisi bahagia saja, ia bertingkah ceria, ramah, dan berusaha terus baik dengan siapapun. Untuk orang lain, Chan punya hasrat agar bisa menjadi lentera, cahaya, terang. Ia gemar membuka obrolan, pandai memberi nasihat, juga menguasai banyak issue sosial sehingga tampak cerdas. Walau terkadang ia lupa, terang yang terlalu dekat akan menyilaukan sekitarnya. Dan ia tak pernah sadar, sikapnya yang demikian seringkali membuat orang lain tidak nyaman.
***
Sekartaji, contoh manusia gagal versi orang tua konservatif. Mungkin salah satu orang tua itu adalah Chaniago. Tabalong mempertemukan mereka dan perkenalan mereka di awal memang sudah mengesankan ketidakcocokan. Perbedaan usia yang jauh tak lantas membuat keduanya canggung untuk saling bersitegang. Sekar yang terbiasa santai, bisa naik darah jika berhadapan dengan lelaki tua itu.
"Yang ini masih kelas 4 SD tapi sudah menghapal Al-quran 2 juz." Chaniago menunjukkan foto anak laki-lakinya yang terlihat mengenakan toga wisuda TPA.
"Coba lihat anak saya yang ini, masih SMP sudah pintar masak." Sambil memperlihatkan foto anak perempuannya yang tampak remaja.
"Yang ini malah mahasiswa di FK." Memamerkan putra sulungnya dengan membuka laman instagram. Tampak putranya itu tengah berdiri di lobby Rumah Sakit dan mengenakan jas putih khas milik para dokter.
Itu adalah contoh tindakan dan kalimat yang diterima Sekar berulang-ulang. Mungkin tak jadi masalah jika Chan hanya membanggakan anak-anaknya, wajar bukan? Sayangnya tidak hanya sampai disitu. Chan terbiasa membanggakan anak-anaknya sebelum mengecilkan Sekar. Ia tak sungkan membahas apa saja yang belum Sekar raih di usianya yang lebih dari seperempat abad. Ia seringkali berucap bahwa tak ingin anaknya bernasib seperti Sekar, lalu ucapan itu diikuti dengan alasan-alasan yang terdengar tak pantas dan menyakitkan.
To be continue...
L.M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar