"Mas, sebelum kerja sudah pakai sunblock?"
"Sudah."
Jawaban singkat yang selalu sama, walaupun kenyataannya Acay tidak melakukan perintah kekasihnya itu. Sebenarnya Acay kerap kali tersinggung saat Fitri mengingatkannya tentang menggunakan tabir surya, ia merasa kekasihnya itu tidak menerimanya apa adanya. Ingin sekali Acay menjawab dengan kata-kata lugas dan kasar seperti "Emang kenapa kalau aku hitam? Nggak suka? Ya sudah cari aja yang putih. Bla bla bla." Namun Acay takut semua itu akan memicu pertengkaran.
Fitri adalah adik kelas Acay semasa SMA di Jogja, perempuan ini cukup aktif dan tergolong populer karena masuk dalam organisasi sekolah. Namun, saat itu Acay belum tertarik, pun sebaliknya. Atau mungkin lebih tepatnya keduanya tidak saling kenal. Mereka justru mulai dekat saat Acay sudah mulai merantau. Hidup lama di tambang, sibuk bekerja, cuti hanya beberapa bulan sekali, dan sikap Acay yang kurang pandai bergaul membuatnya kesulitan berkenalan dengan perempuan. Dan jalan ninja pemuda-pemuda seperti Acay adalah menemukan seseorang dari daerah asalnya.
Saat itu Acay memang berniat mencari pacar, ia melihat-lihat orang-orang yang diikuti oleh akun instagram alumni SMA. Dan, saat melihat potret Fitri yang manis dan kalem Acay langsung tertarik. Dibantu fitur direct message di instagram Acay memberanikan diri mengirim pesan pribadi pada Fitri. Perempuan manis itu dengan baik membalas pesan Acay hingga balik mengikuti dan mau memberikan nomor telepon pada lelaki itu. Tak berselang lama, via panggilan telpon, Acay pun memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya menjalin hubungan dengan Fitri dan langsung mendapat jawaban iya. Hubungan yang bisa dibilang tanpa pendekatan yang berbelit-belit. Saat ini tepat setahun hubungan itu berjalan, dan mereka masih bersama hingga sekarang.
Hari itu, seperti biasa Acay selalu menerima ucapan selamat pagi via pesan teks. Ucapan dari Fitri yang lambat laun membuatnya sedikit bosan, itu-itu saja. Anehnya, Fitri selalu berharap Acay menjawab pesan itu dengan cepat juga dengan kata-kata yang tidak kalah manis. Awalnya Acay selalu menuruti keinginan gadis itu, namun kurun waktu 365 hari ini ia mulai berani menunjukkan sisi ketidaksukaannya pada ritual yang dianggap kekasihnya itu sebagai kewajiban. Acay membalas pesan itu setelah jam makan siang, artinya ia harus siap menerima panggilan bertubi-tubi atau pesan teks dengan nada merajuk hingga mengancam.
"Kok jawabnya lama?"
"Kok jawabnya gitu?"
"Kamu berubah."
"Sudah nggak penting lagi ya pesanku?"
"Oke aku nggak akan ngirim lagi kalau kamu terganggu."
"Kamu bosen?"
"Kamu mau putus?"
"Ngomong aja kalau kamu nggak suka aku lagi, biar aku tahu diri."
"Oh oke nggak dibalas, berarti iya kamu minta pisah."
Beberapa menit kemudian.
"Kok kamu jahat sih?"
"Dulu aja waktu awal-awal ngomongnya manis, janjinya banyak, sekarang gampang banget pengen putus."
Acay mengelus dada membaca pesan demi pesan yang dikirimkan Fitri yang bahkan belum satu pun ia balas tetapi Fitri sudah mengambil kesimpulan yang tidak pernah ia pikirkan sama sekali. Drama.
Di tengah situasi itu, Jendra justru lalu lalang di area kerja Acay. Lelaki itu sedang berbicara manis di telpon, entah dengan siapa. Berkali-kali Acay melirik, dan Jendra senyum-senyum tak kenal malu. Acay bertanya dengan berbisik, namun Jendra tak menjawab. Sampai Acay dengan terpaksa mengganggu obrolan itu dengan mendekatkan telinganya pada ponsel Jendra, norak.
"Iya sayang, ini teman aku kepo." Jendra justru semakin menyebalkan. Acay geleng-geleng kepala, padahal baru tadi pagi ia melihat kawannya itu tengah membujuk Sekar untuk mengenalkannya dengan seseorang. Dasar PK.
***
Tidak merespon satu pun pesan dan pertanda putus dari kekasihnya, namun lebih memilih berdiam diri merenung sembari menatap dinding kamar berwarna putih adalah pilihan yang bisa jadi bijak bagi Aksar Vimana. Ia lelah bertengkar, walaupun hati kecilnya tak ingin berpisah. Menutupi seluruh badan dengan selimut, mematikan lampu kamar, memejamkan mata, ia berharap segera tertidur, namun hingga dini hari ia masih terjaga hingga merasa lelah. Acay kacau.
***
Banyaknya pesaing dalam usaha laundry, membuat Norma, istri Chaniago terpaksa harus masuk dalam daftar PHK di tempatnya bekerja. Itu artinya berkuranglah salah satu sumber penghasilan keluarga itu. Gaji Chaniago sebagai seorang karyawan tambang yang cukup senior memanglah besar, jauh di atas UMR. Namun, menghidupi keluarganya yang tinggal di pusat kota Pontianak dan putranya yang berkuliah kedokteran rasa-rasanya semua terasa amat berat, apalagi jika ditambah istrinya yang kini menganggur.
Malam hari setelah meyakinkan bahwa anak-anaknya tertidur, Norma memilih waktu itu untuk menelpon suaminya. Mereka berbincang banyak, bincang yang penuh sesak dengan segala bentuk kekhawatiran dan keluhan satu sama lain. Chaniago dan Norma menghitung semua tagihan wajib perbulannya, dan hasilnya minus. Semakin pusing lah Chaniago dibuatnya. Jalan keluar yang ada di pikiran mereka nyaris semuanya tidak masuk akal, misalnya menjual rumah yang belum lunas, atau meminta putra sulungnya cuti kuliah. Norma menangis membayangkan kedua hal itu, sedang Chaniago pun merasa gagal menjadi kepala rumah tangga ketika mendengar tangis istrinya. Chaniago membiarkan Norma melampiaskan rasa sedihnya malam itu, lalu meminta istrinya beristirahat setelahnya. Malam itu Chaniago bahkan sulit terpejam, pikirannya berlarian mencoba mencari jalan, minimal untuk akhir bulan ini ia berharap bisa melewati.
Sebelum tidur Chaniago membuka-buka pesan di ponselnya, semua didominasi grup-grup pekerjaan hingga grup alumni. Karena sulitnya ia tidur, ia membaca satu persatu pesan-pesan itu dengan rinci. Dan, terbelalak mata Chaniago ketika mendapati informasi lomba yang ada di grup kantor, apalagi saat matanya tertuju pada hadiah lomba yang dijanjikan, nilainya fantastis, menyentuh angka jutaan pada setiap lomba. Chaniago berkhayal.
"Kalau ini bisa dimenangkan salah satunya, minimal bulan ini aku akan aman." Batinnya. Namun, ia kembali membuang harapannya jauh-jauh ketika semua kategori lomba hampir tak ada yang ia kuasai. Chaniago terus berusaha menghadirkan pikiran-pikiran liarnya yang lain, berharap agar menemukan jalan dan kembali tenang namun nihil. Chan kacau.
***
Sudah seringkali menerima kalimat kasar bernada menghina tak lantas membuat Sekar terbiasa. Hingga jam kerja berakhir, bahkan hingga malam sebelum tidur, kata demi kata yang ia dengar dari rekan kerjanya tadi masih membekas dan terngiang-ngiang di kepalanya. Hatinya sesak mengingat itu, ia malah memperkeruh rasa sakit hatinya dengan berpikir yang tidak-tidak pula.
"Apa jangan-jangan yang dia bilang tadi benar?"
"Apa aku memang seburuk itu?"
Apa ini, apa itu, kemungkinan-kemungkinan yang Sekar cari-cari menambah sempit bilik yang ada di dadanya. Bilik itu penuh sesak seolah kalimat-kalimat jahat berebut ingin keluar dan meluapkannya dalam bentuk amarah sumpah serapah. Sekar kacau.
To be continue...
L.M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar