***
Pagi-pagi sekali di hari libur, bahkan cahaya yang masuk melalui ventilasi kamar belum mampu menerangi sempurna. Udara dingin menyerang kulit membangkitkan bulu kuduk hingga sedikit menimbulkan gigil. Keinginan untuk buang air kecil saja ditunda sebisanya, ia memilih memanjakan sekujur tubuhnya di balik selimut hangat dan berharap bisa terus bermalas-malasan hingga fajar benar-benar datang. Dari luar kamar di saat-saat itu sudah terdengar ketukkan pintu. Ia abaikan, namun si tamu tak kunjung tahu waktu.
"Astaga Jube, kepagian." Sekar menyeret selimut turun dari tempat tidur hingga ke depan pintu. Suara serak khas orang bangun tidur keluar dengan tegas, ia kesal dan menggerutu karena terpaksa membunuh mimpi yang ia lupa tentang apa. Saat membuka pintu Sekar langsung spontan ingin memaki si tamu. Namun saat hendak melakukannya Sekar terkejut karena yang tampak bukan perempuan yang terbiasa menenteng rantang makanan di tangannya, tetapi lelaki bertubuh tinggi tegap yang langsung membuat Sekar spontan menutupi wajahnya dengan selimut.
Jendra menarik tangan Sekar dan menyeret gadis itu ke lobby gedung, Sekar kelimpungan mengatur selimut yang menyapu lantai. Wajahnya yang lusuh tak bisa ia peduli, Jendra teramat cepat seperti sedang mengejar sesuatu entah apa.
"Apa sih? Gila ya ni orang." Melepaskan cengkeraman tangan Jendra di pergelangan kanannya, Sekar gusar karena kaget sekaligus menahan pening yang diakibatkan nyawanya belum terkumpul sempurna. Jendra lalu memberikan sebuah diska lepas dan sebuah buku catatan.
"Ini beberapa bahan yang bisa kamu jadikan referensi belajar." Sekar masih sulit menghilangkan roman mukanya, ia tetap marah dan tak bisa maklum terhadap perilaku Jendra yang masih terlalu pagi mengetuk pintu kamar dan menyeretnya sesuka hati. Belum lagi kenyataan bahwa Jendra melihat penampilannya yang begitu kacau, semakin Sekar naik pitam.
"Nih ambil." Sekar ingin segera mengakhiri keadaan itu dengan meraih diska lepas dan buku yang Jendra berikan, namun ketika tangan Sekar sudah meraihnya, Jendra kembali menarik buku itu.
"Tapi ada satu syarat." Jendra menyembunyikan benda-benda itu di balik punggungnya dan satu tangannya lagi mengangkat telunjuk seakan menegaskan ucapannya.
"Ah sudahlah." Sekar berdiri dan ingin langsung kembali ke kamar. Namun Jendra tak tinggal diam.
"Tunggu, dengerin dulu." Jendra berdiri menghadang gadis itu.
"Kenalin sama cewek itu ya, plis." Jendra memohon.
"Cewek yang mana?" Sekar linglung.
"Yang weekend biasa datang kesini."
"Jube?"
"Oh namanya Jube."
"Udah pu..." Tiba-tiba Jube sudah ada di antara mereka dan membuat Sekar tidak melanjutkan kalimatnya. Masih dengan rantang makanan yang ada di tangannya, hari ini Jube tampak ayu dengam setelan ruffled top dan capri pants yang menampilkan bagian kaki Jube yang bentuknya indah. Jendra terperangah, matanya terbelalak, ia menyorot setiap jengkal bagian diri wanita di depannya yang teramat anggun itu. Terlebih saat Jube mulai menyapa, Jendra tak bisa menyembunyikan keinginannya selama ini untuk mengenal perempuan itu.
"Jendra." Lelaki itu tanpa canggung mengulurkan tangan, Jube pun menyambut tanpa enggan.
"Jubaidah." Rasanya ada perasaan lain yang dirasakan Jendra, panas, dingin, gemetar, semangat, lapar, senang, ingin ia jingkrak-jingkrak di saat itu juga namun tak mungkin. Pada kesempatan itu sigap Sekar merebut diska lepas juga buku catatan di tangan Jendra lalu melenggang ke kamar. Ia tinggalkan Jendra bersama Jube di lobby gedung dengan harapan Jendra akhirnya akan tahu kalau Jube sudah menikah dan mundur teratur.
***
Warsi, seseorang yang dijadikan jembatan penghubung menuju Acay. Fitri sudah seringkali bertingkah tidak tahu diri dan tanpa segan meminta tolong kepada Warsi untuk mencoba menghubungi Acay. Acay memang sempat memperkenalkan Fitri pada orang tuanya, dan sebagai ibu, Warsi tidak pernah keberatan dengan gadis pilihan anaknya, termasuk Fitri. Namun sikap baik Warsi justru beberapa hari terakhir disalahgunakan oleh Fitri dengan meminta terus-menerus agar ibunya mau membujuk Acay dan lelaki itu mau menghubungi Fitri segera, mengingat akhir-akhir ini pesan dan panggilannya selalu diabaikan.
"Nggak baik begitu le, angkatlah telponnya sebentar. Kalau mau pisah, ya pisah baik-baik." Acay pada akhirnya bosan dengan nasihat sang ibu terkait hal itu. Di sabtu pagi, tepat saat panggilan dari Fitri muncul pertama kali, Acay langsung mengangkatnya dan berniat menyampaikan keresahannya secara langsung pada gadis yang sudah ia anggap mantan itu.
"Kenapa? Harus ya telpon terus-terusan nggak kenal jeda?"
"Ya udah, ayo kita pisah."
Acay bingung, bukankah itu yang sudah ia lakukan beberapa hari terakhir? Mengganggap hubungan ini sudah bubar. Tapi mengapa seolah-olah Fitri belum sadar itu?
"Maksudnya?" Acay kebingungan dengan maksud Fitri.
"Siapa kamu yang berhak memutuskan kita pisah atau nggak? Siapa kamu yang berhak datang terus pergi tanpa pemberitahuan? Siapa kamu?" Fitri tiba-tiba histeris, lagi-lagi drama, Acay muak.
"Ya sudah sekarang beres kan?" Acay mengikuti saja kemauan gadis itu.
"Terserah kalau kamu yang mau bilang putus duluan." Acay emosi, ternyata beberapa hari diteror oleh panggilan gadis ini hanya untuk menyampaikan hal tidak masuk akal yang membuatnya teramat kesal.
"Sekarang apalagi? Sudah?" Acay berteriak, Fitri hanya menangis. Bahkan belum ada satu titik air pun yang masuk ke dalam tenggorokkan Acay, belum sebutir nasi pun yang ia makan, tapi ia harus menguras tenaga untuk hal seremeh ini. Dan akhirnya panggilan itu terputus, sepertinya Fitri yang mengakhirinya. Acay tak apa, dia tak merasa menyesal sedikitpun bahkan cenderung lega.
Acay merebahkan diri di kamar, ia ragu-ragu ingin beranjak menuju kamar mandi, kepalanya diisi hal-hal menggelisahkan yang ia sendiri tak tahu-menahu apa itu. Di sela lamunnya, Jendra masuk kamar setengah berlari. Kawannya itu menghempaskan tubuhnya sendiri di atas kasur, dan bersorak-sorak tak kenal ampun. Senyum-senyum sambil berbaring, menendang-nendang selimut, lalu kembali berjingkrak-jingkrak, Acay risih.
"Woy gila ya?" Teriak Acay, Jendra tak menggubris.
"Begini nih kalau kecilnya kebanyakan diayun." Acay melemparkan sebuah guling pada Jendra, dan mengenai wajahnya.
"Thank you Taji, memang dah Taji cewek terbaik, pol baiknya. Terima kasih Tuhan." Usai mengatakan itu, Jendra kembali berjingkrak-jingkrak hingga bergoyang kegirangan. Acay memilih keluar kamar.
Entah mengapa mendengar nama Taji atau Sekar Taji atau Dewi Sekar Taji, tidak lagi terasa biasa bagi Acay. Ada semangat lain yang muncul di diri lelaki bernama lengkap Aksar Vimana bin Hutama itu. Jika bisa mengekspresikan, mungkin polah-tingkah Jendra tadi sudah tentu terkalahkan. Acay, sungguh ingin mengenal gadis itu lebih jauh lagi. Dan, jalan dari semua itu sudah bisa tersamar, melalui kata "Ajar".
To be continue...
L.M
Ada bakat ini mba Linda.
BalasHapusGood luck
Caesars Casino and Racetrack – 2021 New Jersey Gambling
BalasHapusCaesars Resort Casino & casino-roll.com Racetrack is the latest casino in worrione New Jersey to undergo a comprehensive safety casinosites.one review. https://deccasino.com/review/merit-casino/ The casino is owned by Caesars gri-go.com