Dewi Sekar Taji.
Malam kian menjadi-jadi, ia kini tak segan menautkan sepi setiap kali gelap berganti. Suara adzan maghrib menjadi pengingat, bahwa bisa saja di sini kita mati sendiri dalam kesepian dan tak ada yang bersedih. Betapa menyebalkan kehidupan masa muda yang begitu tua ini. Tua yang selalu didengung-dengungkan oleh orang lain. Sementara, di usia 28 tahun ia masih merasa muda. Ia masih percaya pada mimpi-mimpinya, percaya pada apa yang ia ingin lakukan di masa depan, warisan yang ingin ia tinggalkan sebelum mati, mimpi-mimpi besar yang membuatnya tak pernah merasa menua. Ya, ia adalah perempuan muda hebat, setidaknya bagi dirinya sendiri.
Keluar dari jeratan kota kecil, menjelajahi dunia dengan berani, hidup dalam gemerlap hebat menjadi diri sendiri, mimpinya yang orang lain tak akan mungkin paham. Tapi ia paham, ia tidak boleh memaksakan diri menjadi orang lain hanya karena lingkungan menginginkannya.
"Kapan cuti nak?"
"Masih lama bu."
"Bawa calon sekalian ya."
"Nanti kutelpon lagi ya bu, Assalamualaikum."
Topik membosankan yang menghantui hari-hari Taji, didengarnya dari berbagai manusia dalam hidupnya. Dari keluarga hingga orang setengah asing, dari yang dekat hingga yang bukan kerabat, semua tak tahu malu membahas yang satu itu, JODOH.
Taji seperti orang linglung, ia mondar-mandir kamar mandi lalu ke tempat tidur, dari tempat tidur ia duduk di kursi tempat ia bekerja, dari kursi ia berdiri membuka jendela, ia tutup lagi jendela lalu berbaring di tempat tidur, begitu terus-menerus hingga labuhan akhirnya adalah kamar mandi. Di depan cermin lama ia melihat dirinya sendiri. Bintik-bintik hitam di wajah, sedikit keriput dan lingkaran hitam di sekitar mata, komedo yang berkembang biak, pori-pori yang kian membesar, warna kulit wajah yang tidak merata, bibir yang pecah-pecah, tak lupa semua itu dilengkapi jerawat yang timbul tenggelam di beberapa titik. Taji merasa jelek.
Masih 60 menit menuju pukul 22.00 WITA, artinya ia masih punya waktu berjalan-jalan keluar kamar mencari udara segar, memulihkan isi kepala yang sudah krisis menuju ketidakwarasan. Mengenakan piyama tidur, jaket denim oversized, dan sandal jepit berwarna mint andalan. Sengaja, ia tinggalkan ponsel di kamarnya.
Dua pohon ketapang tinggi menjulang di depan gedung, di balik daun-daunnya menyembul cahaya bulan malu-malu, bulan separuh. Taji duduk di salah satu kursi di sudut taman, menaruh banyak rasa sepi, kerinduan yang entah pada siapa, dan hidup membosankan yang segera ingin ia akhiri. Ia menangis.
Beberapa menit kemudian, Taji menegakkan kepalanya, menoleh ke belakang, mengingat-ingat waktu yang tak pernah mau menunggu, waktu yang tak bisa diulang, waktu yang terus mengejarnya, usianya kian banyak, tetapi keinginannya belum terealisasi satu pun. Kali ini tangisnya mereda, kalau hanya ia ratapi bahkan mungkin hingga usia 50 tahun ia tak akan jadi apa-apa. Ia berdiri, kembali ke kamar, berpikir untuk tidur nyenyak dan keesokan harinya bangun dengan tenaga berlipat.
Malam kian menjadi-jadi, ia kini tak segan menautkan sepi setiap kali gelap berganti. Suara adzan maghrib menjadi pengingat, bahwa bisa saja di sini kita mati sendiri dalam kesepian dan tak ada yang bersedih. Betapa menyebalkan kehidupan masa muda yang begitu tua ini. Tua yang selalu didengung-dengungkan oleh orang lain. Sementara, di usia 28 tahun ia masih merasa muda. Ia masih percaya pada mimpi-mimpinya, percaya pada apa yang ia ingin lakukan di masa depan, warisan yang ingin ia tinggalkan sebelum mati, mimpi-mimpi besar yang membuatnya tak pernah merasa menua. Ya, ia adalah perempuan muda hebat, setidaknya bagi dirinya sendiri.
Keluar dari jeratan kota kecil, menjelajahi dunia dengan berani, hidup dalam gemerlap hebat menjadi diri sendiri, mimpinya yang orang lain tak akan mungkin paham. Tapi ia paham, ia tidak boleh memaksakan diri menjadi orang lain hanya karena lingkungan menginginkannya.
"Kapan cuti nak?"
"Masih lama bu."
"Bawa calon sekalian ya."
"Nanti kutelpon lagi ya bu, Assalamualaikum."
Topik membosankan yang menghantui hari-hari Taji, didengarnya dari berbagai manusia dalam hidupnya. Dari keluarga hingga orang setengah asing, dari yang dekat hingga yang bukan kerabat, semua tak tahu malu membahas yang satu itu, JODOH.
Taji seperti orang linglung, ia mondar-mandir kamar mandi lalu ke tempat tidur, dari tempat tidur ia duduk di kursi tempat ia bekerja, dari kursi ia berdiri membuka jendela, ia tutup lagi jendela lalu berbaring di tempat tidur, begitu terus-menerus hingga labuhan akhirnya adalah kamar mandi. Di depan cermin lama ia melihat dirinya sendiri. Bintik-bintik hitam di wajah, sedikit keriput dan lingkaran hitam di sekitar mata, komedo yang berkembang biak, pori-pori yang kian membesar, warna kulit wajah yang tidak merata, bibir yang pecah-pecah, tak lupa semua itu dilengkapi jerawat yang timbul tenggelam di beberapa titik. Taji merasa jelek.
Masih 60 menit menuju pukul 22.00 WITA, artinya ia masih punya waktu berjalan-jalan keluar kamar mencari udara segar, memulihkan isi kepala yang sudah krisis menuju ketidakwarasan. Mengenakan piyama tidur, jaket denim oversized, dan sandal jepit berwarna mint andalan. Sengaja, ia tinggalkan ponsel di kamarnya.
Dua pohon ketapang tinggi menjulang di depan gedung, di balik daun-daunnya menyembul cahaya bulan malu-malu, bulan separuh. Taji duduk di salah satu kursi di sudut taman, menaruh banyak rasa sepi, kerinduan yang entah pada siapa, dan hidup membosankan yang segera ingin ia akhiri. Ia menangis.
Beberapa menit kemudian, Taji menegakkan kepalanya, menoleh ke belakang, mengingat-ingat waktu yang tak pernah mau menunggu, waktu yang tak bisa diulang, waktu yang terus mengejarnya, usianya kian banyak, tetapi keinginannya belum terealisasi satu pun. Kali ini tangisnya mereda, kalau hanya ia ratapi bahkan mungkin hingga usia 50 tahun ia tak akan jadi apa-apa. Ia berdiri, kembali ke kamar, berpikir untuk tidur nyenyak dan keesokan harinya bangun dengan tenaga berlipat.
Aksar Vimana.
Diteror sang ibu untuk lanjut kuliah S2, mulai dari program beasiswa hingga ibunya dengan tangan terbuka ingin bertanggung jawab penuh akan biayanya. Atau jika itu sulit, Warsi selalu mengarahkan Vimana untuk mengeksplor bakatnya yang lain, banyak belajar, mengikuti pelatihan, workshop, seminar, banyak mencari pengalaman, relasi, apapun itu asalkan hal-hal positif. Keinginannya satu, anak tunggalnya itu jadi seseorang yang luar biasa atau minimal tidak jadi karyawan biasa.
"Vim, ibu pengen kamu growth, punya value, berpikir lebih kritis, ambisius, visioner, bla bla bla." Kata-kata Warsi yang membuat Vimana tidak nyaman. Ia memang hanya ingin hidup biasa-biasa saja. Tetapi, Vimana tak pernah menemukan alasan paling masuk akal untuk pilihannya itu. Alhasil, ia hanya terus menjadi bulan-bulanan sang ibu yang memang ia akui, ibunya luar biasa hebat.
Langit-langit kamar memantulkan cahaya dari LED oil diffuser berwarna gold dan aroma jasmine merebak menyempurnakannya. Vimana fokus menatap langit-langit, ia ingin berpikir tetapi otaknya sulit berpikir, ia ingin mendalami tuntutan sang ibu tetapi sulit masuk ke dunia itu. Entah mengapa ia tak bisa menjadi ambisius, itu tak mungkin, itu tak perlu, hidup bukan tentang itu kan? Seribu kali pun ia pikirkan, Vimana tetaplah menyerah dengan pikirannya. Dalam otaknya terlalu kuat tertanam apa yang ia yakini, dan sang ibu seharusnya tak boleh mengusik itu. Tak ada keraguan sedikitpun, Vimana akan tetap pada prinsipnya, hidup biasa-biasa saja.
Jendra Apriadharma.
Di usia hampir 35 tahun lelaki satu ini memang tampak masih bocah. Sikapnya yang terlalu ramah, supel, flamboyan, dan dikelilingi perempuan-perempuan membuatnya dilabeli playboy oleh orang sekitar. Tetapi, Jendra tak pernah risih, justru cenderung bangga. Seringkali ia katakan bahwa perempuan adalah godaan terbesar yang tak mungkin bisa ia lawan. Perempuan seperti candu, makin ia hindari, ia akan semakin sakau.
Dan, kesenangan itu sayangnya tidak bertahan lama, ada satu titik dimana ia mulai stress akan hidupnya. Ia ingin sendirian, ingin banyak merenung, ingin menghabiskan energinya untuk dirinya sendiri, tak melulu menyenangkan orang lain.
Di dalam kamar, Jendra membuka jendela, menyulut sebatang rokok, menyeruput kopi dingin yang sudah dibiarkannya sedari tadi. Ia juga mematikan paket data ponselnya, berharap tak ada yang mengganggu. Otaknya ia biarkan tak memikirkan apapun, tetapi mana ada manusia yang pikirannya kosong? Ia berharap ada alkohol di depannya, meminum hingga ia tak sadar, tapi di gedung ini jelas tidak mungkin.
"Mas, kalau mau ngerokok jangan di kamar." Teriakkan penjaga mess dari luar gedung mengagetkan Jendra, ia refleks menutup jendela dan membuang puntung rokoknya. Saking terburu-burunya Jendra menjatuhkan gelas kopi di depannya. Pecahan gelas keramik menyebar di lantai kamar.
"Sial." Batinnya.
Chaniago.
Ekonomi, ekonomi, ekonomi. Permasalahan yang tak pernah pergi dari rumah tangganya yang lebih dari 20 tahun itu. Andai bisa mengulang waktu, Chan ingin sekali menjadi lelaki muda yang banyak belajar financial, ia ingin punya tabungan cukup sebelum menikah, ia ingin punya usaha, ia ingin menghasilkan banyak uang, agar ketika anak-anaknya sudah mulai hadir ke dunia ia tidak pusing perihal popok, susu, biaya sekolah, biaya kuliah, cicilan rumah, cicilan mobil, biaya kos anak, biaya pulsa, kuota internet, dan lain-lain. Ia lelah hampir sepanjang 20 tahun selalu membahas uang uang uang dengan sang istri, Norma. Mengapa semua selalu serba kurang? Padahal jika dibandingkan awal menikah, gajinya saat ini jauh bertambah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar