Hampir 10 tahun sudah Taji bekerja sebagai admin billing. Dengan kurun waktu selama itu dan di posisi yang sama memang bukanlah prestasi yang gemilang. Sejak usia 18 tahun ia mengabdi di perusahaan overburden itu, namun tidak banyak yang berubah. Gaji di atas UMR, itulah yang cukup untuk menjadi alasan perempuan itu bertahan.
Pagi-pagi sekali saat fajar belum berani lahir, halimun belum hilang sempurna, dan dingin masih merangkul kuat. Taji sudah menjejaki jalanan menuju halte bus terdekat. Ia memperhitungkan langkah kaki, jarak, dan waktu tempuh yang dibutuhkan untuk sampai di halte. Setelah itu ia menghitung dengan waktu yang tersisa sembari melihat jam di tangan kirinya, saat mengingat-ingat jadwal keberangkatan bus, ia panik dan sedikit berlari agar tidak tertinggal. Safety shoes, helmet, vest, dan ransel berisi travel toiletries & buku catatan cukup membuatnya merasa kewalahan ketika berlari. Tetapi, untuk mencapai sesuatu, memang harus berusaha sekeras demikian bukan?
Di pagi yang tenang itu, Taji sudah harus berkejaran dengan waktu. Tidak ada kompromi. Jika waktu sedang terhimpit, yang lapang pun seketika berubah menjadi sempit. Bus dengan nomor lambung 118 berhenti tepat di depan halte, ia masih berlari di belakang bus sambil melambai-lambaikan tangan berharap driver bisa melihat dari spion. Lampu sein kanan sudah terlihat, bus tampak sudah ingin segera meninggalkan halte sesaat setelah penumpang terakhir menutup pintu. Taji hampir menyerah, tapi tekadnya mencegah. Sebelum benar-benar kalah, baginya pantang untuk berserah. Sembari berlari dengan tenaga yang tersisa, dalam benak gadis itu membacakan mantra-mantra yang ia yakini mampu membuat detik seakan berhenti. Hening, hingga sepersekian detik kemudian di belakangnya melajulah beberapa mobil yang dengan kecepatan lumayan tinggi menguasai jalan, mereka datang seperti arak-arakan yang sedang melaju kencang.
Dengan mantra-mantra dalam otaknya, Taji merasakan betapa mobil-mobil yang melaju itu sedang menjadi superhero yang membantunya membekukan waktu sejenak, waktu bagi bus 118 yang sepertinya belum memiliki kesempatan untuk merebut barang sedikit badan jalan, dan disanalah semangat untuk mengejarnya berhasil.
Terengah-engah gadis itu membuka pintu bagian belakang bus, mengatur nafas perlahan, meletakkan atribut-atribut yang memungkinkan untuk di lepas, lalu duduk di salah satu seat kosong di sebelah kanan. Beberapa rekan seperti sudah terbiasa dengan pemandangan itu, dan beberapa yang lain masih mengoceh mengomentari ia yang hampir setiap hari terlambat.
"Begadang terus." Seru Pak Kalbi dengan nada menyindir. Taji memilih memejamkan mata setelah memasang seat belt lalu bersiap untuk tidur. Kegemarannya yang sudah banyak orang tau adalah tidur saat perjalanan. Di bus, di mobil, di becak, di angkot, di pesawat, di kapal, di delman, di bajaj, di kereta, bahkan di motor pun ia selalu merasa mengantuk. Sesuatu yang beberapa orang menyayangkannya, karena ia akan melewatkan banyak hal. Tetapi, begitulah Taji. Baginya, bus pagi memang waktu yang sempurna untuk tidur. Merasakan keheningan pagi yang didominasi suara-suara para pekerja yang sudah berjuang mengalahkan ayam. Rasanya tidur adalah reward terbaik untuk diri sendiri yang sudah berhasil bangun pagi.
Di sudut lain namun pada bus yang sama, ada Vimana yang memperhatikan kehadiran Taji. Isi kepalanya lagi-lagi menemukan ketidaksukaannya pada gadis itu.
"Dasar pemalas." Batinnya. Namun aroma floral kemudian berubah menjadi tonka bean lalu tercium seperti aroma vanilla, berubah-ubah menyeruak dari tubuh gadis itu, menguasai seisi bus, menghanyutkan Vimana menjauh dari fokusnya. Aroma ini tidaklah asing, mengingatkan ia pada sesuatu di masa lampau, tapi bahkan ia tak ingat persis kenangan apa itu.
Namun, konsentrasi Vimana untuk mengingat-ingat apa yang indentik dengan aroma ini terganggu oleh Jendra. Lelaki berisik ini sudah membuat gaduh suasana di bus, ia membangunkan Taji dan meghujani gadis itu dengan ragam pertanyaan.
"Apa sih Jend?" Taji yang sudah setengah tertidur kesal dengan Jendra yang duduk di belakangnya. Lelaki itu menepuk-nepuk bahu Taji, juga terus mengoceh tak kenal sungkan.
"Kenalin lah, nanti kamu juga kukenalin ke temanku."
"Nggak pokoknya."
"Ayolah, please."
"Nggak bisa Jend." Taji kurang nyaman mengatakan bahwa sahabatnya, Jube, sudah menikah.
"Jangan-jangan kamu masih cemburu ya aku pengen kenal temanmu."
"Jangan ngadi-ngadi ya." Taji langsung melotot, hilang kantuknya seketika. Kesal sekali ia dengan Jendra yang beberapa bulan sebelumnya memang sempat mendekatinya. Melihat reaksi Taji, Jendra tertawa terbahak-bahak. Di kursi belakang, Vimana hanya geleng-geleng kepala, heran melihat perilaku temannya.
Di antara banyak wanita yang Jendra dekati, mungkin Taji salah satu yang tersulit. Sikapnya yang selalu jutek dan terkesan jijik dengan Jendra membuat Jendra semakin senang menggoda gadis itu, dijadikan lelucon, dan ekspresi Taji ketika marah baginya adalah moodbooster. Oleh karena itu, sekalipun Jendra bertekad untuk berhenti menggoda gadis-gadis, niatnya mengurangi kegemaran membual sana-sini, dan menghindari polah tingkah ala cowok flamboyan lainnya. Jendra tak bisa berhenti melakukan itu pada Taji. Taji adalah pengecualian.
Pagi-pagi sekali saat fajar belum berani lahir, halimun belum hilang sempurna, dan dingin masih merangkul kuat. Taji sudah menjejaki jalanan menuju halte bus terdekat. Ia memperhitungkan langkah kaki, jarak, dan waktu tempuh yang dibutuhkan untuk sampai di halte. Setelah itu ia menghitung dengan waktu yang tersisa sembari melihat jam di tangan kirinya, saat mengingat-ingat jadwal keberangkatan bus, ia panik dan sedikit berlari agar tidak tertinggal. Safety shoes, helmet, vest, dan ransel berisi travel toiletries & buku catatan cukup membuatnya merasa kewalahan ketika berlari. Tetapi, untuk mencapai sesuatu, memang harus berusaha sekeras demikian bukan?
Di pagi yang tenang itu, Taji sudah harus berkejaran dengan waktu. Tidak ada kompromi. Jika waktu sedang terhimpit, yang lapang pun seketika berubah menjadi sempit. Bus dengan nomor lambung 118 berhenti tepat di depan halte, ia masih berlari di belakang bus sambil melambai-lambaikan tangan berharap driver bisa melihat dari spion. Lampu sein kanan sudah terlihat, bus tampak sudah ingin segera meninggalkan halte sesaat setelah penumpang terakhir menutup pintu. Taji hampir menyerah, tapi tekadnya mencegah. Sebelum benar-benar kalah, baginya pantang untuk berserah. Sembari berlari dengan tenaga yang tersisa, dalam benak gadis itu membacakan mantra-mantra yang ia yakini mampu membuat detik seakan berhenti. Hening, hingga sepersekian detik kemudian di belakangnya melajulah beberapa mobil yang dengan kecepatan lumayan tinggi menguasai jalan, mereka datang seperti arak-arakan yang sedang melaju kencang.
Dengan mantra-mantra dalam otaknya, Taji merasakan betapa mobil-mobil yang melaju itu sedang menjadi superhero yang membantunya membekukan waktu sejenak, waktu bagi bus 118 yang sepertinya belum memiliki kesempatan untuk merebut barang sedikit badan jalan, dan disanalah semangat untuk mengejarnya berhasil.
Terengah-engah gadis itu membuka pintu bagian belakang bus, mengatur nafas perlahan, meletakkan atribut-atribut yang memungkinkan untuk di lepas, lalu duduk di salah satu seat kosong di sebelah kanan. Beberapa rekan seperti sudah terbiasa dengan pemandangan itu, dan beberapa yang lain masih mengoceh mengomentari ia yang hampir setiap hari terlambat.
"Begadang terus." Seru Pak Kalbi dengan nada menyindir. Taji memilih memejamkan mata setelah memasang seat belt lalu bersiap untuk tidur. Kegemarannya yang sudah banyak orang tau adalah tidur saat perjalanan. Di bus, di mobil, di becak, di angkot, di pesawat, di kapal, di delman, di bajaj, di kereta, bahkan di motor pun ia selalu merasa mengantuk. Sesuatu yang beberapa orang menyayangkannya, karena ia akan melewatkan banyak hal. Tetapi, begitulah Taji. Baginya, bus pagi memang waktu yang sempurna untuk tidur. Merasakan keheningan pagi yang didominasi suara-suara para pekerja yang sudah berjuang mengalahkan ayam. Rasanya tidur adalah reward terbaik untuk diri sendiri yang sudah berhasil bangun pagi.
Di sudut lain namun pada bus yang sama, ada Vimana yang memperhatikan kehadiran Taji. Isi kepalanya lagi-lagi menemukan ketidaksukaannya pada gadis itu.
"Dasar pemalas." Batinnya. Namun aroma floral kemudian berubah menjadi tonka bean lalu tercium seperti aroma vanilla, berubah-ubah menyeruak dari tubuh gadis itu, menguasai seisi bus, menghanyutkan Vimana menjauh dari fokusnya. Aroma ini tidaklah asing, mengingatkan ia pada sesuatu di masa lampau, tapi bahkan ia tak ingat persis kenangan apa itu.
Namun, konsentrasi Vimana untuk mengingat-ingat apa yang indentik dengan aroma ini terganggu oleh Jendra. Lelaki berisik ini sudah membuat gaduh suasana di bus, ia membangunkan Taji dan meghujani gadis itu dengan ragam pertanyaan.
"Apa sih Jend?" Taji yang sudah setengah tertidur kesal dengan Jendra yang duduk di belakangnya. Lelaki itu menepuk-nepuk bahu Taji, juga terus mengoceh tak kenal sungkan.
"Kenalin lah, nanti kamu juga kukenalin ke temanku."
"Nggak pokoknya."
"Ayolah, please."
"Nggak bisa Jend." Taji kurang nyaman mengatakan bahwa sahabatnya, Jube, sudah menikah.
"Jangan-jangan kamu masih cemburu ya aku pengen kenal temanmu."
"Jangan ngadi-ngadi ya." Taji langsung melotot, hilang kantuknya seketika. Kesal sekali ia dengan Jendra yang beberapa bulan sebelumnya memang sempat mendekatinya. Melihat reaksi Taji, Jendra tertawa terbahak-bahak. Di kursi belakang, Vimana hanya geleng-geleng kepala, heran melihat perilaku temannya.
Di antara banyak wanita yang Jendra dekati, mungkin Taji salah satu yang tersulit. Sikapnya yang selalu jutek dan terkesan jijik dengan Jendra membuat Jendra semakin senang menggoda gadis itu, dijadikan lelucon, dan ekspresi Taji ketika marah baginya adalah moodbooster. Oleh karena itu, sekalipun Jendra bertekad untuk berhenti menggoda gadis-gadis, niatnya mengurangi kegemaran membual sana-sini, dan menghindari polah tingkah ala cowok flamboyan lainnya. Jendra tak bisa berhenti melakukan itu pada Taji. Taji adalah pengecualian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar