Berlari dari kenyataan, menarik kembali sebuah keputusan, kembali pada masa paling indah sekaligus menyengsarakan, apa mungkin? Bahkan pilihan menjadi sengsara pun masih tak tampak menakutkan dibanding pernikahan ini.
Malam itu satu malam penuh Bertha tak bisa menghubungi Riza. Kekasih yang sebentar lagi akan menjadi mantan itu seharusnya memang masih dalam genggamannya. Mereka belum putus bahkan ketika pernikahannya dengan Dave, lelaki pilihan orang tuanya itu tinggal menghitung hari. Bertha seperti tidak pernah rela melepaskan Riza yang sudah lebih dari 4 tahun menemaninya.
“Halo mas, Riza ada di kamarnya nggak? Soalnya kutelpon nggak bisa.” Bertha memberanikan diri menghubungi Oka, teman kost Riza yang jadi satu-satunya orang yang Bertha kenal. Lama perempuan itu menunggu balasan Oka, namun yang ia dapat jawaban yang tak sesuai harapannya. Ia merasa seperti dilupakan, padahal seharusnya ia yang melakukan itu lebih dahulu. Khawatir, hanyalah alasan yang paling mungkin ia pakai dibanding alasan curiga dan yang lainnya. Bertha gelisah sepanjang malam hingga beberapa hari kemudian, Riza benar-benar menghilang padahal sebelum itu Riza memintanya untuk mentransfer sejumlah uang.
Lamaran, foto prawedding, mengurus berkas ke KUA, persiapan gedung, katering, dekor, MUA, dokumentasi, seragam keluarga, tak mampu menyita pikiran Bertha seberat saat ia memikirkan Riza. Perasaan mereka berdua memang terlalu dalam, terlalu jauh, dan seharusnya, setidaknya bagi Bertha, tak mampu dipisahkan siapapun. Sayangnya, keadaan berkata berbeda.
Dalam kegelisahan, Bertha yang dalam hatinya pun diliputi rasa marah mulai mencoba mengalihkan pikirannya ke hal lain. Hal yang tetap membawanya pada ingatan tentang Riza, namun setidaknya tidak perlu memaksanya untuk terus menunggu kabar lelaki itu dengan putus asa. Bertha memusatkan emosinya dalam kepala, menatanya sedemikian rupa, dan mulai membuka folder “Personal” dalam laptopnya.
*
LDR, sebuah konsep hubungan yang sulit meyakinkan siapapun termasuk keluarga Bertha.
“Cari yang lain saja.”
“Yang pasti-pasti saja.”
“Yang serius saja.”
Saja-saja lainnya yang membuat Bertha tersudut dan akhirnya mengiyakan saat ia harus diperkenalkan dengan Dave. Yang memang tidak begitu dengan paksaan, logika-logika sederhana yang jika dipikirkan ulang tidaklah salah. Riza tak mungkin bisa serius, sedangkan usia Bertha sudah menuju 25 tahun, usia yang dalam keluarga Bertha dinilai sangat terlambat jika belum menikah.
Pertemuan pertamanya dengan Dave ditemani Fitri, kakak ipar Bertha yang mengenal Dave saat berbisnis di Johor. Jadilah, ketika Dave datang ke Pekanbaru, Fitri mengatur segala macam hal agar keduanya bisa berkenalan. Sebuah restaurant di sebuah hotel di pusat kota Pekanbaru menjadi pilihan Fitri.
Dengan cowl neck dress berwarna army dan rambut lurus yang dibiarkan tergerai, Bertha berjalan penuh percaya diri dengan stiletto berwarna hitam ditemani Fitri yang hanya mengantarkannya hingga loby hotel.
Saat melenggang menuju meja, Bertha sudah terfokus pada lelaki berjenggot tipis yang mengenakan tailored suit berwarna grey dan rambut tersisir rapi di sudut ruangan. Setelah berjarak sekitar 5 meter, lelaki itu berdiri dan melambaikan tangan pada Bertha.
“Hai.” Keduanya bersalaman dan Dave mempersilakan Bertha duduk. Malam itu menjadi malam yang membuat Bertha berpikir, mungkin perjodohan ini tidaklah terlalu buruk. Setelah malam itu, Bertha mulai membuka diri pada Dave dan seolah tidak pernah keberatan jika mereka melangkah ke hubungan yang lebih serius. Pikiran yang semakin menuju hari H, semakin ingin ia anulir. Bertha benci keputusannya.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar