Karyawan baru, pasangan baru, bahan baru, rumor baru, semangat baru.
Seisi Cempaka Office kini tengah ramai dengan konspirasi bolosnya 2 karyawan yang diduga tengah pergi berdua. Pembawa kabar pertama adalah Oka, dan yang lainnya adalah Slamet atasan Lania. Oka dan Slamet antusias memimpin sebuah rapat ghibah yang dihelat di meja kantin sepanjang coffee break. Dijamu seceret kopi dan sepiring kacang kulit, meja itu menjadi menarik bagi siapapun yang melintas. Agendanya jelas, Lania dan Riza. Beberapa dari mereka pada akhirnya bertaruh.
“100 ribu pertama mereka nggak pacaran. Aku kenal Lania cukup lama soalnya.” Dharma, teman lama Lania sejak di Bontang.
“100 ribu kedua mereka pergi berdua tapi nggak pacaran. Karena memang setau aku Riza punya pacar.” Kailani, orang yang cukup dekat dengan Riza.
“200 ribu mereka pacaran tapi bakal putus kurang dari 3 bulan.” Slamet bersemangat.
“Jahat lu met.” Tigor mesam-mesem dengan taruhan Slamet.
“Aku yakin Riza nggak mungkin serius. Dan Lania juga kayaknya agak nggak beres nggak sih?” Slamet menambahkan.
“500 ribu mereka pacaran tapi akan backstreet beberapa saat dan akan cukup langgeng.” Oka dengan cukup yakin.
Disusul taruhan-taruhan dari orang-orang lainnya yang juga tak kalah antusias dengan setiap kemungkinan-kemungkinan yang ditulis detail di catatan milik Oka. Mereka bubar ketika bel tanda coffee break berakhir berbunyi.
*
Dharma dan Tigor masih belum puas dengan hasil rapat ghibah plus pertaruhan tadi karena ditutup sebelum beberapa hal ia rasa clear.
“Gor, ngerasa aneh nggak sih?”
“Aneh gimana?”
“Lania, kalau sampai beneran dia sama Riza parah sih. Kamu ngerti kan maksudku?” Dharma yang cukup lama mengenal Lania masih belum terima dengan kemungkinan itu. Tigor mengangguk.
“Tipe Lania itu kan biasanya yang alim, baik, kalem.”
“Maksudmu Rumi?”
“Ya setipe Rumi. Sedangkan Riza?” Dharma melihat ke arah Tigor, mereka seolah berada di pemikiran yang sama.
“Ya kan?”
“Iya juga sih.” Tigor setuju dengan isi kepala Dharma yang bahkan tak perlu ia ungkapkan dengan kata-kata.
*
Di sisi lain di dalam office, beberapa ibu-ibu sedang berkumpul di depan sebuah meja yang di atasnya bercokol sebuah nampan berisi buah-buahan dan sambal rujak. Sulit dihindari, itu situasi paling menarik ghibah lain yang tentu saja versi ibu-ibu.
“Korban selanjutnya nggak sih?” Emma dengan antusias.
“Setelah gagal dapetin elu kan?” Jeni menyahut sembari mengunyah mangga muda di mulutnya.
“Kamu sempat juga ma?” Dinda bertanya kaget.
“Dipepet terus, sampai jijik sendiri.” Emma memperlihatkan ekspresi geli.
“Sama aku juga gitu.” Dinda menambahkan. Jeni dan Emma kompak melihat ke arah Dinda.
“Iya, beneran. Ngechat gombal-gombal dan sekalian saja kuberitahu Mas Pane.”
“Gila ya, padahal Mas Pane kan bosnya.” Jeni menggeleng-geleng.
“Nah itu dia. Memang agak sakit sih kayaknya.” Nona yang ada disana pun spontan mengalihkan ingatannya beberapa waktu silam saat Riza juga merayunya dengan modus serupa. Beruntungnya saat itu ia gesit memberitahu Dharma dan langsung dibentengi kekasihnya itu dengan berbagai macam petuah-petuah dan nasihat yang akhirnya membuat Dinda tak perlu membuang banyak tenaga meladeni sikap sok kecakepannya Riza.
“Aku jamin Lania bakal ditinggal kok.”
“Iya, paling juga Riza Cuma coba-coba.”
“Lania bilang dia punya pacar kok. Memang sama-sama aneh sih kayaknya.”
“Ya cocok sudah.” Yang satu main-main, yang satu pun sama.
“Biarin lah, nanti juga kena batunya si Riza kalau terus-terusan coba-coba jadi player amatiran.”
“Setuju.”
to be cont...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar