Berbahagia, bisa jadi hanyalah kata.
Semu, tak nyata. Begitulah kita.
Walau aku rindu, kau belumlah milikku, utuh.
Tinggal menunggu waktu, selamanya kita mengucap setia.
Mungkinkah?
Lirik lagu yang ditulis dengan penuh keraguan itu disambut Badawi dengan notasi-notasi indah. Dua orang dimabuk cinta itu akhirnya membuat sesuatu. Badawi berkali-kali menjelaskan apa saja yang ia inginkan dari karya berdua ini, namun Lania yang tak begitu paham musik ini tetap sulit memahami walupun ia tetap kekeuh ingin menyanyikan sendiri lagu itu.
“Aku nggak yakin hasilnya akan sesuai harapan yang.”
“Nggak apa-apa, ini kan untuk disimpan sendiri ay.”
Jadilah lagu itu dirampungkan dengan rekaman seadanya yang hanya satu kali take, dan hasilnya sudah pasti jauh dari ekspektasi.
*
Selepas isya, Lania bertemu Badawi dan rekan-rekan band lainnya di depan loby hotel. Ini mungkin akan jadi malam terakhir sebelum Lania memutuskan berhenti bernyanyi di pub itu dan ingin fokus dengan profesinya sebagai pekerja kantoran.. Malam itu ia mengenakan blazer broken white dan rambut yang dibiarkan tergerai keriting. Lania berencana untuk membawakan lagu mereka untuk kali pertama di panggung, sekaligus mungkin menjadi kali terakhir. Badawi memulai dengan memainkan intro, lalu Lania dengan khidmat menunggu masuk ke bait pertama. Baru di bait awal Lania sudah langsung digeruduk perasaan galau dan berat hati akan meninggalkan Badawi. Badawi yang tak kentara merasakan perasaan serupa justru tampil maksimal memainkan harmoni di tengah-tengah lagu. Suara mereka menyatu dalam lagu kita yang menjadi tanda akan hubungan indah keduanya. Tak peduli pengunjung suka atau tidak, Lania dan Badawi hanya berusaha membawakan lagu itu dengan penuh perasaan. Malam sedih itu dihabiskan Lania berdua dengan Badawi di atas rooftop di kost Lania hingga subuh. Ditemani sebotol wine dan beberapa bungkus kuaci dengan perisa greentea. Mereka banyak berbincang, berpegangan tangan, saling menguji beragam kemungkinan saat mereka berpisah nanti dan Badawi selalu meyakinkan hubungan mereka akan baik-baik saja.
*
Tinggal menghitung hari sebelum Lania meninggalkan kota itu, ia dengan yakin ingin mengukir banyak kenangan bersama Badawi yang dipacarinya sekitar 8 bulan itu. Lelaki yang usianya 3 tahun lebih muda.
Lebih sering bertemu di studio, berjalan-jalan sore, merayakan ulang tahun Badawi yang dihadiri lengkap rekan-rekan pemusik, membelikan cake berukuran jumbo, surprise di dalam studio, lalu membuat dokumentasi foto ala-ala ABG jatuh cinta yang lebih serupa prawedding membuat keduanya dilabeli pasangan beda usia namun sangat cocok. Dan bagi Lania, Badawi memang tipe idealnya, baik secara fisik maupun hal lain terutama tentang musik.
*
Mengukur jalanan Simpang Empat, Pasar Minggu, Plajau, Pelabuhan. Mencari pecel pincuk, nasi goreng rajungan, bihun Acil Anggi, es teler, Lania dan Badawi berbincang sepanjang jalan tentang banyak hal. Masa-masa indah yang memang tidak selamanya. 2 minggu LDR, dengan mudah Badawi menganulir setiap ucapan manisnya tempo hari, ia dengan yakin meminta putus entah karena alasan apa, karena semua menjadi tidak masuk akal dan sulit diterima Lania. Parahnya, kata putus itu terucap setelah Badawi berjanji dengan yakin akan mengunjungi Lania di bulan berikutnya. Bullshit.
Lagu kita yang penuh keraguan pada akhirnya terbukti sangat layak diragukan. Selamanya? Terlalu muluk jika keduanya mengharapkan itu, karena jarak sekian Kilometer saja sudah sangat cukup menjadi alasan padahal masalah di kehidupan tentu akan lebih berat dari itu. Lania membenci Badawi, terkhusus malam itu dan bisa jadi akan terus berlanjut hingga malam-malam sesudahnya.
to be cont...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar