Menemukan kehidupan lain dalam mata seseorang adalah kalimat bias yang gombal tetapi nyata dirasakan Lania sekarang. Riza yang penuh perhatian, penuh tanggung jawab, penuh cinta, seketika membuat Lania merasakan hal baru. Seperti jatuh cinta lagi dan lagi, setiap saat. Walaupun ia sulit merasakan sebahagia saat bersama Badawi, namun setidaknya secara logis sikap dan polah tingkah Riza jauh lebih baik. Sangat jauh.
Aku memang pernah lebih bahagia, tetapi tak pernah merasa sesempurna ini. Terima kasih.
Di perjalanan pulang, Riza dan Lania berbincang lebih banyak lagi. Perkenalan Lania dengan beberapa keluarga dekat Riza memang membuatnya sedikit mengerti gambaran kecil keluarga Riza. Dan itu nilai tambah bagi kekasihnya itu. Lelaki sederhana yang penuh tanggung jawab kepada keluarga yang punya beban menjadi anak pertama untuk adik-adiknya dan ibu yang harus menjadi buruh petik kopi di kampung. Riza adalah cara lain bagaimana Tuhan mengajari Lania tentang bentuk tanggung jawab, itulah yang Lania pikirkan di sela-sela obrolan mereka seputar keluarga.
Lalu, Lania pun tak enggan berbagi cerita seputar dirinya. Kehidupan menyebalkan yang ia lewati, masa kecil membagongkan, masa remaja penuh kegagalan, perjuangan hingga di titik sekarang. Namun, beberapa cerita ia biarkan tetap ada di kepalanya, hanya beberapa persen yang berani ia ceritakan. Termasuk perihal keluarga secara utuh.
“Ya, nanti kalau aku menikah dan misal suamiku harus pergi duluan dan aku punya anak, sebisa mungkin aku nggak akan menikah lagi.”
“Kenapa?”
“Ya aku nggak mau apa yang kejadian di aku, kejadian lagi di anakku.”
Riza menahan diri untuk bertanya lagi. Ia justru menghubungkan perkataan Lania dengan kejadian beberapa tahun silam. Ketika ibunya menikah lagi, rasanya seisi langit runtuh. Merasa dikhianati, merasa bersalah pada mendiang sang ayah, merasa sulit percaya pada siapapun, marah, kecewa, benci, pun sedih tak terbendung. Tak ada yang lebih menyakitkan dari itu. Dan sayangnya, tak ada yang bisa ia lakukan sedikitpun. Alasan sang ibu cukup masuk akal, semua adalah faktor ekonomi yang juga masih sulit ia penuhi sebagai sulung.
Gambaran masa depan dari Lania disertai sedikit cerita masa kecilnya membuat Riza merasakan perasaan menghangat. Latar yang mirip, kisah yang hampir serupa, membuat mereka berdua ada frekuensi yang sama. Membayangkan esok yang sama. Berdua. Dan, ia suka dengan jalan pikir Lania.
*
Bersama dengan sanak keluarga, Dave datang mengunjungi Bertha malam itu. Membawakan sebuah tiket dan bukti pemesanan travel agent, ia dengan sumringah menyampaikan tempat bulan madu mereka. Menceritakan rinci tempat tujuan hingga hal-hal seru yang bisa mereka habiskan. Bertha yang tengah menunggu telpon dari Riza menanggapi Dave dengan seadanya. Ia tak begitu antusias. Pikirannya terbagi di tempat lain.
“Kamu sehat kan?”
“Sehat, cuma agak ngantuk.”
“Mau istirahat sekarang?”
“Boleh?”
“Istirahat saja.” Dave beranjak dari teras dan membaur dengan keluarga lainnya di ruang tengah. Bertha bergegas ke kamar sebelum keluarga lain mencegatnya dengan banyak pertanyaan. Sayangny, Fitri ada disana. Perempuan itu mengekori Bertha ke kamarnya dan berusaha membaca situasi.
“Sampai kapan de?”
“Kamu sudah mau menikah.”
“Masih mau ingat-ingat si kampret itu?”
Bertha menggeleng, tatapannya kosong, ia merebahkan diri sebelum matanya memanas dan menangis. Ia menangisi entah apa. Hatinya sedih, terlebih melihat Dave yang berlaku teramat baik. Sedang dalam kepalanya masihlah menyimpan Riza, Riza, Riza yang tak pernah melakukan apapun saat ia akan dijodohkan.
"Kenapa dia nggak mau sedikit berusaha kak?”
to be cont...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar