Mana yang lebih hebat? Barca atau Madrid? Messi atau CR7? Pertanyaan yang akan dijawab berbeda antara Lania dan Riza. Lania yang gemar Barca karena diperkenalkan mantan kekasihnya, dan Riza yang menggemari Real Madrid sejak bocah. Riza adalah CR7 wanna be, ya terlalu kentara dari potongan rambut hingga jersey yang seringkali ia kenakan. Saat bermain futsal maupun sepak bola pun, Riza tampak meniru beberapa gaya idolanya itu, termasuk merk dan motif sepatu yang ia kenakan di lapangan. Hari itu Riza dan Lania janji temu pagi-pagi sekali. Entah kemana, Riza hanya mengatakan sesuatu yang tidak spesifik tetapi sulit Lania tolak. Mata Lania yang terbiasa bangun siang saat hari libur kali ini harus dengan terpaksa ia buka seterang mungkin. Menghampiri Riza di depan gerbang yang tampak rapi, rambutnya disisir dengan gel, kaosnya disetrika licin, belum lagi saat didekati Riza seperti seseorang yang mampu membuat Lania lebih semangat membuka mata. Aroma cokelat dari tubuhnya berbenturan dengan aroma floral pada pakaian, belum lagi aroma kopi pada lotion yang bisa ia pakai.
Menyusuri jalanan kota dari kawasan kost hingga tugu obor, memutar ke Tanjung Tengah hingga kembali bertemu kawasan kost, lalu kembali lagi ke arah selatan mencari sebuah tempat yang ternyata toko olahraga.
“Ini apa sayang?”
“Tangan.”
“Salah.”
“Jari?”
“Salah.”
“Apa?” Lania mulai tidak tertarik menjawab.
“Ini sepuluh, sepuluh kali Real Madrid juara liga champion. La Decima.”
“Sinting ya?”
Memasuki toko itu, Riza langsung memisahkan diri. Ia menyatroni bapak-bapak bertubuh tinggi berambut putih yang jika ditaksir usianya memasuki lima puluhan.
“Yang sepuluh sudah ada belum sih?”
“Belum ada mas, paling seminggu lagi.”
“Ya udah seminggu lagi saya kesini ya.”
Lania berjalan keluar toko berpikir transaksi itu selesai, namun cukup lama ia menunggu di luar, Riza tak kunjung datang. Lania kembali masuk, dan menyisur area etalase dan rak sebelah kiri toko. Kekasihnya itu duduk disana. Memegang sebuah sepatu berwarna hijau stabilo yang Lania tau persis itu yang dikenakan Neymar di pertandingan terakhir. Lalu di sebelahnya pula, bercokol sebuah sepatu berwarna putih bercorak oranye yang Lania juga tau adalah sepatu hang dikenakan CR7 dua nusim sebelumnya.
“Sayang yang ini nggak ada ukurannya.” Riza berbicara sendiri sembari mengangkat sepatu berwarna putih. Lania tidak berkomentar.
“Karena adanya ini ya sudahlah.” Riza berdiri, memamerkan kakinya yang mengenakan sepatu jijau stabilo itu di depan cermin. Berpose ke kanan dan ke kiri. Lalu setelah selesai, ia dengan yakin membawa sepatu itu ke bapak penjaga.Sebelum akhirnya menggamit sebuah bola yang ia pantulkan beberapa kali ke lantai.
“Ini juga deh.” Riza mengeluarkan kartu debit, lalu menenteng plastik berisikan sepatu dan bola.
“Yakin nggak salah beli?”
“Apa?”
Lania mengetuk-ngetuk plastik yang mmbungkus box sepatu.
“Apa? Neymar?”
Lania tertawa keras.
“Bancilona katamu.”
“Cuma sepatu latihan nggak apa-apa lah.”
“Iya nggak papa sih.” Lania dengan nada mengejek dan tersenyum menggoda.
“Apa?” Riza melirik. Lania makin kencang tertawa dibuatnya.
“Nggak apa-apa sayang, yang penting ini.” Riza lagi-lagi menunjukkan kedua tangan terbuka lebar ke depan wajah gadis itu.
“Sialan.” Lania membuang muka.
“La Decima.” Kali ini Riza berucap lantang dan penuh dengan tenaga. Diikuti suara cekikikkan yang mengganggu telinga Lania.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar