Latar, kembali jadi alasan kenapa bersama Riza terasa lebih cocok bagi Lania, pun sebaliknya. Dari obrolan singkat sore itu antara Riza, Lania, dan Kailani muncul sebuah ide yang seperti gayung bersambut. Keinginan ketiga orang itu untuk lanjut S1.
“Tapi apa bisa seminggu sekali?”
“Dua minggu sekali malah.”
“Ada emang ilmunya?”
“Anggap aja ada ya kan.” Kailani makhluk paling santai yang tidak banyak berpikir. Sementarakedua lawan bicaranya cukup penuh pertimbangan.
“Masalahnya 4 tahun itu lama cuy.”
“Lebih lama kalau lu nggak ngelakuin apa-apa.” Celetukan Kailani yang langsung membuat Riza dan Lania saling pandang, kedua sorot itu bertemu seolah mengiyakan ucapan Kailani barusan.
“Mumpung kita masih muda.”
“Kamu maksudnya?”
“Iya lah, kalau lu jelas nggak muda lagi.”
Ternyata topik itu bukan hanya isapan jempol, cukup waktu sehari, mereka bertiga sudah melangkah ke step selanjutnya, mencari tahu informasi di laman website kampus, mencari-cari ragam info yang terkait dengan kampus, mulai dari fakultas, jurusan, kemungkinan menyerap ilmu dengan jam perkuliahan yang minim, dan sebagainya.
Pada saat pendaftaran, Kailani dengan yakin memilih Management. Sedang Riza dan Lania dibingungkan oleh jurusan yang ingin dipilih. Riza yang hendak memilih Ilmu Hukum, sedang Lania Sastra Inggris. Lalu keduanya kembali dibingungkan oleh pilihan Teknk Mesin.
“Kamu yakin?” Lania mencoba memastikan.
“Kita sudah kerja bertahun-tahun di bagian itu. Yakin mau ambil teknik lagi? Sanggup?” Lania kembali memastikan. Riza terdiam, ia belum tahu akan mengambil apa. Belum lagi suara Kailani yang seperti hantu menghujani Riza dan Lania dengan logika-logika berpikirnya tentang jurusan yang ia pilih.
“Ok, aku ambil hukum” Riza dengan lantang.
“Ok. Aku Sastra Inggris.”
“Itu FKIP sayang. Kamu mau jadi guru?”
“Ya nggak sih. Tapi kayaknya itu paling cocok.”
“Kita sama aja, biar jam perkuliahannya sama.”
“Kenapa harus sama?”
“Biar kita sekelas, biar bareng.” Riza mencoba meyakinkan.
Dengan mempertimbangkan cita-cita masa kecilnya sebagai pengacara, Lania akhirnya memilih jawaban iya.
“Okay. Ilmu Hukum. Not bad.”
Lebih kurang 2 minggu setelah segala macam usaha itu dilakukan, mereka bertiga sudah harus menjalani test masuk, dari tertulis, wawancara, hingga kesehatan. Bolak-balik menempuh jarak ratusan kilometer itu dilakukan dengan waktu yang cukup padat, sampai pada masa dimana semua sudah sedikit lebih melegakan. Hanya tinggal menunggu masa ospek yang sepertinya sulit mereka hadiri.
Hari itu keduanya pergi ke sebuah warung makan, berbincang banyak tentang esok, masa depan, segala hal baik yang terencana indah, karir, hidup, kesuksesan, segala macam kenaifan hidup dengan berjaya hari itu. Bersemi di pikiran keduanya yang bertemu di udara. Saat-saat dimana kita adalah kata yang seringkali muncul di sela-sela kalimat mengandung esok. Kita yang sepertinya akan mudah.
“4 tahun lagi kita lulus, mungkin aku akan mudah berkarir. Lebih percaya diri menghadapi lingkungan yang isinya manusia-manusia yang terlampau bangga dengan almamaternya.”
“4 tahun lagi mungkin kita sudah menikah.” Lania membuat perut Riza melilit.
“Ya mungkin. Tapi aku masih umur berapa 4 tahun lagi.”
“28, aku 24.”
“Terlalu muda kan?”
“Atau boleh 2 tahun setelah itu.”
“Jadi mau tinggal disini? Lama?” Lania menggeleng.
“Aku tetap pengen keluar dari sini. Segera.”
“Tapi kuliah menahan kita selama 4 tahun.”
“Risiko.”
“Kamu mau pergi kemana?”
“Yang jauh, berkarir di hal yang aku suka. Passionku.”
“Ninggalin aku dong.”
“Makanya ayok kita sama-sama.”
“Aku udah merelakan apa yang aku pengen saat aku masuk kerja disini. Inj terasa lebih realistis dan menghasilkan. Dan kita nggak punya privilege untuk mengejar apa itu passion. Idealisme dalam keadaan ini bukan pilihan yang tepat sayang.”
Lania terdiam, ia merasa kurang setuju dengan jalan pikir Riza. Walaupun bisa jadi itu benar. Sejenak ia merasa lelaki itu mengecilkan mimpi-mimpinya walaupun tanpa sengaja.
To be cont...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar