Di Kuala
Timur, kisah cinta Mahesh dan Ranu seperti cerita rakyat, negeri dongeng, indah
sekali. Mereka bertetangga dari kecil. Ayah Ranu adalah seorang bankir, ibunya
pegawai negeri. Ranu lebih sering bersama pengasuhnya, Ajeng, yang kini jadi
ibu mertuanya. Maka tak heran sedari kecil Ranu dan Mahesh saling kenal. Mereka
bahkan selalu sekelas dari TK hingga SMA. Ranu yang cengeng, Mahesh yang gemar
berkelahi, pasangan serasi kala itu. Bahkan seekor semut pun tak diizinkannya
untuk menggigit Ranu. Mahesh sangat protektif. Begitulah yang tersiar di
kampung Kuala Timur.
Saat
masih kecil, ayah dan ibu Ranu meninggal karena kecelakaan, jadilah Ranu
tinggal dan menetap dengan neneknya di kampung Kuala Barat, yang hanya berjarak
sekitar 15 KM. Senin hingga sabtu, Mahesh bersama dengan Ranu di sekolah, lalu
di hari minggu Mahesh apel di rumah nenek Ranu hingga seharian. Itu terjadi
bertahun-tahun hingga saat lulus SMA Ranu dan Mahesh sempat berencana langsung
dinikahkan, tetapi Ajeng menolak. Bukan karena tidak setuju dengan Ranu, tetapi
ia merasa terlalu muda jika Mahesh ingin menikah di usia itu. Setelah
perdebatan panjang, akhirnya Mahesh bisa lulus dan setelah itu baru menikah.
Ranu yang sudah lulus S1 dilarang Mahesh bekerja dan dipaksa menjadi ibu rumah
tangga. Begitulah kehidupan mereka yang baik-baik saja hingga Mahesh tak ada.
”Ya agak
nyesel buk. Tapi sudah terjadi.” Ranu seringkali bercerita ke Ajeng bahwa ia
menyesal memutuskan tidak bekerja saat itu. Sekarang ia kesulitan mencari
pekerjaan kantoran di usianya yang tidak lagi muda dan sudah beranak 2.
”Semoga
nanti dikasih jalan.” Ajeng mengelus kepala Ranu, wanita setengah baya itu
memang benar-benar menyayangi anak menantunya yang ia asuh sedari kecil itu.
Setelah
ditinggal Mahesh, belahan jiwanya, Ranu seperti menjadi orang yang berbeda. Ia
jarang bicara, mengurangi interaksi dengan tetangga, memilih pasar yang jauh
untuk sekadar beli sayuran dan lauk-pauk, punya rutinitas baru di luar yang
entah dengan siapa, ia hanya bilang bahwa sedang berkumpul dengan teman-teman
SMA, lalu tak jarang ia menginap di luar. Kebiasaan Ranu itu tidaklah
mengganggu bagi Ajeng, Ajeng merasa wajar jika Ranu perlu waktu untuk melupakan
Mahesh, wajar jika Ranu perlu berkawan agar tidak terpuruk di rumah, Ajeng
selalu mengizinkan. Malah justru Elok yang cerewet, ia bertanya-tanya apa yang
dilakukan kakak iparnya itu hingga menginap? Tetapi, Ajeng selalu punya jawaban
yang akhirnya membuat Elok tak bisa marah lebih jauh.
Pernah
di satu malam, Ranu tak kunjung pulang, tetapi juga tidak memberi kabar. Ajeng tidak
tidur, ia menunggu. Kedua anak Ranu pun turut gelisah, mereka terbangun
berkali-kali hingga Ajeng semakin risau. Dengan perasaan yang menyiksa itu,
Ajeng menghubungi Elok, berharap ada Elok yang bisa membuatnya lebih tenang
atau sekadar meyakinkannya bahwa nanti juga Ranu akan pulang. Namun sayang,
Elok justru semakin marah. Ia kesal dengan Ranu yang bahkan sedari dulu mncuri
kasih sayang Ajeng darinya. Tetapi Ranu seperti tidak tahu diri.
”Jangan
terlalu dimanja!” Elok meninggikan suaranya.
”Bukan
manjain, ibu kan cuma kasih ruang to.” Ajeng berkilah.
”Kasih
ruang kasih ruang, tunggu aja sampai dia bikin malu keluarga. Mana ada orang
yang kerjaannya nginep di luar nggak ada kabar? Nggak ada bu.” Elok semakin kesal.
”Siapa
tahu dia memang ada keperluan.” Ajeng masih membela Ranu.
”Keperluan apa malem-malem bu? Ya
sudah kalua ibu memang seneng dibohongin sama Mbak Ranu, terserah.” Elok
menutup teleponnya. Malam itu hingga matahari muncul, tak jua ada kabar dari
Ranu, pun tak jua perempuan itu kembali. Hingga di hari ketiga barulah Ranu
kembali dengan alasan klasik. Bantu acara di rumah teman SMA, yang entah siapa
orang itu. Ajeng tak kenal. Seumur hidup Ranu bersama Ajeng, tetapi bari kali
ini Ajeng merasa jauh sekali dengan Ranu. Gadis kecil yang selalu ia sayangi
itu.
Sejah
dahulu, Ranu seperti anak emas Ajeng. Apapun yang Ranu inginkan, Ajeng selalu
berusaha mewujudkan itu. Walaupun Ranu masih punya nenek, tetapi Ajeng merasa
ia punya tanggung jawab untuk memastikan kebahagiaan gadis itu, dan itu yang
membuat Elok geram. Pernah satu waktu, Ranu bercerita pada Ajeng bahwa motor
yang ia bawa ke kampus sering mogok, dengan keadaan Ajeng yang terbatas ia
berusaha meminjamkan motornya kepada Ranu, yang akhirnya membuatnya kerepotan
sendiri. Ranu memang menolak, tetapi itu semakin membuat Ajeng merasa perlu
meyakinkan gadis itu bahwa ia harus membantu. Ranu juga seringkali datang ke
rumah hanya untuk bercerita tentang perkelahiannya dengan Mas Mahesh, dan sudah
tentu Ajeng membelanya. Ranu sering bilang bahwa Elok tidak senang dengannya, lalu
Ajeng marah dan menasehati Elok dengan keras. Pokoknya jika diurutkan anak
kesayangan di rumah itu, Ranu lah posisi pertama. Maka dari itu, Elok sangat senang
saat tahu bahwa kakaknya dilarang menikah dengan Ranu di awal-awal kelulusan SMA,
ia berharap itu bisa membuat mereka berdua putus dan Ranu menjauh dari
keluarganya. Tetapi sayangnya kegembiraan itu tidak bertahan lama, hanya dengan
waktu 4 tahun, harapan Elok itu luluh lantak, hancur berkeping-keping.
Ketidaksukaan
Elok bukan hanya karena pilih kasihnya Ajeng ke Ranu, ia pernah beberapa kali
menjumpai kakak iparnya itu berperilaku janggal. Di balik sifatnya yang
berbicara lemah-lembut, Elok meyakini ada sisi lain Ranu yang berisi setan, jelmaan
iblis, dan penemu kesurupan. Apapun itu, Elok ingin sekali berteriak.
”Mbak
Ranu nggak sebaik itu buuuuuuuuuu!” Tetapi ia urung mengatakan itu karena sudah
tentu akan sia-sia.
**
Cerita
tentang Ranu sudah seperti agenda harian antara Elok dan Aco. Elok
mendongengkan nama Ranu berkali-kali dalam sehari hingga Aco hapal. Lelaki itu
bahkan bisa membayangkan Ranu di kepalanya. Elok sangat amat jelas
mendeskripsikan perempuan itu, dan sudah pasti isinya kuranglah baik.
”Jangan
su’udzon.” Aco menasihati.
”Kamu
nggak tau sih, coba kamu ketemu langsung pasti kesel.” Elok merengut.
”Kalian
kurang komunikasi aja itu.” Aco masih berusaha.
”Ngapain?”
Suara Elok meninggi.
”Habisnya
kamu kalau ceritain dia menggebu-gebu banget yang, habis energimu membenci orang.”
Aco terus berusaha.
”Ya
wajar lah, dia keterlaluan. Dia
nggak menghargai ibu.” Elok seperti melakukan closing statement. Ia
memberikan penekanan di kalimat terakhir. Aco menyerah setelah itu, ia pun
takut hubungannya memburuk karena ini.
Tetapi
di lain kesempatan terus saja mereka berdua berdebat terkait Ranu, tak ada
habisnya. Elok sangat piawai membenci, sedang Aco merasa itu berlebihan. Sampai-sampai
Aco merasa lebih mudah menasihati orang yang tengah jatuh cinta atau pendukung
capres, dibanding menasihati Elok. Elok benar-benar seperti batu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar