Selasa, 25 Maret 2025

10

 

            Di Kuala Timur, kisah cinta Mahesh dan Ranu seperti cerita rakyat, negeri dongeng, indah sekali. Mereka bertetangga dari kecil. Ayah Ranu adalah seorang bankir, ibunya pegawai negeri. Ranu lebih sering bersama pengasuhnya, Ajeng, yang kini jadi ibu mertuanya. Maka tak heran sedari kecil Ranu dan Mahesh saling kenal. Mereka bahkan selalu sekelas dari TK hingga SMA. Ranu yang cengeng, Mahesh yang gemar berkelahi, pasangan serasi kala itu. Bahkan seekor semut pun tak diizinkannya untuk menggigit Ranu. Mahesh sangat protektif. Begitulah yang tersiar di kampung Kuala Timur.

            Saat masih kecil, ayah dan ibu Ranu meninggal karena kecelakaan, jadilah Ranu tinggal dan menetap dengan neneknya di kampung Kuala Barat, yang hanya berjarak sekitar 15 KM. Senin hingga sabtu, Mahesh bersama dengan Ranu di sekolah, lalu di hari minggu Mahesh apel di rumah nenek Ranu hingga seharian. Itu terjadi bertahun-tahun hingga saat lulus SMA Ranu dan Mahesh sempat berencana langsung dinikahkan, tetapi Ajeng menolak. Bukan karena tidak setuju dengan Ranu, tetapi ia merasa terlalu muda jika Mahesh ingin menikah di usia itu. Setelah perdebatan panjang, akhirnya Mahesh bisa lulus dan setelah itu baru menikah. Ranu yang sudah lulus S1 dilarang Mahesh bekerja dan dipaksa menjadi ibu rumah tangga. Begitulah kehidupan mereka yang baik-baik saja hingga Mahesh tak ada.

            ”Ya agak nyesel buk. Tapi sudah terjadi.” Ranu seringkali bercerita ke Ajeng bahwa ia menyesal memutuskan tidak bekerja saat itu. Sekarang ia kesulitan mencari pekerjaan kantoran di usianya yang tidak lagi muda dan sudah beranak 2.

            ”Semoga nanti dikasih jalan.” Ajeng mengelus kepala Ranu, wanita setengah baya itu memang benar-benar menyayangi anak menantunya yang ia asuh sedari kecil itu.

            Setelah ditinggal Mahesh, belahan jiwanya, Ranu seperti menjadi orang yang berbeda. Ia jarang bicara, mengurangi interaksi dengan tetangga, memilih pasar yang jauh untuk sekadar beli sayuran dan lauk-pauk, punya rutinitas baru di luar yang entah dengan siapa, ia hanya bilang bahwa sedang berkumpul dengan teman-teman SMA, lalu tak jarang ia menginap di luar. Kebiasaan Ranu itu tidaklah mengganggu bagi Ajeng, Ajeng merasa wajar jika Ranu perlu waktu untuk melupakan Mahesh, wajar jika Ranu perlu berkawan agar tidak terpuruk di rumah, Ajeng selalu mengizinkan. Malah justru Elok yang cerewet, ia bertanya-tanya apa yang dilakukan kakak iparnya itu hingga menginap? Tetapi, Ajeng selalu punya jawaban yang akhirnya membuat Elok tak bisa marah lebih jauh.

            Pernah di satu malam, Ranu tak kunjung pulang, tetapi juga tidak memberi kabar. Ajeng tidak tidur, ia menunggu. Kedua anak Ranu pun turut gelisah, mereka terbangun berkali-kali hingga Ajeng semakin risau. Dengan perasaan yang menyiksa itu, Ajeng menghubungi Elok, berharap ada Elok yang bisa membuatnya lebih tenang atau sekadar meyakinkannya bahwa nanti juga Ranu akan pulang. Namun sayang, Elok justru semakin marah. Ia kesal dengan Ranu yang bahkan sedari dulu mncuri kasih sayang Ajeng darinya. Tetapi Ranu seperti tidak tahu diri.

            ”Jangan terlalu dimanja!” Elok meninggikan suaranya.

            ”Bukan manjain, ibu kan cuma kasih ruang to.” Ajeng berkilah.

            ”Kasih ruang kasih ruang, tunggu aja sampai dia bikin malu keluarga. Mana ada orang yang kerjaannya nginep di luar nggak ada kabar? Nggak ada bu.” Elok semakin kesal.

            ”Siapa tahu dia memang ada keperluan.” Ajeng masih membela Ranu.

            ”Keperluan apa malem-malem bu? Ya sudah kalua ibu memang seneng dibohongin sama Mbak Ranu, terserah.” Elok menutup teleponnya. Malam itu hingga matahari muncul, tak jua ada kabar dari Ranu, pun tak jua perempuan itu kembali. Hingga di hari ketiga barulah Ranu kembali dengan alasan klasik. Bantu acara di rumah teman SMA, yang entah siapa orang itu. Ajeng tak kenal. Seumur hidup Ranu bersama Ajeng, tetapi bari kali ini Ajeng merasa jauh sekali dengan Ranu. Gadis kecil yang selalu ia sayangi itu.

            Sejah dahulu, Ranu seperti anak emas Ajeng. Apapun yang Ranu inginkan, Ajeng selalu berusaha mewujudkan itu. Walaupun Ranu masih punya nenek, tetapi Ajeng merasa ia punya tanggung jawab untuk memastikan kebahagiaan gadis itu, dan itu yang membuat Elok geram. Pernah satu waktu, Ranu bercerita pada Ajeng bahwa motor yang ia bawa ke kampus sering mogok, dengan keadaan Ajeng yang terbatas ia berusaha meminjamkan motornya kepada Ranu, yang akhirnya membuatnya kerepotan sendiri. Ranu memang menolak, tetapi itu semakin membuat Ajeng merasa perlu meyakinkan gadis itu bahwa ia harus membantu. Ranu juga seringkali datang ke rumah hanya untuk bercerita tentang perkelahiannya dengan Mas Mahesh, dan sudah tentu Ajeng membelanya. Ranu sering bilang bahwa Elok tidak senang dengannya, lalu Ajeng marah dan menasehati Elok dengan keras. Pokoknya jika diurutkan anak kesayangan di rumah itu, Ranu lah posisi pertama. Maka dari itu, Elok sangat senang saat tahu bahwa kakaknya dilarang menikah dengan Ranu di awal-awal kelulusan SMA, ia berharap itu bisa membuat mereka berdua putus dan Ranu menjauh dari keluarganya. Tetapi sayangnya kegembiraan itu tidak bertahan lama, hanya dengan waktu 4 tahun, harapan Elok itu luluh lantak, hancur berkeping-keping.

            Ketidaksukaan Elok bukan hanya karena pilih kasihnya Ajeng ke Ranu, ia pernah beberapa kali menjumpai kakak iparnya itu berperilaku janggal. Di balik sifatnya yang berbicara lemah-lembut, Elok meyakini ada sisi lain Ranu yang berisi setan, jelmaan iblis, dan penemu kesurupan. Apapun itu, Elok ingin sekali berteriak.

            ”Mbak Ranu nggak sebaik itu buuuuuuuuuu!” Tetapi ia urung mengatakan itu karena sudah tentu akan sia-sia.

 

**

 

            Cerita tentang Ranu sudah seperti agenda harian antara Elok dan Aco. Elok mendongengkan nama Ranu berkali-kali dalam sehari hingga Aco hapal. Lelaki itu bahkan bisa membayangkan Ranu di kepalanya. Elok sangat amat jelas mendeskripsikan perempuan itu, dan sudah pasti isinya kuranglah baik.

            ”Jangan su’udzon.” Aco menasihati.

            ”Kamu nggak tau sih, coba kamu ketemu langsung pasti kesel.” Elok merengut.

            ”Kalian kurang komunikasi aja itu.” Aco masih berusaha.

            ”Ngapain?” Suara Elok meninggi.

            ”Habisnya kamu kalau ceritain dia menggebu-gebu banget yang, habis energimu membenci orang.” Aco terus berusaha.

            ”Ya wajar lah, dia keterlaluan. Dia nggak menghargai ibu.” Elok seperti melakukan closing statement. Ia memberikan penekanan di kalimat terakhir. Aco menyerah setelah itu, ia pun takut hubungannya memburuk karena ini.

            Tetapi di lain kesempatan terus saja mereka berdua berdebat terkait Ranu, tak ada habisnya. Elok sangat piawai membenci, sedang Aco merasa itu berlebihan. Sampai-sampai Aco merasa lebih mudah menasihati orang yang tengah jatuh cinta atau pendukung capres, dibanding menasihati Elok. Elok benar-benar seperti batu.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts