SMPN 1 Kuala
Timur, sekolah yang dipilih Elok. Setelah banyak teman yang lain memilih masuk pesantren,
MTs ataupun sekolah islam lainnya. Elok tetap teguh pendirian ingin masuk SMP. Saat
itu alasan Elok karena ekskul klub buku, tidak lebih dari itu. Perdebatan cukup
sengit dengan Mahesh terjadi, ia ingin adiknya banyak belajar agama, tetapi Ajeng
justru lebih santai.
”Ya
biarkan lah bang, itu pilihannya.” Ajeng meyakinkan anaknya.
”Ibu
nggak pengen anak ibu berilmu?” Mahesh emosi.
”Pengen,
tapi nggak harus masuk pesantren.” Ajeng menjawab lembut.
”Ibu mau
waktunya habis untuk ekskul nggak jelas itu?” Mahesh semakin keras.
”Kok
nggak jelas? Itu justru kumpulan anak-anak pinter bang.” Elok menjawab.
”Kamu
nggak tau disana nggak ada filterring tema bacaan? Ada buku dewasa juga dan
kamu mau ikut? Nggak bisa. Kalaupun kamu masuk SMP, abang nggak izinin kamu
ikut klub buku.” Pendapat paling konyol dari Mahesh yang membuat Elok ilfil.
Dari sana Elok merasa sudut pandang abangnya dalam melihat sesuatu teramat
sempit. Wajar jika ia sangat yakin memilih Ranu sebagai istri, karena ya memang
abangnya itu tidak bisa berpikir lebih jernih.
Elok meninggalkan
perdebatan konyol itu dan masuk kamar, ia lebih memilih menyudahi itu, walaupun
dalam hatinya tetap yakin akan melawan abangnya, apapun kondisinya. Ajeng
mengekori Elok, ia mengetuk pintu kamar lalu masuk sebelum Elok sempat
menjawab.
”Nggak
apa-apa kalau memang kamu sudah yakin, ibu dukung.” Ajeng hanya mengucapkan itu
lalu pamit. Elok menangis sejadi-jadinya, ia menahan tangis itu sejak berhadapan
dengan Mahesh. Lalu tumpah ruah saat ia sendirian.
**
Memasuki
masa orientasi siswa, Elok sudah mulai mendapat kawan, salah satunya Abigail. Elok
dan Abigail menjadi satu kelompok saat itu, mereka diberi tugas untuk membuat
presentasi terkait pengenalan sekolah sesuai hasil orientasi beberapa hari
terakhir. Dari sana Elok melihat, bahwa Abigail orang yang cerdas. Gadis
berambut panjang itu pintar mengambil sisi menarik dari suatu hal, dan lebih
menariknya lagi ia pandai menggambar dan komputer. Saat itu, tidak banyak
anak-anak yang dengan mahir mengoperasikan komputer. Abigail mungkin 1 dari 10.
Tugas setiap orang dibagi, dan Elok menerima bagian presentasi, Abigail yang
menyiapkan apa saja yang perlu ditampilkan, sedang kawan lainnya membantu
mengumpulkan materi. Disanalah terlihat Abigail tampak sebagai pemimpin, sangat
dominan. Gadis itu pun cukup cerdas membagi tugas dan menentukan pemain. Elok
tercengang dengan apa yang dilihatnya, betapa seorang anak 12 tahun bisa
sedemikian lincah dan tahu apa yang harus dilakukan.
”Dari SD
mana?” Saat jam makan siang, setelah presentasi usai, Elok berkesempatan
mengobrol dengan gadis itu. Rasa penasarannya dengan sekolah asal Abigail
karena seragam Sdnya berbeda dengan kawan-kawan yang lain.
”SD
Seberang Laut 4.” Jawab
Abigail. Elok memutar otak, mengingat-ingat tempat yang disebutkan
Abigail, ia merasa familiar tetapi ia lupa dimana letak pastinya sekolah itu.
”Kalau
dari sini harus nyeberang 4 jam pakai speed boat.” Abigail menambahkan. Ia
sadar Elok terlihat bingung.
”Disana
nggak ada SMP?” Elok penasaran.
”Ada, tapi
abah pindah tugas kesini.” Jawab Abigail.
”Kerja
dimana?”
”Kebun
sawit.”
Setelah
jawaban itu, Elok tak lagi bertanya lebih jauh. Ia hanya masih belum bisa menghubungkan
antara nama Abigail, wajah, kecerdasan, talenta, dan tempat asal ia tinggal.
Semua seakan tidaklah matching. Seberang laut, desa terpencil yang bahkan Elok
selalu yakin belum ada internet disana. Sangat kontras dengan Abigail yang
cenderung memiliki pola pikir modern dan lebih unggul darinya.
**
Memasuki
tahun pertama di SMP, Elok cepat beradaptasi. Ia ada di kelas yang cukup beragam
siswa-siswinya. Dari kutu buku hingga anak ternakal. Dari yang rapi hingga yang
awut-awutan. Sayangnya, ia tidak sekelas dengan Abigail. Elok secara tak
sengaja duduk dengan Hanum, salah satu perempuan pendiam di kelas. Walaupun duduk
berdekatan, Elok dan Hanum jarang berbicara. Mereka hanya saling bantu saat
pelajaran agama yang diminta menghafal surah pendek, mau tidak mau Hanum
meminta bantuan Elok untuk memastikan bacaannya benar. Selain pelajaran itu,
mereka nyaris seperti orang asing, atau teman yang tidak akur, diam-diaman. Selama
setahun sekelas, mereka mulai akrab menjelang kenaikan kelas. Mereka belajar
bersama sebelum ujian.
Saat
kelas 2, kelas mulai dikelompokkan berdasarkan ranking. 30 besar 1 angkatan
dikumpulkan menjadi 1 kelas unggulan. Elok kembali bersama Hanum, dan mereka
pun sekelas dengan Abigail. Dari sanalah mereka bertiga menjadi akrab. Walaupun
memilih ekskul yang berbeda. Abigail yang gemar ikut klub badminton, Hanum yang
lebih senang ikut PMR, sedang Elok masih kecewa klub buku tiba-tiba bubar di
tahun kedua ia di SMP. Kata Bu Lastri, karena kurang peminat. Akhirnya Elok
bergabung di ekskul yang tak ia pahami, Pramuka. Dari sana Elok seringkali
menjadi bulan-bulanan oleh Hanum dan Abigail, mereka merasa ini cukup kocak
melihat betapa semangatnya Elok menceritakan klub buku itu.
Elok
hampir setiap hari ke perpustakaan, ia punya target membaca 2 hingga 4 buku
seminggu, khusus sebagai bekal saat hadir di klub buku. Elok sangat tertarik
dengan novel dan puisi, di klub itu ia seperti bertemu keluarga baru yang satu
frekuensi dengannya, walaupun memang banyak dari peserta berasal dari kelas XII
yang saat mereka lulus, 90% peserta klub buku berkurang, alhasil klub itu
dibubarkan. Elok heran, mengapa tak ada peserta didik baru yang mau masuk klub
itu. Selebaran gencar dibagikan ke kelas-kelas, pemberitahuan pendaftaran ada
di mading sekolah, usai masa orientasi pun kegiatan itu dipromosikan oleh Bu
Lastri, tetapi tak cukup untuk menarik minat. Apa yang salah? Ia yang sering
diledek Hanum dan Abigail kali ini lebih sering menghindar. Ia memilih jam
kosong dan jam istirahat untuk pergi ke perpustakaan, kali ini bukan untuk
membaca, tetapi hanya ingin melamun saja. Banyak yang ia pikirkan hingga jika
orang lain melihatnya akan terasa seperti orang yang tengah punya masalah hidup
berat dan tak terselesaikan.
”El, sudah bel.” Bu
Rohana penjaga perpustakaan mengingatkan Elok tentang bel masuk. Elok dengan
langkah berat berdiri dan keluar menuju kelas. Ia masih berpikir keras,
bagaimana caranya agar klub buku bisa kembali. Tetapi tak jua ia menemukan
solusi. Ia hanya merasa malas saat menyadari bahwa jumat depan ia sudah harus
mulai masuk kegiatan pramuka, dan itu tidaklah menyenangkan. Ia membayangkan
harus baris-berbaris, upacara, belajar sandi-sandi, simpul-simpul, yang di
kepalanya itu adalah pelajaran sia-sia, tak ada guna. Belum lagi jika ia harus
terpaksa ikut berkemah. Rasanya seakan semua ini bukan yang ia inginkan. Ia menyesal
seribu kali memilih ini, tetapi pilihan yang lain pun tak ada yang membuatnya
tertarik. Elok benar-benar merasa pasrah, kehidupan tak menarik di kelas baru
segera dimulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar