Minggu, 30 Maret 2025

11

 

            SMPN 1 Kuala Timur, sekolah yang dipilih Elok. Setelah banyak teman yang lain memilih masuk pesantren, MTs ataupun sekolah islam lainnya. Elok tetap teguh pendirian ingin masuk SMP. Saat itu alasan Elok karena ekskul klub buku, tidak lebih dari itu. Perdebatan cukup sengit dengan Mahesh terjadi, ia ingin adiknya banyak belajar agama, tetapi Ajeng justru lebih santai.

            ”Ya biarkan lah bang, itu pilihannya.” Ajeng meyakinkan anaknya.

            ”Ibu nggak pengen anak ibu berilmu?” Mahesh emosi.

            ”Pengen, tapi nggak harus masuk pesantren.” Ajeng menjawab lembut.

            ”Ibu mau waktunya habis untuk ekskul nggak jelas itu?” Mahesh semakin keras.

            ”Kok nggak jelas? Itu justru kumpulan anak-anak pinter bang.” Elok menjawab.

            ”Kamu nggak tau disana nggak ada filterring tema bacaan? Ada buku dewasa juga dan kamu mau ikut? Nggak bisa. Kalaupun kamu masuk SMP, abang nggak izinin kamu ikut klub buku.” Pendapat paling konyol dari Mahesh yang membuat Elok ilfil. Dari sana Elok merasa sudut pandang abangnya dalam melihat sesuatu teramat sempit. Wajar jika ia sangat yakin memilih Ranu sebagai istri, karena ya memang abangnya itu tidak bisa berpikir lebih jernih.

            Elok meninggalkan perdebatan konyol itu dan masuk kamar, ia lebih memilih menyudahi itu, walaupun dalam hatinya tetap yakin akan melawan abangnya, apapun kondisinya. Ajeng mengekori Elok, ia mengetuk pintu kamar lalu masuk sebelum Elok sempat menjawab.

            ”Nggak apa-apa kalau memang kamu sudah yakin, ibu dukung.” Ajeng hanya mengucapkan itu lalu pamit. Elok menangis sejadi-jadinya, ia menahan tangis itu sejak berhadapan dengan Mahesh. Lalu tumpah ruah saat ia sendirian.

 

**

 

            Memasuki masa orientasi siswa, Elok sudah mulai mendapat kawan, salah satunya Abigail. Elok dan Abigail menjadi satu kelompok saat itu, mereka diberi tugas untuk membuat presentasi terkait pengenalan sekolah sesuai hasil orientasi beberapa hari terakhir. Dari sana Elok melihat, bahwa Abigail orang yang cerdas. Gadis berambut panjang itu pintar mengambil sisi menarik dari suatu hal, dan lebih menariknya lagi ia pandai menggambar dan komputer. Saat itu, tidak banyak anak-anak yang dengan mahir mengoperasikan komputer. Abigail mungkin 1 dari 10. Tugas setiap orang dibagi, dan Elok menerima bagian presentasi, Abigail yang menyiapkan apa saja yang perlu ditampilkan, sedang kawan lainnya membantu mengumpulkan materi. Disanalah terlihat Abigail tampak sebagai pemimpin, sangat dominan. Gadis itu pun cukup cerdas membagi tugas dan menentukan pemain. Elok tercengang dengan apa yang dilihatnya, betapa seorang anak 12 tahun bisa sedemikian lincah dan tahu apa yang harus dilakukan.

            ”Dari SD mana?” Saat jam makan siang, setelah presentasi usai, Elok berkesempatan mengobrol dengan gadis itu. Rasa penasarannya dengan sekolah asal Abigail karena seragam Sdnya berbeda dengan kawan-kawan yang lain.

            ”SD Seberang Laut 4.” Jawab Abigail. Elok memutar otak, mengingat-ingat tempat yang disebutkan Abigail, ia merasa familiar tetapi ia lupa dimana letak pastinya sekolah itu.

            ”Kalau dari sini harus nyeberang 4 jam pakai speed boat.” Abigail menambahkan. Ia sadar Elok terlihat bingung.

            ”Disana nggak ada SMP?” Elok penasaran.

            ”Ada, tapi abah pindah tugas kesini.” Jawab Abigail.

            ”Kerja dimana?”

            ”Kebun sawit.”

            Setelah jawaban itu, Elok tak lagi bertanya lebih jauh. Ia hanya masih belum bisa menghubungkan antara nama Abigail, wajah, kecerdasan, talenta, dan tempat asal ia tinggal. Semua seakan tidaklah matching. Seberang laut, desa terpencil yang bahkan Elok selalu yakin belum ada internet disana. Sangat kontras dengan Abigail yang cenderung memiliki pola pikir modern dan lebih unggul darinya.

 

**

 

            Memasuki tahun pertama di SMP, Elok cepat beradaptasi. Ia ada di kelas yang cukup beragam siswa-siswinya. Dari kutu buku hingga anak ternakal. Dari yang rapi hingga yang awut-awutan. Sayangnya, ia tidak sekelas dengan Abigail. Elok secara tak sengaja duduk dengan Hanum, salah satu perempuan pendiam di kelas. Walaupun duduk berdekatan, Elok dan Hanum jarang berbicara. Mereka hanya saling bantu saat pelajaran agama yang diminta menghafal surah pendek, mau tidak mau Hanum meminta bantuan Elok untuk memastikan bacaannya benar. Selain pelajaran itu, mereka nyaris seperti orang asing, atau teman yang tidak akur, diam-diaman. Selama setahun sekelas, mereka mulai akrab menjelang kenaikan kelas. Mereka belajar bersama sebelum ujian.

            Saat kelas 2, kelas mulai dikelompokkan berdasarkan ranking. 30 besar 1 angkatan dikumpulkan menjadi 1 kelas unggulan. Elok kembali bersama Hanum, dan mereka pun sekelas dengan Abigail. Dari sanalah mereka bertiga menjadi akrab. Walaupun memilih ekskul yang berbeda. Abigail yang gemar ikut klub badminton, Hanum yang lebih senang ikut PMR, sedang Elok masih kecewa klub buku tiba-tiba bubar di tahun kedua ia di SMP. Kata Bu Lastri, karena kurang peminat. Akhirnya Elok bergabung di ekskul yang tak ia pahami, Pramuka. Dari sana Elok seringkali menjadi bulan-bulanan oleh Hanum dan Abigail, mereka merasa ini cukup kocak melihat betapa semangatnya Elok menceritakan klub buku itu.

            Elok hampir setiap hari ke perpustakaan, ia punya target membaca 2 hingga 4 buku seminggu, khusus sebagai bekal saat hadir di klub buku. Elok sangat tertarik dengan novel dan puisi, di klub itu ia seperti bertemu keluarga baru yang satu frekuensi dengannya, walaupun memang banyak dari peserta berasal dari kelas XII yang saat mereka lulus, 90% peserta klub buku berkurang, alhasil klub itu dibubarkan. Elok heran, mengapa tak ada peserta didik baru yang mau masuk klub itu. Selebaran gencar dibagikan ke kelas-kelas, pemberitahuan pendaftaran ada di mading sekolah, usai masa orientasi pun kegiatan itu dipromosikan oleh Bu Lastri, tetapi tak cukup untuk menarik minat. Apa yang salah? Ia yang sering diledek Hanum dan Abigail kali ini lebih sering menghindar. Ia memilih jam kosong dan jam istirahat untuk pergi ke perpustakaan, kali ini bukan untuk membaca, tetapi hanya ingin melamun saja. Banyak yang ia pikirkan hingga jika orang lain melihatnya akan terasa seperti orang yang tengah punya masalah hidup berat dan tak terselesaikan.

            ”El, sudah bel.” Bu Rohana penjaga perpustakaan mengingatkan Elok tentang bel masuk. Elok dengan langkah berat berdiri dan keluar menuju kelas. Ia masih berpikir keras, bagaimana caranya agar klub buku bisa kembali. Tetapi tak jua ia menemukan solusi. Ia hanya merasa malas saat menyadari bahwa jumat depan ia sudah harus mulai masuk kegiatan pramuka, dan itu tidaklah menyenangkan. Ia membayangkan harus baris-berbaris, upacara, belajar sandi-sandi, simpul-simpul, yang di kepalanya itu adalah pelajaran sia-sia, tak ada guna. Belum lagi jika ia harus terpaksa ikut berkemah. Rasanya seakan semua ini bukan yang ia inginkan. Ia menyesal seribu kali memilih ini, tetapi pilihan yang lain pun tak ada yang membuatnya tertarik. Elok benar-benar merasa pasrah, kehidupan tak menarik di kelas baru segera dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts