Senin, 31 Maret 2025

12

 

Membelah jalanan yang dikelilingi hutan Gunung Kasturi, Elok dan Aco tak hentinya berbagi dekap, berbagi cerita, hingga jokes receh yang mempertemukan tawa mereka di udara. Bolos dan menempuh perjalanan jauh berdua, setelah jadian kurang dari sebulan memang hal paling berani yang mereka lakukan. Udara malam yang dingin, ditambah AC bus membuat mereka tak henti saling berbagi dekap. Saat tengah malam, Elok mengeluhkan kakinya yang beku, kedinginan. Aco dengan sigap menggamit gulungan sepasang kaos kaki perempuan berwarna putih dengan sentuhan sedikit pink di bagian tungkai yang membuat Elok sedikit bertanya.

            ”Punya siapa?” Karena bisa dipastikan ini bekas pakai.

            ”Punyaku, salah beli.” Aco menjawab santai sambil memakaikan kaos kaki itu di kaki Elok. Elok enggan membahasnya lagi, walaupun ia cenderung tidaklah percaya. Sembari Aco memasangkan kaos kaki, Elok melihat wajahnya samar-samar dari pantulan lampu-lampu jalan yang mereka lewati yang berhasil merangsek masuk ke dalam bus. Elok menyadari, sulit tidak merasa bahagia di saat-saat seperti itu. Aco terlalu memperlakukannya dengan baik.

            Banyak mengobrol membuat mereka sukar menghindari topik-topik sensitif. Mantan pacar, masa lalu, alasan gagal di hubungan sebelumnya, kadar perasaan, masih sayang dan tidak, keluarga, aib, dan lain-lain. Semua dengan leluasa dibahas tanpa batasan apapun dan tetap merasa nyaman. Hingga, satu hal yang membuat mood Elok berubah.

            ”Aku pergi kali ini pinjam uang Ratih.” Elok terdiam saat Aco mengatakan itu, ia kesal bukan main karena dari cerita Aco sebelum ini, Ratih adalah mantan kekasihnya. Namun, anehnya hanya sesaat Elok terganggu dengan cerita itu. Dalam sekejap, ia bisa kembali mengembalikan mood seperti di awal, dan memaksakan diri agar tidak lagi merasa terganggu, menikmati perjalanan hingga tertidur.

            ”Kacang, aqua, mijon, kacang, aqua, mijon.” Elok terbangun saat mendengar dan merasakan seseorang meletakkan sebungkus kacang dan minuman kemasan di kursinya. Ia langsung mencari-cari dimana Aco, namun tak kunjung menemukan tanda-tanda dimana lelaki itu. Sekeliling sudah ramai dengan orang-orang yang silih berganti masuk ke dalam bus berjualan segala macam makanan. Dari kacang-kacangan hingga nasi bungkus, dari minuman kemasan hingga es plastikan. Di luar bus juga tak kalah ramai, para penumpang bus mulai berhamburan turun dan tersebar ke toilet, warung, mushola, dan beberapa bersantai di depan deretan bus sekadar untuk mengobrol atau merokok. Elok memutuskan turun dari bus dan mencari Aco.

            Masih dengan kesadaran yang belum begitu sempurna, Elok meninggalkan bus berharap tidak begitu sulit menemukan Aco. Benar saja, dari kejauhan tampak lelaki dengan tubuh tinggi tengah memecah kerumunan. Pada dini hari Aco masihlah seseorang yang terlihat menarik di mata Elok. Dengan T-shirt berwarna putih bergambar Nirvana, celana denim dengan sobekkan di bagian lutut, sneakers berwarna navy, dan wajah yang tampak lebih cerah dibanding manusia-manusia lain yang Elok lihat saat itu, membuat Elok tak sanggup menahan senyum dan perasaan berdebar yang sulit ia kendalikan. Jatuh cinta.

            ”Mau kemana?” Suara Aco terdengar parau, mungkin karena udara malam. Senyum simpul yang tersungging, dan telapak tangan yang dengan cepat mendarat di kepala Elok, membuat gadis itu tak punya banyak persiapan untuk menghadapi kondisi. Jantungnya nyaris copot, hatinya menghangat sekaligus berdebar, perutnya melilit, dan respon terhadap semua kondisi itu jelas menjadi di luar pikiran Elok. Elok tak canggung memeluk Aco, ini seakan reaksi paling natural yang seharusnya terjadi saat itu. Aco pun membalas pelukan itu dengan dekap yang sama.

”Tak ada dingin, tak ada orang lain, waktu sedang dibekukan oleh wanita paling bahagia di muka bumi, Aku.” – Elok.

**

Berlari dari kenyataan, menarik kembali sebuah keputusan, kembali pada masa paling indah sekaligus menyengsarakan, apa mungkin? Bahkan pilihan menjadi sengsara pun masih tak tampak menakutkan dibanding pernikahan ini.

Malam itu satu malam penuh Ratih tak bisa menghubungi Aco. Kekasih yang sebentar lagi akan menjadi mantan itu seharusnya memang masih dalam genggamannya. Mereka belum putus bahkan ketika pernikahannya dengan Nurdin, lelaki pilihan orang tuanya itu tinggal menghitung hari. Ratih seperti tidak pernah rela melepaskan Aco yang sudah lebih dari 4 tahun menemaninya.

“Halo mas, Aco ada di kamarnya nggak? Soalnya kutelpon nggak bisa.” Ratih memberanikan diri menghubungi Daniel, teman sekost Aco yang jadi satu-satunya orang yang Ratih kenal. Lama perempuan itu menunggu balasan Daniel, namun yang ia dapat jawaban yang tak sesuai harapannya. Ia merasa seperti dilupakan, padahal seharusnya ia yang melakukan itu lebih dahulu. Khawatir, hanyalah alasan yang paling mungkin ia pakai dibanding alasan curiga dan yang lainnya. Ratih gelisah sepanjang malam hingga beberapa hari kemudian, Aco benar-benar menghilang padahal sebelum itu Aco memintanya untuk mentransfer sejumlah uang.

Lamaran, foto prawedding, mengurus berkas ke KUA, persiapan gedung, katering, dekor, MUA, dokumentasi, seragam keluarga, tak mampu menyita pikiran Ratih seberat saat ia memikirkan Aco. Perasaan mereka berdua memang terlalu dalam, terlalu jauh, dan seharusnya, setidaknya bagi Ratih, tak mampu dipisahkan siapapun. Sayangnya, keadaan berkata berbeda.

Dalam kegelisahan, Ratih yang dalam hatinya pun diliputi rasa marah mulai mencoba mengalihkan pikirannya ke hal lain. Hal yang tetap membawanya pada ingatan tentang Aco, namun setidaknya tidak perlu memaksanya untuk terus menunggu kabar lelaki itu dengan putus asa. Ratih memusatkan emosinya dalam kepala, menatanya sedemikian rupa, dan mulai membuka folder “Personal” dalam laptopnya.

*

LDR, sebuah konsep hubungan yang sulit meyakinkan siapapun termasuk keluarga Ratih.

“Cari yang lain saja.”

“Yang pasti-pasti saja.”

“Yang serius saja.”

Saja-saja lainnya yang membuat Ratih tersudut dan akhirnya mengiyakan saat ia harus diperkenalkan dengan Nurdin. Yang memang tidak begitu dengan paksaan, logika-logika sederhana yang jika dipikirkan ulang tidaklah salah. Aco tak mungkin bisa serius, sedangkan usia Ratih sudah menuju 25 tahun, usia yang dalam keluarga Ratih dinilai sangat terlambat jika belum menikah.

Pertemuan pertamanya dengan Nurdin ditemani Fitri, kakak ipar Ratih yang mengenal Nurdin saat berbisnis di Johor. Jadilah, ketika Nurdin datang ke Makasar, Fitri mengatur segala macam hal agar keduanya bisa berkenalan. Sebuah restaurant di sebuah hotel di pusat kota Makasar menjadi pilihan Fitri.

Dengan cowl neck dress berwarna army dan rambut lurus yang dibiarkan tergerai, Ratih berjalan penuh percaya diri dengan stiletto berwarna hitam ditemani Fitri yang hanya mengantarkannya hingga loby hotel.

Saat melenggang menuju meja, Ratih sudah terfokus pada lelaki berjenggot tipis yang mengenakan tailored suit berwarna grey dan rambut tersisir rapi di sudut ruangan. Setelah berjarak sekitar 5 meter, lelaki itu berdiri dan melambaikan tangan pada Ratih.

“Hai.” Keduanya bersalaman dan Nurdin mempersilakan Ratih duduk. Malam itu menjadi malam yang membuat Ratih berpikir, mungkin perjodohan ini tidaklah terlalu buruk. Setelah malam itu, Ratih mulai membuka diri pada Nurdin dan seolah tidak pernah keberatan jika mereka melangkah ke hubungan yang lebih serius. Pikiran yang semakin menuju hari H, semakin ingin ia anulir. Ratih benci keputusannya.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts