Membelah jalanan yang dikelilingi
hutan Gunung Kasturi, Elok dan Aco tak hentinya berbagi dekap, berbagi cerita,
hingga jokes receh yang mempertemukan tawa mereka di udara. Bolos dan menempuh perjalanan jauh berdua, setelah jadian
kurang dari sebulan memang hal paling berani yang mereka lakukan. Udara malam
yang dingin, ditambah AC bus membuat mereka tak henti saling berbagi dekap.
Saat tengah malam, Elok mengeluhkan kakinya yang beku, kedinginan. Aco dengan
sigap menggamit gulungan sepasang kaos kaki perempuan berwarna putih dengan
sentuhan sedikit pink di bagian tungkai yang membuat Elok sedikit bertanya.
”Punya siapa?” Karena bisa
dipastikan ini bekas pakai.
”Punyaku, salah beli.” Aco menjawab
santai sambil memakaikan kaos kaki itu di kaki Elok. Elok enggan membahasnya
lagi, walaupun ia cenderung tidaklah percaya. Sembari Aco memasangkan kaos
kaki, Elok melihat wajahnya samar-samar dari pantulan lampu-lampu jalan yang mereka
lewati yang berhasil merangsek masuk ke dalam bus. Elok menyadari, sulit tidak
merasa bahagia di saat-saat seperti itu. Aco terlalu memperlakukannya dengan
baik.
Banyak mengobrol membuat mereka
sukar menghindari topik-topik sensitif. Mantan pacar, masa lalu, alasan gagal di
hubungan sebelumnya, kadar perasaan, masih sayang dan tidak, keluarga, aib, dan
lain-lain. Semua dengan leluasa dibahas tanpa batasan apapun dan tetap merasa
nyaman. Hingga, satu hal yang membuat mood Elok berubah.
”Aku pergi kali ini pinjam uang Ratih.”
Elok terdiam saat Aco mengatakan itu, ia kesal bukan main karena dari cerita Aco
sebelum ini, Ratih adalah mantan kekasihnya. Namun, anehnya hanya sesaat Elok
terganggu dengan cerita itu. Dalam sekejap, ia bisa kembali mengembalikan mood
seperti di awal, dan memaksakan diri agar tidak lagi merasa terganggu,
menikmati perjalanan hingga tertidur.
”Kacang, aqua, mijon, kacang, aqua,
mijon.” Elok terbangun saat mendengar dan merasakan seseorang meletakkan
sebungkus kacang dan minuman kemasan di kursinya. Ia langsung mencari-cari
dimana Aco, namun tak kunjung menemukan tanda-tanda dimana lelaki itu.
Sekeliling sudah ramai dengan orang-orang yang silih berganti masuk ke dalam
bus berjualan segala macam makanan. Dari kacang-kacangan hingga nasi bungkus,
dari minuman kemasan hingga es plastikan. Di luar bus juga tak kalah ramai,
para penumpang bus mulai berhamburan turun dan tersebar ke toilet, warung,
mushola, dan beberapa bersantai di depan deretan bus sekadar untuk mengobrol
atau merokok. Elok memutuskan turun dari bus dan mencari Aco.
Masih dengan kesadaran yang belum
begitu sempurna, Elok meninggalkan bus berharap tidak begitu sulit menemukan Aco.
Benar saja, dari kejauhan tampak lelaki dengan tubuh tinggi tengah memecah
kerumunan. Pada dini hari Aco masihlah seseorang yang terlihat menarik di mata
Elok. Dengan T-shirt berwarna putih bergambar Nirvana, celana denim dengan
sobekkan di bagian lutut, sneakers berwarna navy, dan wajah yang tampak lebih
cerah dibanding manusia-manusia lain yang Elok lihat saat itu, membuat Elok tak
sanggup menahan senyum dan perasaan berdebar yang sulit ia kendalikan. Jatuh
cinta.
”Mau kemana?” Suara Aco terdengar
parau, mungkin karena udara malam. Senyum simpul yang tersungging, dan telapak
tangan yang dengan cepat mendarat di kepala Elok, membuat gadis itu tak punya
banyak persiapan untuk menghadapi kondisi. Jantungnya nyaris copot, hatinya
menghangat sekaligus berdebar, perutnya melilit, dan respon terhadap semua
kondisi itu jelas menjadi di luar pikiran Elok. Elok tak canggung memeluk Aco,
ini seakan reaksi paling natural yang seharusnya terjadi saat itu. Aco pun
membalas pelukan itu dengan dekap yang sama.
”Tak
ada dingin, tak ada orang lain, waktu sedang dibekukan oleh wanita paling
bahagia di muka bumi, Aku.” – Elok.
**
Berlari
dari kenyataan, menarik kembali sebuah keputusan, kembali pada masa paling
indah sekaligus menyengsarakan, apa mungkin? Bahkan pilihan menjadi sengsara
pun masih tak tampak menakutkan dibanding pernikahan ini.
Malam
itu satu malam penuh Ratih tak bisa menghubungi Aco. Kekasih yang sebentar lagi
akan menjadi mantan itu seharusnya memang masih dalam genggamannya. Mereka
belum putus bahkan ketika pernikahannya dengan Nurdin, lelaki pilihan orang
tuanya itu tinggal menghitung hari. Ratih seperti tidak pernah rela melepaskan Aco
yang sudah lebih dari 4 tahun menemaninya.
“Halo
mas, Aco ada di kamarnya nggak? Soalnya kutelpon nggak bisa.” Ratih
memberanikan diri menghubungi Daniel, teman sekost Aco yang jadi satu-satunya
orang yang Ratih kenal. Lama perempuan itu menunggu balasan Daniel, namun yang
ia dapat jawaban yang tak sesuai harapannya. Ia merasa seperti dilupakan,
padahal seharusnya ia yang melakukan itu lebih dahulu. Khawatir, hanyalah
alasan yang paling mungkin ia pakai dibanding alasan curiga dan yang lainnya. Ratih
gelisah sepanjang malam hingga beberapa hari kemudian, Aco benar-benar
menghilang padahal sebelum itu Aco memintanya untuk mentransfer sejumlah uang.
Lamaran,
foto prawedding, mengurus berkas ke KUA, persiapan gedung, katering, dekor,
MUA, dokumentasi, seragam keluarga, tak mampu menyita pikiran Ratih seberat
saat ia memikirkan Aco. Perasaan mereka berdua memang terlalu dalam, terlalu
jauh, dan seharusnya, setidaknya bagi Ratih, tak mampu dipisahkan siapapun.
Sayangnya, keadaan berkata berbeda.
Dalam
kegelisahan, Ratih yang dalam hatinya pun diliputi rasa marah mulai mencoba
mengalihkan pikirannya ke hal lain. Hal yang tetap membawanya pada ingatan
tentang Aco, namun setidaknya tidak perlu memaksanya untuk terus menunggu kabar
lelaki itu dengan putus asa. Ratih memusatkan emosinya dalam kepala, menatanya
sedemikian rupa, dan mulai membuka folder “Personal” dalam laptopnya.
*
LDR,
sebuah konsep hubungan yang sulit meyakinkan siapapun termasuk keluarga Ratih.
“Cari
yang lain saja.”
“Yang
pasti-pasti saja.”
“Yang
serius saja.”
Saja-saja
lainnya yang membuat Ratih tersudut dan akhirnya mengiyakan saat ia harus
diperkenalkan dengan Nurdin. Yang memang tidak begitu dengan paksaan,
logika-logika sederhana yang jika dipikirkan ulang tidaklah salah. Aco tak
mungkin bisa serius, sedangkan usia Ratih sudah menuju 25 tahun, usia yang
dalam keluarga Ratih dinilai sangat terlambat jika belum menikah.
Pertemuan
pertamanya dengan Nurdin ditemani Fitri, kakak ipar Ratih yang mengenal Nurdin
saat berbisnis di Johor. Jadilah, ketika Nurdin datang ke Makasar, Fitri
mengatur segala macam hal agar keduanya bisa berkenalan. Sebuah restaurant di
sebuah hotel di pusat kota Makasar menjadi pilihan Fitri.
Dengan cowl neck
dress berwarna army dan rambut lurus yang dibiarkan tergerai, Ratih berjalan
penuh percaya diri dengan stiletto berwarna hitam ditemani Fitri yang hanya
mengantarkannya hingga loby hotel.
Saat
melenggang menuju meja, Ratih sudah terfokus pada lelaki berjenggot tipis yang
mengenakan tailored suit berwarna grey dan rambut tersisir rapi di sudut
ruangan. Setelah berjarak sekitar 5 meter, lelaki itu berdiri dan melambaikan
tangan pada Ratih.
“Hai.”
Keduanya bersalaman dan Nurdin mempersilakan Ratih duduk. Malam itu menjadi
malam yang membuat Ratih berpikir, mungkin perjodohan ini tidaklah terlalu
buruk. Setelah malam itu, Ratih mulai membuka diri pada Nurdin dan seolah tidak
pernah keberatan jika mereka melangkah ke hubungan yang lebih serius. Pikiran
yang semakin menuju hari H, semakin ingin ia anulir. Ratih benci keputusannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar