Drama perpisahan
untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah
langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco persis seperti mendung buatan
yang memaksa suasana hati tak tenang.
“Akkatutuki’
nak.” Sembari mengulurkan tangan kanannya untuk disambut Aco sebagai salim
perpisahan. Ia menahan air mata yang sedari subuh ingin tumpah-ruah.
Ingin sekali ia memeluk putranya yang sudah semakin remaja itu, namun gengsi.
Tidak, aku tidak boleh tampak sedih. Mungkin itulah mantra yang ada di benak
ibunda Aco dan ia dengungkan dalam hati berkali-kali. Sementara di pinggir
jalan besar tepat di depan rumah itu, seorang sopir yang akan membawa Aco
menuju Kota Makassar sudah tidak sabar untuk melajukan kemudinya.
“Ayo mi!”
Aco melangkahkan kaki memunggungi
ibu, nenek, om, tante, dan adik-adiknya. Langkahnya berat, namun semangat.
Dalam kepalanya bertarung kecemasan jauh dari ibu, dan gairah menghadapi
lingkungan baru, tentunya pula semangat mengenakan putih abu-abu. Digendongnya
ransel hitam polos bergantungan kunci bola berbahan plastik itu, ransel yang ia
pakai ke sekolah sejak duduk di kelas VIII. Sedikit pudar warnanya, bekas
jahitan tangan dengan benang berwarna biru malam di bagian resleting pun
terlihat nyata, belum lagi robekan kecil di bagian bawah yang jika diamati
sudah perlu pengganti. Namun, langkah Aco terlihat pasti, tidaklah baginya
ransel yang butut itu menghalangi keinginannya untuk belajar di kota, menjadi
cerdas, dan kemudian sukses.
Sekolah Menengah Kejuruan,
alternatif sekolah paling diminati anak-anak dengan latar
belakang keluarga seperti Aco. Kenapa? Karena dirasa di sekolah ini akan
membentuk mereka untuk punya skill dan dasar untuk memasuki dunia kerja tanpa
kuliah. Ya, ditekankan tanpa kuliah. Aco lagi-lagi tidak percaya diri bahwa 3
tahun setelah lulus dari SLTA ia akan mampu melanjutkan kuliah, lebih
tepatnya ia tak ingin membebani ibundanya. Jadilah, SMK menjadi pilihan paling
bijak anak berusia 15 tahun itu.
Hari
pertama masuk sekolah, Aco berangkat dari kediaman omnya di kawasan
Toddopuli dengan menggunakan angkot. Rambutnya yang baru kemarin
jadi korban kebrutalan alat cukur Omnya Puang Takko terlihat amat rapi dengan
bagian atas dilumurinya dengan gel sachet yang ia beli di warung serba ada
dekat rumah. Ia juga tak lupa menyetrika seragam baru yang dibeli ibundanya di
Eks Pasar Sentral Watampone dengan amat hati-hati, bagian lengannya licin
sekali bak perosotan, setiap lipatan garisnya pun terlihat tegas dan presisi.
Belum lagi sepatu hitam polos andalannya yang sudah usang tetapi masih
tampak keren setelah disemir. Aco benar-benar terlihat percaya diri akan
bertemu teman-teman baru di hari pertama sampai-sampai ia merasa GR ketika
wanita setengah baya yang duduk tepat di depannya berkali-kali mencuri pandang
ke arahnya.
**
Kagum Aco menginjakkan kaki di sekolah barunya. Benar-benar
terlihat elok, bangunan-bangunan rapi terurus, fasilitas olahraga ada, lapangan
basket bersama ringnya yang tinggi standard, lapangan futsal walaupun gawang
tanpa jaring-jaring, pagar-pagar tinggi yang didesain untuk siswa-siswi yang
gemar membolos, bagian paling Aco senangi ialah deretan pohon glodokan yang
tersusun dan terpangkas rapi di berbagai penjuru sekolah. Ia memujinya dalam
hati, tersenyum-senyum tak kenal malu karena tak kenal seorang pun.
“Ppoo…” Dari depan perpustakaan lelaki bertubuh gempal
melambai-lambaikan tangan ke arah Aco hingga membuyarkan lamunannya. Lelaki
tadi sangat mudah dikenali, kulitnya yang teramat gelap, badannya yang tidaklah
mungil, wajahnya yang tak ada dua, mengarahkan Aco pada memori masa SDnya,
Nyompa.
“Kapan kita datang?” Nyompa menyapa dengan girang hingga
memukul punggung Aco dengan keras.
“2 hari lalu ppo. Belum sempat main ke rumah ta.” Aco
merespon dengan semangat pula.
“Jurusan apa kita? Sudah ki dapat kelas?”
“Belum pi. TKJ saya.”
“Widih, biar banyak perempuannya?”
“Tidak, saya lihat cuma TKJ yang akreditasinya A.”
“Tapi laki-laki harusnya ambil teknik mesin biar ada toh
pengalaman tawuran.”
“Di masa depan tawuran bisa jarak jauh, baku hantam tidak
ada harganya lagi, badik apalagi.”
“Lewat komputer maksudnya?”
“Bukan, lewat santet.” Aco dan sepupu jauhnya itu tertawa
bersamaan. Lama mereka tidak bertemu, mungkin 3 tahun semenjak orang tua Nyompa
dipindahtugaskan ke Kota Makassar.
**
Menumpang, begitulah kata yang tepat untuk menyebutkan
posisi Aco di rumah itu. Harus pandai-pandailah membawa diri. Begitu pesan
ibunya. Maka ketika hari berganti, minggu, bulan, dan tahun berlalu Aco pandai
pun menyesuaikan diri di rumah itu. Tetapi, perasaannya mulai berkata
sebaliknya. Berada di rumah itu sudah tidak seasik saat pertama kali. Bukan
karena setiap malam Aco tidur hanya beralaskan tikar dan berbantal kapuk yang
sudah usang. Bukan karena setiap pagi ia harus menimba air di sumur untuk memenuhi
bak cuci. Bukan pula karena ia harus mulai kreatif memikirkan menu makan untuk
omnya yang lelah sepulang bekerja. Bukan. Ia hanya sedih saat tidak bisa
menyaksikan pertandingan tim sepakbola kesayangannya, real madrid. Memasuki
tahun kedua ia hanya tau cerita setiap pertandingan El Real dari teman-teman di
kelasnya, atau dari omnya di Bone yang dengan rajin mengirim SMS berapa
skor pertandingan semalam. Aco pun hanya bisa senyum-senyum mengamati layar
ponsel jika skor yang dikirimkan Puang Besse dari kampung adalah kemenangan
Zidane dan kawan-kawan, atau ia akan murung seharian jika tim berdarah putih
itu kalah.
Hari itu, pagi-pagi sekali Aco
menerima SMS dari Puang Besse, “Kalah 3-1”. Pesan itu langsung membuyarkan
konsentrasi Aco, pikirannya mengawang tidak keruan, perasaannya resah tidak
tahu arah, ia terus mengingat-ingat posisi El Real yang sudah disalip rival
abadinya FCB. Ia pun tak terima mengapa harus kalah dari Deportivo. Ia merutuk
seharian, menyalahkan entah siapa. Melihat buku ia kesal, lalu diacak-acak.
Melihat tas ia kesal, dibuka tutup resleting padahal benangnya sudah hampir
meronta-ronta ingin menyerah. Melihat pintu ia kesal, dibantingnya pintu
walaupun tak berhasil karena terhalang bola. Melihat tiang listrik ia kesal,
ditendang-tendangnya hingga kakinya sakit. Hingga, ia tiba di angkot, melihat
kursi angkot pun ia masih kesal, ingin sekali ia injak-injak tetapi seketika
urung ia lakukan. Perempuan berambut hitam panjang terikat ada disana, wajahnya
yang oriental, senyumnya yang manis bak artis sinetron, sikap ramahnya yang
langsung menyambut Aco dengan sapaan yang suaranya tak sedikitpun Aco dengar,
Aco hanya terpana pada wajahnya, “Mabelo.” Desisnya pelan. Angin seolah menyapu
rambut gadis itu, lampu-lampu gemerlapan tampak dari wajahnya, hati Aco
menghangat menikmati pemandangan yang tak ia duga itu. Dag dig dug
dirasakannya, walaupun ia tak tahu persis bagian mana yang bersuara. Ia hanya
tahu, seluruh tubuhnya mulai bergetar, berdesir, bergemuruh, bergejolak,
entahlah.
Salah tingkah Aco sepanjang jalan,
tak berani ia tatap perempuan itu. Tak ada sederajat pun ia berani menoleh,
walaupun hatinya sangat ingin. Hati dan rasa kikuknya bergulat hebat saat ini,
lagu Bang Haji Rhoma Irama Begadang yang terdengar dari radio angkot tak
berhasil mendistrak pergolakan batinnya. Ia kehabisan nafas, oksigen seolah
enggan berpihak padanya. Sampai akhirnya tanpa sadar angkot sudah beberapa kali
berhenti, dan gadis itu sudah tak ada lagi di dalam angkot, entah di
pemberhentian ke berapa. Aco pun langsung memukul-mukul kepalanya ketika
melihat sekeliling dan menyadari ia sudah berada di tempat yang tak
semestinya, dilihatnya tulisan di depan angkot. Bukan Toddopuli.
**
Di kantin Mbak Welis. Ratih dengan khidmat menikmati
sepiring nasi goreng dengan warna kemerahan khas saos tomat palsu, di atasnya
bertabur bawang goreng, suwiran ayam, dan telur dadar, tidak lupa Ratih
membubuhkan sambal. Sesekali ia menyeruput segelas es jasjus berperisa jambu
yang mengisi gelas plastik di depannya.
Di kantin Bu Ola, Aco duduk
termangu memegang segelas es teh Sisri Gulabatu, mengintip dengan malu-malu ke
arah seorang wanita yang duduk di warung sebelahnya. Rambutnya hari ini
tergerai dan ketika setiap helaian mengganggu wajahnya, ia selipkan rambutnya
itu dibalik daun telinga. Disanalah, Aco bisa menikmati dengan lebih teliti.
Wajahnya yang sedikit berkeringat, matanya yang tampak sendu, hidung mungilnya
yang terkadang bergerak-gerak manja seolah ingin disentuh, bibirnya yang
semakin memerah karena pedas, sempurnalah pemandangan Aco. Tanpa Aco sadar, di
sebelahnya juga tengah duduk seorang siswa lain yang juga duduk persis seperti
Aco, objek yang mereka lihat sama, apa yang mereka nikmati sama, hanya saja si
lelaki ini memiliki pikiran berbeda.
“Kau atau saya duluan yang bilang ke Andi Ratih? Dilihat
saja, tidak akan tahu ji perasaannya.” Kaget Aco mendengar Ridwan, teman
sekelasnya yang dengan tiba-tiba berkata demikian. Aco tersenyum malu-malu,
Ridwan lebih jauh ingin tahu.
“Kalau penasaran, tanyakan kawan. Kalau suka,
ungkapkanlah.” Aco mulai geli mendengar kata-kata temannya itu dan memilih
untuk kabur setelah membayar segelas minuman yang belum ia hisap
sedikitpun.
Di perjalanan menuju kelas, Aco
diikuti oleh Gau dan Daramang. 2 siswa dari kelas teknik mesin yang biasa
bermain futsal bersama Aco saat istirahat.
“Sore ini jangan lupa datang latihan, sekali-kali lah kita
ikut.” Gau merangkul pundak Aco dengan sok akrab.
“Insya Allah kawan, sibuk aku di rumah.” Aco mengingat
PRnya untuk ke pasar membeli ikan, memasak, mencuci pakaian, dan membersihkan
rumah.
“Ayo lah sekali-kali, mau kukasi lihat kalau kita juga
punya pemain andalan.” Daramang juga terus membujuk. Aco mulai sedikit ada
perasaan ingin dan mempertimbangkan ajakan mereka.
“Lihat nanti ya.”
Pukul 15.00 WITA, setelah
menyelesaikan pekerjaan rumah Aco bersiap-siap ingin berangkat ke sekolah untuk
bermain futsal dengan teman-temannya. Ia memakai kaos bola terbaiknya yang
dilapis dengan jaket kain berwarna abu-abu favoritenya, tidak lupa celana
pendek yang ia lapis dengan celana seragam pramuka, lalu kakinya dibungkus rapi
dengan sepatu hitam Adidas andalannya.
Tiba di sekolah, Gau &
Daramang serta teman-teman lain berseragam rapi dengan kaos bola tim kesayangan
Kota Makasar, PSM. Daramang berlari menghampiri Aco dengan semangat. Ia meminta
Aco untuk bersiap-siap. Ternyata kali ini mereka harus melawan tim dari sekolah
lain. Nyali Aco menciut, ia minder tatkala menunduk melihat kaos bola Real
Madrid usang dibalik jaket yang ia kenakan. Ia pun enggan melepaskan celana
pramuka yang melekat menutupi kakinya, lebih tepatnya ia enggan memamerkan
celana kain yang biasa ia pakai menimba air itu untuk berlaga melawan sekolah
lain. Belum lagi, ketika ia harus menjelaskan sepatunya. Lama ia berpikir dan
akhirnya berakhir dengan terpaksa bermain.
Sparing dengan tim dari sekolah
lain bukan lagi sekedar permainan, tetapi lebih kepada pertahanan gengsi. Tak
ada sosok Gau dan Daramang yang ramah terlihat, ia begitu garang menjatuhkan
tim lawan dengan trik maupun terang-terangan. Cedera? Pikir esok lusa. Hari ini
adalah menang. Begitulah keyakinannya. Sementara Aco tidak terbiasa dengan adu
sikut dan tendang sembarang. Ia mengikuti aturan hingga tak jarang harus
terpental. Hingga skor pertandingan berakhir dengan kemenangan tim lawan, dan
Aco dan kawan-kawan hanya menang dalam membuat pelanggaran.
“Puas aku injak kakinya.” Gau tertawa cekikikan seakan tak
gusar, berbeda sekali saat sebelum pertandingan ia selalu menggaung-gaungkan
untuk menang.
“Aku juga senang cedera kulihat betisnya, keras sekali tadi
kita tendang.” Daramang menambahkan.
Aco yang tidak sepemikiran, langsung yakin bahwa ini adalah
kali pertama dan terakhir ia mau ikut Gau dan Daramang untuk latihan di luar
jam sekolah. Jera, batinnya.
Tiba di rumah pukul 18.00, Aco
heran ketika mendapati lampu-lampu di rumah menyala. Ia hanya bertanya-tanya,
apakah ia yang lupa mematikan atau ada seseorang yang datang. Bergegas ia
memasuki rumah, ternyata di ruang tamu Puang Takko sudah duduk disana. Kumisnya
yang tebal, mimiknya yang tanpa senyum, serta sebatang rokok yang mengeluarkan
asap mengebul, berhasil membuat Aco sedikit merinding.
“Darimana?”
Puang Takko bertanya dengan nada biasa, datar, pelan, namun
Aco semakin ketakutan.
“Ekskul puang.” Aco menjawab sebisanya.
Puang Takko berdiri, diraihnya sabuk di atas bufet. Di
arahkannya pada kaki, dan punggung Aco berkali-kali. Amarahnya benar-benar
membuncah. Puang Takko yang tenang tak ada disana. Ia terus memukul Aco tanpa
berkata apapun, hingga pikiran Aco terus mencerna apa kesalahannya, dan bahkan
ia masih belum terlalu sadar apa yang ia alami sekarang.
“Kau mau bakar rumah ini?” Cuma itu yang keluar dari mulut
om nya itu.
“Tidak puang. Tidak. Ampun puang.” Aco menghindar,
menangis, menjawab, sekaligus berpikir kesalahan apa yang sampai membuatnya
dianggap ingin membakar rumah. Puang Takko menarik kerah jakaet Aco,
menyeretnya ke dapur, lalu memperlihatkan tutup panci yang meleleh hingga
panci berisi rebusan ikan yang gosong. Ia lalu ingat, bahwa ia lupa mematikan
kompor.
**
Udara malam terasa panas, namun hati Aco kedinginan. Ada
sepi menggerogoti, jiwanya kosong tak tertolong, lukanya tidak nyata namun
terasa. Pedih rasanya jika ingat apa yang dilakukan Puang Takko beberapa jam
yang lalu. Menyesal ia ketika ingat kesalahannya. Dipukulnya kepala,
dijambaknya rambut, berteriak rasanya batinnya ingin berontak, sakit sekali
namun tak berani ia menangisi. Jendela dibiarkannya terbuka, nyamuk-nyamuk
dengan ganas berebut masuk. Tak terasa lagi siku hingga lengannya jadi santapan
empuk nyamuk-nyamuk penuh dahaga.
Pikiran kacau Aco sudah mulai
melanglang buana, dari ingatan beberapa jam lalu, hingga ingatan bertahun-tahun
lalu. Aco teringat mendiang ayahnya. “Petta, apa kabar?” bisiknya.
Kala itu di awal tahun
2004.
Sudah di minggu ketiga ayahanda
Aco pulang dari luar kota untuk berdagang. Sebagai seorang pedagang kopi,
ayahnya biasa pulang sebulan sekali itupun hanya di rumah sekitar 2 sampai 4
hari. Kali ini sedikit berbeda, ayahnya dalam keadaan sakit. Katanya malaria.
Sejak di rumah, ibunda Aco memang lebih sibuk. Bangun lebih pagi, menyiapkan
sarapan hingga seluruh keperluan Aco dan adik-adik sebelum berangkat sekolah,
mengerjakan pekerjaan rumah, menyiapkan obat dan makanan untuk ayahnya, lalu
pergi ke rumah tetangga bekerja sebagai buruh cuci pakaian.
“Nak, nanti sebelum ke sekolah
ambil es lilin jangan lupa ya. Buat uang saku kamu sama Gema.” Aco mengangguk.
Ia memang terbiasa menjadi reseller es lilinnya Bu Ratmi di sekolah. Kata
ayahnya hal itu bisa melatih Aco untuk jadi pedagang, dan ibunya bilang itu
lumayan untuk tambahan uang saku. Tapi semenjak ayahnya sakit, es lilin
satu-satunya sumber uang saku yang Aco dan Gema andalkan. Aco dan Gema
bersekolah di SMP yang sama.
Sebagai reseller es lilin, Aco
punya trik tersendiri untuk menghindari rasa malu saat menjualnya ke
kelas-kelas. Mulai dari mengajak anak-anak osis berkumpul, lalu dengan sengaja
meletakkan es lilin di atas meja, sampai mendatangi kelas-kelas yang pada jam
kosong hanya diisi siswa perempuan. Karena ia pernah mengalami kejadian tidak
mengenakkan saat menawarkan es ke siswa laki-laki di sekolah. Dibully, hingga
es lilinnya diambil tanpa dibayar.
Sementara Gema tak mau tau, ia
harus mendapatkan jatah jajannya bagaimanapun keadaannya. Laku atau tidak laku
es lilin itu. Aco pun berpikir keras agar sebelum jam istirahat pertama es
lilin itu sudah ada pembeli. Pagi itu jam pelajaran padat, tidak ada guru yang
terlambat ataupun pergi lebih cepat. Mereka semua disiplin datang dan pergi
tepat waktu. Berkali-kali Aco melirik 1 termos es lilin yang belum laku satu
pun itu. Lalu membayangkan Gema yang datang dengan penuh keringat setelah lelah
bermain bola. Bisa saja ia haus, tetapi es lilin tidaklah cukup menghilangkan
hausnya. Atau bagaimana kalau dia lapar. Berkecamuk rasa kasihan dan ketakutan
bagaimana caranya menghadapi Gema.
Sampai
akhirnya dengan memberanikan diri, Aco membolos dari kelas baca tulis Al-quran
Pak Helmi. Mengantongi es lilin dalam plastik, mengendap-endap keluar kelas dan
jika Pak Helmi bertanya ia sudah punya jawaban akan ke toilet. Begitulah
rencananya. Sampai akhirnya Aco tiba di depan kantin Mang Kumal.
“Mang, lihat matahari disana.
Panas terik sampai daun-daun pun sembunyi karena merasa terintimidasi.” Aco
berlagak menunjuk-nunjuk matahari yang sudah jelas muncul di belakang
perpustakaan.
“Terintimidasi apa co?” Ia
bertanya-tanya. Aco baru sadar mungkin saja bahasanya terlalu pintar untuk Mang
Kumal yang katanya tidak lulus SD.
“Daun-daun merasa kalah
mang.”
“Daun melawan matahari, tidak
pernah ada di dongeng mana pun.” Mang Kumal ternyata lebih kritis.
“Untuk itu mang, daun butuh
pembelaan agar dia tetap segar, tegar, dan tidak takut.”
“Maksudmu daun diminumi es lilis
yang kamu bawa di kantong plastik itu?” Mang Kumal tidak senaif perkiraan Aco.
“Daripada daun mending mamang saja
yang minum es lilin. Agar segar, tegar, dan tidak takut menghadapi matahari.”
“Aku lebih takut padamu.” Mang
Kumal mengambil uang dalam kresek hitam polos yang ia letakkan sembarangan di
atas meja.
“Berapa es lilin kau bawa?”
“5 mang.”
“Mana yang lain?”
“Ada di kelas, aku takut membawa
termos keluar.”
“Bawa ke hadapanku saat jam
istirahat. Semuanya. Aku mau membuat semua orang sadar bahwa matahari harus
dilawan.” Dengan nada yakin entah apa maksudnya.
“Baik mang.” Aco kembali ke kelas,
meninggalkan 5 es lilin tadi untuk Mang Kumal, dan dengan resah menunggu jam
istirahat pertama.
Teng teng teng
Lonceng 3 kali berbunyi yang
berarti jam istirahat tiba. Aco bergegas menenteng termos menuju kantin Mang
Kumal. Kantin itu sudah penuh sesak dengan anak kelas 1 dan 2 yang sepertinya
sebelum lonceng berbunyi sudah berani-berani duduk disana. Aco pun menunggu
hingga sedikit lengang. Tapi tak jua lengang. Sementara menit-menit waktu
istirahat hampir berakhir.
Mang Kumal lalu memanggilnya.
“Co, kesini lah. Bawa termosmu.”
Aco beranjak menghampiri Mang Kumal di meja jualan. Mang Kumal mempersiapkan
kertas putih dengan tulisan besar “Es Lilin Aco satuan Rp 200 beli 3 Rp 500
saja”. Ditempelnya tulisan itu di termos. Dalam sekejap es lilin yang biasa
dijual dengan harga Rp 100 itu raib. Lalu Mang Kumal memberi Aco uang dengan
hasil jualan. “Besok pagi bawa kesini aja es mu. Kujual dengan strategi
marketingku. Walaupun tidak lulus SD, kemampuanku berdagang jauh lebih baik
dibanding S3 marketing fren.” Mang Kumal bangga. Aco pun langsung berlari
mencari Gema untuk dengan sombong membawakannya uang saku. Dari jauh ia melihat
Gema tengah berlarian bermain bola di lapangan. Lalu, berlari ia ke arah Aco
menyambar uang saku untuk dilarikan ke kantin dengan semangat.
“Nak, sudah ko makan?” Dari luar Puang Takko berteriak. Aco
bergegas menghampiri, sembari mengubah rautnya agar terlihat baik-baik saja. Di
atas meja bundar kecil tempat biasa mereka menaruh makanan dan makan, tersedia
2 mangkok bakso yang dibawa Puang Takko dari luar. Makanlah 2 orang om dan
keponakan ini dengan rasa canggung, Aco masih tak enak, begitu pula omnya. Aco
menyesal, begitu pula omnya. Mereka berdua menyesal, tetapi terlalu gengsi
untuk membahasnya.
“Nanti tukang TV datang. Biar bisa
ta nonton bola.” Begitu omnya memulai obrolan. Aco bingung merespon apa, hingga
ia mengangguk saja.
“Nda usah lagi tanya Puang Besse,
bisa sudah nonton sendiri Zidane dari sini.” Sambung om nya lagi. Aco masih
mematung, melihat ke arah Puang Takko hanya sesekali, lalu fokus lagi pada
mangkok bakso yang sudah hampir kering itu. Padahal, pada saat itu hati Aco
sedang ramai. Gemuruh tepuk tangan sedang menguasai batin dan kepalanya. Namun,
terasa aneh jika ia tampak, senang, tersenyum, tertawa, bertepuk tangan,
bersorak, apalagi jingkrak-jingkrak. Ganjil sekali rasanya. Puang Takko terlalu
berwibawa untuk menyaksikan hal tidak punya adab seperti pikirannya. Sementara
Puang Takko hatinya sedih ketika melihat Aco hanya diam, ia berpikir bahwa
sikapnya tadi begitu keterlaluan. “Maaf nak.” Batinnya.
**
Naik ke kelas 3, Aco mulai sibuk
mempersiapkan uji laporan magang, uji kompetensi, dan ujian nasional. Sibuk
sekali, hingga ia sering begadang dan tak jarang pulang hampir petang. Semangat
ia ketika menghabiskan waktu di lab merakit PC, berpura-pura tidak tahu agar
bisa bertanya pada Ratih, atau sekedar melihat perempuan itu dari dekat. Mereka
semakin akrab, Ratih semakin sering mengajaknya bicara karena Aco pandai
berpura-pura tidak sengaja bertemu di angkot padahal beda jurusan hanya untuk
memastikan Ratih sampai dengan selamat. Atau Aco berpura-pura lupa mencatat
agar Ratih meminjamkan buku catatan yang dalam semalam bisa ia pandangi
berulang-ulang. Sibuk itu tidaklah berat ia rasa, karena hatinya lebih
bahagia.
Seperti biasa Aco selalu mencuci
pakaiannya sepulang sekolah, ia paling tidak suka mengenakan pakaian bekas
pakai yang berbau keringat sementara ia hanya punya satu. Rajin ia mencuci
pakaian, menjemurnya, lalu ia setrika agar kering dengan sempurna. Memasuki
kelas 3, pakaian Aco tidaklah lagi tampak putih, namun kuning. Beberapa
temannya dengan santai memanggilnya si kuning. Aco tidak mengerti arti
panggilan itu, namun ia selalu berpikir bahwa maksudnya bukanlah menghina.
Dipanggil si kuning Aco tersenyum, dipanggil lagi ia tersenyum lagi, dipanggil
berulang kali ia mulai diam, dipanggil dengan nada ejekan ia mulai tak
tahan.
Siang itu, jam pelajaran matematika kosong. Bapak ibu guru
katanya sedang rapat. Anehnya, para siswa tidak dipulangkan lebih awal. Aco
yang sedari pagi emosi dengan ejekan Kifli CS mulai memuncak amarahnya. Kifli
mencolek bajunya, menyebutnya si kuning, lalu Aco murka. Berdiri ia,
disambarnya buku pelajaran matematika di atas meja, setengah digulung, lalu
dipukulkannya di wajah Kifli. Kaget lelaki hitam itu dengan serangan Aco. Tak
pernah ia lihat si kuning yang ia olok bertahun-tahun ini marah. Ini kali pertama
dan membuatnya tak punya kuda-kuda.
“Diam kau bangsat!” Berteriak Aco hingga mengheningkan
seisi kelas XII TKJ 1 itu. Sebagian ketakutan jika Kifli balik menyerang,
sebagian lain justru menunggu momen itu datang. Kifli mematung di posisinya,
masih sibuk menyadarkan kepalanya tentang apa yang ia alami barusan. Lalu Aco
dengan langkah pasti mengayunkan kepalan tangannya pada Kifli. Hampir saja
bogem itu mendarat, namun Aco menahannya. Tiba-tiba ia melihat Ratih yang duduk
di salah satu sudut kelas, ia tak ingin Ratih melihatnya sebagai lelaki yang suka
berkelahi. Lalu Aco menghentikan atraksinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar