Kamis, 06 Maret 2025

6

 

Palakka, May 2004.

Doa dan isak menguasai pusara Petta dan petuahnya. Kepala Aco masih terbentur harapan bahwa yang ia saksikan bukanlah kenyataan. “Bangun, bangun, bangun.” Jeritnya dalam diam. Sanna terduduk di atas kursi plastik dengan pandangan kosong, matanya seakan bercerita bahwa jiwanya sedang terpukul, namun senyumnya kepada para pelayat yang tampak dipaksakan itu menegaskan ia ingin tampak tegar, walaupun justru terlihat makin menyedihkan. Gema duduk di sebelahnya, mengadahkan kedua telapak tangan, sigap mengucap “Aamiin” tatkala ustadz usai dengan do’a-do’a, tak bisa dibaca sedikitpun apa yang ada di pikirannya. Fatiyah sedikit berbeda, ia paling histeris ketika melihat Pettanya terbungkus kaku. Menjerit, mengamuk, menangis hingga air matanya tak cukup lagi untuk membasahi kornea, habis sudah. Hingga ia kelelahan, terdiam, bersandar pada Aco yang batinnya juga tak cukup kuat menyangga kesedihan adiknya itu. Sementara Andara sedang di rumah bersama nenek, bermain dengan mainan bunyi-bunyian yang membuat ia tertawa riang, bayi beruntung yang tak tahu-menahu perihal kehilangan. Petta meninggalkannya saat ia belum mengerti duka.

Beberapa pelayat yang hadir sungkan menghampiri atau menyapa Sanna. Beberapa yang lain tak ragu memeluk dan berusaha menenangkan ibu 4 anak itu. Lalu tak sedikit yang berusaha mengajak mengobrol, bertanya ini-itu, membahas hal rinci tentang penyebab meninggalnya Petta, yang seringkali membuat hati Sanna semakin terpukul. Ia tidak siap menghadapi itu semua. Namun sayangnya, tidak semua orang peka akan hal itu. Hari dimana jasad lelaki itu dikebumikan, seluruh kerabat dari berbagai penjuru Sulawesi Selatan berkumpul, menyaksikan Sanna yang sudah tentu akan tertatih-tatih membesarkan 4 anaknya yang masih kecil-kecil. Rasa iba, empati, kasihan, bersatu-padu menaungi Sanna yang dirundung duka bahkan nyaris pingsan hari itu, tetapi tidak ada yang mengerti bahwa Sanna hanya ingin menikmati kesedihan ini sendirian. Memeluk ulang kenangan-kenangan bersama lelaki yang dikenalnya sejak lama itu, Jalalludin.

            Dinding papan yang tidak rapat, bercelah, beberapa bagian mampu dilihat dengan jelas dari luar, jendela pun akhirnya ia biarkan terbuka sedikit karena udara sedang panas padahal sedang musim hujan. Sanna merebahkan kepalanya menatap langit-langit, melamun ia disertai gelisah yang membuatnya sulit memejamkan matanya. Ia memandangi tumpukkan beras dan bahan makanan lain serta amplop yang dibawa para pelayat tempo hari masih amat banyak. Tetapi, Sanna sadar itu semua akan habis dan ia harus bekerja. Dipandanginya Andara yang pulas tertidur setelah diberinya asi, kasihan ia melihat putri bungsunya itu harus ditinggalkan Petta saat ia belum mengerti apa-apa. Belum lagi saat ia melihat ketiga anaknya yang lain, tak tega ia membayangkan jika anak-anaknya itu kekurangan. Isak tak tertahan, air mata keluar dengan derasnya, sesak ia mengingat-ingat anak-anaknya, rindu ia pada mendiang suaminya.

            “Mammi, belum tidur?” Aco terbangun, melihat ke arah mamminya yang masih terjaga dan menangis. Semenjak Petta meninggal, Aco dan ketiga adiknya memang tidur bersama mamminya di kamar utama, karena mereka beberapa kali mimpi buruk dan terkadang pula merasa Petta hadir di mimpi mereka.

“Tidur lagi nak.” Sanna menyuruh putranya itu tidur.

“Tidur tidur.” Mammi mengelus-elus kepala Aco. Aco patuh, dengan memejamkan matanya namun dengan jelas ia masih merasakan kepedihan mamminya.

“Mammi, kalau aku berhenti sekolah saja bagaimana? Aku bisa jadi reseller es lilin Bu Ratmi, lumayan untuk tambahan uang saku Gema dan Fatiyah.” Sanna melihat putranya itu masih memejamkan mata, namun keluar dari mulut anak 13 tahun itu sesuatu yang diluar dugaan.

“Mammi masih sanggup beri kalian uang saku. Kamu belajar saja yang pintar, biar jadi orang sukses.” Sanna terus mengelus kepala anaknya, Aco mengangguk. Makin pedih hati Sanna mendengar apa yang keluar dari mulut putranya, ia bertekad harus berusaha sekeras mungkin agar tak berkekurangan.

            Belum lama Sanna berhasil terpejam, namun ia harus bangun kembali. Kerja kerja kerja, panggilan yang otomatis terdengar di telinganya. Inilah salah satu alasan, tidurnya semalam tidaklah tenang. Membersihkan rumah, menyiapkan sarapan, mencuci peralatan masak, mencuci pakaian, mempersiapkan pakaian sekolah, memompa asi, hingga membangunkan putra-putrinya dengan hati-hati, takut jika Andara ikut terbangun. Setelah jam menunjukan pukul 6, Sanna membuka pintu rumah, dirasakannya udara sejuk pagi itu memasuki rumahnya melalui celah pintu, ditariknya nafas dalam lalu ia hembuskan perlahan, lagi ia ulangi berharap kegelisahan yang ia rasakan bisa segera tercairkan.

Pagi ini Sanna sudah yakin dengan rencananya, mencari kerja. Sanna kikuk membayangkan itu, karena semenjak dipersunting Jalal tak pernah lagi ia bekerja terkecuali saat suaminya itu mulai sakit-sakitan dan Sanna terpaksa mengambil upah sebagai buruh cuci pakaian. Kali ini pekerjaan itu sudah pasti sulit ia dapat Kembali, karena banyaknya yang punya mesin cuci & laundry yang sudah mulai buka di dekat kantor desa. Pilihan pekerjaan lain yang terpikir hanya satu, tetapi kemungkinan Sanna ditolak juga 50:50. Yang penting usaha dulu.

Di rumah Pak Haji Darian pagi-pagi sekali sedang kedatangan tamu istimewa. Wanita berusia 36 tahun yang terkenal sebagai janda cantik beranak 4 yang baru 3 pekan ditinggal suami tercintanya, Sanna.

“Ada perlu apa pagi-pagi kesini? Ayo duduk dulu.” Menyambut baik istri pertama Pak Haji Darian melihat Sanna yang tampak amat putus asa itu, ramah ia walaupun instingnya sedang merasa curiga, “Jangan-jangan dia mau pinjam uang”. Dalam kepala Bu Haji itu terpikir beberapa alasan kalau-kalau benar adanya Sanna ingin meminjam uang. Alasan demi alasan ia cari-cari dan dikumpulkan menjadi 1 folder di otaknya untuk berjaga-jaga.

“Bu, saya sepertinya perlu pekerjaan.” Suara Sanna keluar dengan kecepatan yang amat lambat, bergetar, tak stabil, berfrekuensi rendah, dan tanpa penekanan sedikitpun. Mendengar ada tamu Pak Haji Darian bergegas keluar sambil membawa segelas teh di dalam gelas seng, tanpa canggung bergabung ia pada meja kotak dan sofa empuk dengan kayu ukir dari bahan jati termahal yang langsung didatangkan dari Pulau Jawa itu.

“Kerja aja besok di ladang. Mumpung kami kurang orang.” Kata Pak Haji Darian tanpa basa-basi, padahal istrinya ingin sekali mengatakan tidak karena merasa panen kopi di bulan-bulan ini tidak terlalu banyak dan jika menambah karyawan lagi pastinya akan menambah biaya operasional termasuk gaji dan makan siang. Namun, urung istrinya mendebat Pak Haji Darian yang terkenal tegas itu. Maka, jadilah Sanna karyawan resmi di ladang kopi terluas di Kabupaten Bone milik Pak Haji yang terkenal dermawan itu.

            Pagi itu memang belum terlalu terang, namun beberapa warga sudah sibuk lalu lalang. Ada penjaga pos kamling yang menuju pulang, ada pedagang yang sudah menuju pertokoan, ada petani yang sudah menuju ladang, dan yang paling banyak ialah ibu-ibu tangguh yang sudah berjejer di depan rumah masing-masing ada yang menyapu teras, ada yang menyiram kembang di halaman, ada yang menjemur pakaian, ada yang hanya duduk-duduk menunggu ayam-ayam memakan biji-biji jagung. Dan hampir semuanya, mengalihkan pandangan ke Sanna.

            Sanna memang cantik, tanpa berniat bersolek pun ia tetap tampak menarik. Terlebih yang tertarik bukan hanya laki-laki, namun perempuan juga. Tak ada yang bisa membantah, bahwa Sanna adalah lajang tercantik di desa Tanah Tengnga. Sanna mengenakan kaos lengan panjang berwarna maroon, lipstiknya berwarna pink tipis, sedikit ia bubuhi bedak tabur berwarna kemuning ke wajahnya, rambutnya terikat rapi, celana kulot berwarna gelap, dan terakhir tas kain kesayangannya hadiah dari Almarhum suaminya.

            Sanna tersenyum menyapa tetangganya, dari seberang rumah, samping kiri-kanan, hingga yang berjarak 5 hingga 10 rumah pun ada yang coba menyapanya hingga berpura-pura menyapu jalan raya. Setelah mendapati senyum dari Sanna, satu dua ibu-ibu saling pandang, memasang wajah tidak begitu senang, dan masa iddah Sanna lah yang kali ini menjadi bahan mereka.

            “Belum kering tanah kuburan Puang Jalal sudah sibuk dia tebar pesona.”

            “Kau lihat baju merahnya itu, dalam agama sudah jelas dilarang saat masa iddah memakai pakaian terang.”

            “Apalagi warna lipstiknya, seperti anak muda saja.”

            “Lihat juga rambutnya yang sengaja diikat biar lehernya terlihat.”

            “Aku dengar Sanna kerja di ladang kopi.”

            “Kerja di ladang saja begitu gayanya?”

            “Mungkin mau jadi istri ketiga Pak Haji.”

            “Kasihan anaknya ya, masih asi sudah ditelantarkan.”

            Satu dua bisikan-bisikan itu tidak hanya berhenti di lingkungan tetangga tetapi juga menyebar ke tempat lain, di sekolah dasar Fatiyah, posyandu, balai desa, puskesmas, pasar, ladang, toko kelontong, majelis, pos kamling, warung kopi, pangkalan ojek, semua penjuru Tanah Tengnga heboh soal Sanna, dengan tajuk utama “Janda dalam masa iddah yang sudah gatal tebar pesona.” Semua yang sampai dari mulut ke mulut itu adalah hal negatif yang tak jelas kebenarannya, terlupakan tujuan-tujuan baik dari perginya Sanna pagi-pagi untuk mencari nafkah, yang justru teringat adalah warna pakaian dan warna lipstiknya. Begitulah cara gosip menyebar, omongan yang tadinya berupa kedelai, tiba-tiba sore hari bisa sudah berubah menjadi tempe.

 

**

Sudah sebulan lamanya sejak kali pertama Sanna menjadi buruh petik kopi. Rutinitas yang ia jalani 4 hingga 5 kali seminggu. Memang tak setiap hari. Sanna harus menyisihkan setidaknya 2 hari dalam seminggu untuk seharian bersama Andara. Putrinya yang seringkali tantrum saat ia tinggal. Tak jarang ia pun tak tega melihat ibunya yang terlihat lelah mengasuh Andara seharian. Jadi, Sanna menjadikan setidaknya 2 hari sebagai hari libur untuk ibunya, Puang Ani. Karena, bekerja di kebun saat ini menjadi penghasilan utama Sanna.

“Ndak mau di rumah saja kita buka warung?” Takko adik kedua Sanna yang paling mapan di keluarga.

“Ndak ada ji modalku.” Sanna menjawab sembari menyetrika pakaian di depan TV.

“Pakai dulu uang kebun, kasihan masih bayi ditinggal terus.” Sanna terdiam, uang kebun yang dimaksud adalah warisan yang sudah dibagi oleh Puang Ani kepada anak-anaknya. Namun, Sanna enggan menjual itu karena ia jaga untuk biaya kuliah Aco kelak.

“Jual saja, nanti gampang saya carikan pembeli.” Takko masih berupaya, walaupu Sanna tau betul memang Takko lah yang ingin sekali membeli kebun itu.

”Lihat nanti saja, masih bisa aku ke ladang.” Sanna tetap dengan pendiriannya.

Memang, bagi orang-orang di kampung keluarga Sanna bukanlah tergolong keluarga susah, bahkan cenderung berkecukupan. Tetapi, pilihan Sanna untuk dipersunting Jalal lah yang membuat kehidupan Sanna cukup berbeda dibanding saudara-saudaranya. Sanna lahir di keluarga bangsawan Bone. Semua saudaranya menikah dengan sesama keturunan bangsawan, kecuali Sanna. Dan bisa dibilang, kehidupan Sanna lah yang paling susah. Terlebih sejak suaminya meninggal. Karena bahkan selama ini mereka tinggal di rumah warisan dari Puang Ani. Kasarnya, Jalal tak membawa harta secuil pun ke rumah itu. Modal cinta, begitulah pendapat satu keluarga saat Sanna memilih Jalal. Namun apa mau dikata, keputusan mereka berdua bulat dan susah dicegah.

“Kalau ada alasan yang lebih masuk akal selain dia tidak mapan, maka saya akan mundur.” Tidak ada, satupun anggota keluarga tak ada yang bisa memberikan alasan itu. Termasuk Puang Ani yang saat itu menentang keras. Jalal meminang Sanna dengan uang pas-pasan untuk kebutuhan acara yang sederhana. Sebagai putri sulung di keluarga, mau tidak mau Puang Ani yang akhirnya berkorban untuk memberikan acara yang sesuai dengan standard keluarga Bangsawan saat menikah. Semua tambahan biaya pesta hasil dari menjual tanah leluhur. Tak henti-hentinya rapat keluarga terus digelar sebelum pesta. Gengsi yang membuat acara itu menjadi semakin rumit. Sementara di luaran, terdengar Jalal yang memberikan uang panai bernilai besar. Saat itu Sanna malas turut campur lebih dalam perihal pesta, tujuannya hanya satu yaitu hidup bahagia bersama Jalal.

Selama hidup, Jalal tergolong lelaki rajin dan bertanggung jawab. Hanya saja sepertinya ia kurang beruntung dalam mencari nafkah. Ia sering gonta-ganti pekerjaan. Dan yang bertahan cukup lama hanyalah menjadi penjual rokok. Pekerjaan yang ia geluti dengan mengorbankan banyak waktu bersama keluarganya terganggu karena harus seringkali ke luar kota berhari-hari bahkan hampir sebulan. Jika ditinjau kembali, perhitungan Sanna tidaklah keliru. Ia merasa bahagia hidup bersama Jalal, lelaki yang pada akhirnya memberikannya empat orang anak.

 

**

Sanna rindu sekali dengan Jalal, suami yang ia cintai itu adalah sahabat terbaik baginya. Segala hal bisa ia ceritakan berjam-jam setiap kali Jalal pulang. Waktu terasa begitu berarti. Sekalipun terkadang dalam kekurangan, Jalal ada tipe lelaki yang hangat dan setia, walaupu diluaran dia terlihat garang. Sedang Sanna adalah perempuan pandai bersyukur yang selalu melihat Jalal dengan penuh cinta. Komplit. Sanna sangat bergantung pada kehadiran Jalal. Begitu pun sebaliknya. Setiap malam selepas isya, Sanna terbiasa menyiapkan segelas kopi hitam dan kudapan, entah pisang goreng ataupun jalangkote. Itu adalah kudapan favorit Jalal. Mereka terbiasa duduk berdua di ruang tamu, mengobrol kesana-kemari sementara anak-anaknya berkumpul di ruang tengah. Sengaja, mereka hanya melibatkan bincang ini berdua saja, agar bisa intens, dan ini sangat berguna bagi keduanya. Cerita-cerita kecil dari kegiatan di rumah, di sekolah anak-anak, keluarga besar yang rumahnya saling berdekatan, hingga kondisi perasaan Sanna terkini dengan terbuka mereka bahas setiap malam saat Jalal di rumah. Sedang Jalal pun sama, ia menceritakan bagaimana pekerjaannya, rekan-rekan kerjanya, perjalanannya, apapun itu ia ceritakan. Sanna merasa itulah alasan mengapa mereka berdua harus menjadi sepasang. Karena tak ada yang bisa lebih mengerti dirinya selain Jalal, pun sebaliknya.

Sedang selepas Jalal tiada, Sanna hanya bisa duduk sendirian merenung menghadap jendela kamar yang ia biarkan terbuka lebar. Ia berusaha membayangkan wajah Jalal yang lama-lama sulit ia bayangkan. Sanna mencari-cari dalam memorinya bagaimana wajah suaminya itu, tetapi selalu gagal. Sanna hanya merasa Jalal masih sangat dekat sekali. Sanna bisa merasakan, tetapi tidak dengan mengingat wajah. Ritual mengorek-ngorek memori itu ia lakukan hampir setiap hari dan bisa ia temukan jawabannya hanya pada saat ia membuka buku nikah yang berisi pas foto Jalal, itupun hitam putih, hanya itu yang bisa ia ingat. Padahal, di kepala Sanna, Jalal lebih luar biasa dibanding foto itu. Sanna kesal harus selalu kesulitan membayangkan Jalal yang lain, yang ia deskripsikan dalam tubuhnya bahwa lelaki ini adalah sosok yang sempurna, ya tubuhnya lah yang berhasil mengingat, tapi tidak dengan kepalanya. Memori Sanna tentang wajah Jalal rusak, digerus entah apa.

 

**

Diantara keempat anaknya, paling sulit menghadapi Aco. Aco sosok pendiam namun keras kepala, sikapnya jauh berbeda dengan siapapun, tidak dengan Jalal, dengan Sanna apalagi. Sedikitpun Aco tak pernah merengek meminta sesuatu. Sedang ketiga anak lainnya sangat mudah diajak diskusi, tetapi juga pandai menuntut. Aco berbeda sekali. Pernah suatu Ketika Aco didaftarkan untuk mengikuti paskibraka di Kecamatan Palakka, dari sekolahnya hanya beberapa yang terpilih, karena mempertimbangkan postur tubuh Aco terpilih. Tetapi karena disyaratkan harus Latihan hnmpir setiap hari, Aco memilih mengundurkan diri sebelum Latihan hari pertama dimulai. Alasannya? Ia sakit dan tidak mampu terlalu lelah. Alasan sesungguhnya? Ia harus membantu pekerjaan di kebun Puang Takko. Yang ia jalani atas permintaan mamminya. Walaupun di sisi lain, Aco sangat ingin ikut. Akhirnya Sanna paham, lambat laun Aco semakin mirip almarhum suaminya. Garis wajahnya yang tegas, matanya yang besar, hidungnya yang tidak terlalu mancung, bibirnya yang tipis, giginya yang tertata rapi, dan kulitnya yang kecokelatan. Semuanya adalah Jalal versi remaja.

Sedang Gemma dan Fatiyah sangat mirip dengan Sanna, pun Andara si bungsu bayi mungil yang cukup terlihat seperti Sanna walaupun nantinya bisa jadi berubah.

Untuk pertama kalinya Aco berani meminta sesuatu pada Sanna, yaitu bersekolah di Makassar, spesifik SMK, jurusannya pun sudah jelas, tinggal dimana pun ia sudah punya ancang-ancang, bahkan ia inisiatif untuk izin pada Puang Takko agar bisa tinggal bersama di Toddopuli. Hanya hal ini saja yang membuat Sanna senang sekaligus bingung. Anak laki-laki tertuanya ternyata sudah cukup dewasa. Seperti ia tahu persis akan hidup bagaimana. Dari kemauan Aco itulah, Sanna semakin semangat mencari uang, menjadi tulang punggung sekaligus pilar utama dalam melindungi keempat anaknya, dan yang pasti usaha untuk membuktikan bahwa ia suatu saat pasti berhasil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts