Palakka, May 2004.
Doa dan isak
menguasai pusara Petta dan petuahnya. Kepala Aco masih terbentur harapan bahwa
yang ia saksikan bukanlah kenyataan. “Bangun, bangun, bangun.”
Jeritnya dalam diam. Sanna terduduk di atas kursi plastik dengan pandangan
kosong, matanya seakan bercerita bahwa jiwanya sedang terpukul, namun senyumnya
kepada para pelayat yang tampak dipaksakan itu menegaskan ia ingin tampak
tegar, walaupun justru terlihat makin menyedihkan. Gema duduk di sebelahnya,
mengadahkan kedua telapak tangan, sigap mengucap “Aamiin” tatkala ustadz usai
dengan do’a-do’a, tak bisa dibaca sedikitpun apa yang ada di pikirannya. Fatiyah sedikit berbeda, ia paling histeris ketika
melihat Pettanya terbungkus kaku. Menjerit, mengamuk, menangis hingga air
matanya tak cukup lagi untuk membasahi kornea, habis sudah. Hingga ia
kelelahan, terdiam, bersandar pada Aco yang batinnya juga tak cukup kuat
menyangga kesedihan adiknya itu. Sementara Andara sedang di rumah bersama
nenek, bermain dengan mainan bunyi-bunyian yang membuat ia tertawa riang, bayi
beruntung yang tak tahu-menahu perihal kehilangan. Petta meninggalkannya saat
ia belum mengerti duka.
Beberapa pelayat yang
hadir sungkan menghampiri atau menyapa Sanna. Beberapa yang lain tak ragu
memeluk dan berusaha menenangkan ibu 4 anak itu. Lalu tak sedikit yang berusaha
mengajak mengobrol, bertanya ini-itu, membahas hal rinci tentang penyebab
meninggalnya Petta, yang seringkali membuat hati Sanna semakin terpukul. Ia
tidak siap menghadapi itu semua. Namun sayangnya, tidak semua orang peka akan
hal itu. Hari dimana jasad lelaki itu dikebumikan, seluruh kerabat dari
berbagai penjuru Sulawesi Selatan berkumpul, menyaksikan Sanna yang sudah tentu
akan tertatih-tatih membesarkan 4 anaknya yang masih kecil-kecil. Rasa iba,
empati, kasihan, bersatu-padu menaungi Sanna yang dirundung duka bahkan nyaris
pingsan hari itu, tetapi tidak ada yang mengerti bahwa Sanna hanya ingin
menikmati kesedihan ini sendirian. Memeluk ulang kenangan-kenangan bersama
lelaki yang dikenalnya sejak lama itu, Jalalludin.
Dinding
papan yang tidak rapat, bercelah, beberapa bagian mampu dilihat dengan jelas
dari luar, jendela pun akhirnya ia biarkan terbuka sedikit karena udara sedang
panas padahal sedang musim hujan. Sanna merebahkan kepalanya menatap
langit-langit, melamun ia disertai gelisah yang membuatnya sulit memejamkan
matanya. Ia memandangi tumpukkan beras dan bahan makanan lain serta amplop yang
dibawa para pelayat tempo hari masih amat banyak. Tetapi, Sanna sadar itu semua
akan habis dan ia harus bekerja. Dipandanginya Andara yang pulas tertidur
setelah diberinya asi, kasihan ia melihat putri bungsunya itu harus
ditinggalkan Petta saat ia belum mengerti apa-apa. Belum lagi saat ia melihat
ketiga anaknya yang lain, tak tega ia membayangkan jika anak-anaknya itu kekurangan.
Isak tak tertahan, air mata keluar dengan derasnya, sesak ia mengingat-ingat
anak-anaknya, rindu ia pada mendiang suaminya.
“Mammi,
belum tidur?” Aco terbangun, melihat ke arah mamminya yang masih terjaga dan
menangis. Semenjak Petta meninggal, Aco dan ketiga adiknya memang tidur bersama
mamminya di kamar utama, karena mereka beberapa kali mimpi buruk dan terkadang
pula merasa Petta hadir di mimpi mereka.
“Tidur lagi nak.”
Sanna menyuruh putranya itu tidur.
“Tidur tidur.” Mammi
mengelus-elus kepala Aco. Aco patuh, dengan memejamkan matanya namun dengan
jelas ia masih merasakan kepedihan mamminya.
“Mammi, kalau aku
berhenti sekolah saja bagaimana? Aku bisa jadi reseller es lilin Bu Ratmi,
lumayan untuk tambahan uang saku Gema dan Fatiyah.” Sanna melihat putranya itu
masih memejamkan mata, namun keluar dari mulut anak 13 tahun itu sesuatu yang
diluar dugaan.
“Mammi masih sanggup
beri kalian uang saku. Kamu belajar saja yang pintar, biar jadi orang sukses.”
Sanna terus mengelus kepala anaknya, Aco mengangguk. Makin pedih hati Sanna
mendengar apa yang keluar dari mulut putranya, ia bertekad harus berusaha sekeras
mungkin agar tak berkekurangan.
Belum
lama Sanna berhasil terpejam, namun ia harus bangun kembali. Kerja kerja kerja,
panggilan yang otomatis terdengar di telinganya. Inilah salah satu alasan,
tidurnya semalam tidaklah tenang. Membersihkan rumah, menyiapkan sarapan,
mencuci peralatan masak, mencuci pakaian, mempersiapkan pakaian sekolah,
memompa asi, hingga membangunkan putra-putrinya dengan hati-hati, takut jika
Andara ikut terbangun. Setelah jam menunjukan pukul 6, Sanna membuka pintu
rumah, dirasakannya udara sejuk pagi itu memasuki rumahnya melalui celah pintu,
ditariknya nafas dalam lalu ia hembuskan perlahan, lagi ia ulangi berharap kegelisahan
yang ia rasakan bisa segera tercairkan.
Pagi ini Sanna sudah
yakin dengan rencananya, mencari kerja. Sanna kikuk membayangkan itu, karena
semenjak dipersunting Jalal tak pernah lagi ia bekerja terkecuali saat suaminya
itu mulai sakit-sakitan dan Sanna terpaksa mengambil upah sebagai buruh cuci
pakaian. Kali ini pekerjaan itu sudah pasti sulit ia dapat Kembali, karena
banyaknya yang punya mesin cuci & laundry yang sudah mulai buka di dekat
kantor desa. Pilihan pekerjaan lain yang terpikir hanya satu, tetapi
kemungkinan Sanna ditolak juga 50:50. Yang penting usaha dulu.
Di rumah Pak Haji
Darian pagi-pagi sekali sedang kedatangan tamu istimewa. Wanita berusia 36
tahun yang terkenal sebagai janda cantik beranak 4 yang baru 3 pekan ditinggal
suami tercintanya, Sanna.
“Ada perlu apa
pagi-pagi kesini? Ayo duduk dulu.” Menyambut baik istri pertama Pak Haji Darian
melihat Sanna yang tampak amat putus asa itu, ramah ia walaupun instingnya
sedang merasa curiga, “Jangan-jangan dia mau pinjam uang”. Dalam kepala Bu Haji
itu terpikir beberapa alasan kalau-kalau benar adanya Sanna ingin meminjam
uang. Alasan demi alasan ia cari-cari dan dikumpulkan menjadi 1 folder di
otaknya untuk berjaga-jaga.
“Bu, saya sepertinya
perlu pekerjaan.” Suara Sanna keluar dengan kecepatan yang amat lambat,
bergetar, tak stabil, berfrekuensi rendah, dan tanpa penekanan sedikitpun.
Mendengar ada tamu Pak Haji Darian bergegas keluar sambil membawa segelas teh
di dalam gelas seng, tanpa canggung bergabung ia pada meja kotak dan sofa empuk
dengan kayu ukir dari bahan jati termahal yang langsung didatangkan dari Pulau
Jawa itu.
“Kerja aja besok di
ladang. Mumpung kami kurang orang.” Kata Pak Haji Darian tanpa basa-basi,
padahal istrinya ingin sekali mengatakan tidak karena merasa panen kopi di
bulan-bulan ini tidak terlalu banyak dan jika menambah karyawan lagi pastinya
akan menambah biaya operasional termasuk gaji dan makan siang. Namun, urung
istrinya mendebat Pak Haji Darian yang terkenal tegas itu. Maka, jadilah Sanna
karyawan resmi di ladang kopi terluas di Kabupaten Bone milik Pak Haji yang
terkenal dermawan itu.
Pagi itu
memang belum terlalu terang, namun beberapa warga sudah sibuk lalu lalang. Ada
penjaga pos kamling yang menuju pulang, ada pedagang yang sudah menuju
pertokoan, ada petani yang sudah menuju ladang, dan yang paling banyak ialah
ibu-ibu tangguh yang sudah berjejer di depan rumah masing-masing ada yang
menyapu teras, ada yang menyiram kembang di halaman, ada yang menjemur pakaian,
ada yang hanya duduk-duduk menunggu ayam-ayam memakan biji-biji jagung. Dan
hampir semuanya, mengalihkan pandangan ke Sanna.
Sanna
memang cantik, tanpa berniat bersolek pun ia tetap tampak menarik. Terlebih
yang tertarik bukan hanya laki-laki, namun perempuan juga. Tak ada yang bisa
membantah, bahwa Sanna adalah lajang tercantik di desa Tanah Tengnga. Sanna
mengenakan kaos lengan panjang berwarna maroon, lipstiknya berwarna pink tipis,
sedikit ia bubuhi bedak tabur berwarna kemuning ke wajahnya, rambutnya terikat
rapi, celana kulot berwarna gelap, dan terakhir tas kain kesayangannya hadiah
dari Almarhum suaminya.
Sanna
tersenyum menyapa tetangganya, dari seberang rumah, samping kiri-kanan, hingga
yang berjarak 5 hingga 10 rumah pun ada yang coba menyapanya hingga
berpura-pura menyapu jalan raya. Setelah mendapati senyum dari Sanna, satu dua
ibu-ibu saling pandang, memasang wajah tidak begitu senang, dan masa iddah
Sanna lah yang kali ini menjadi bahan mereka.
“Belum
kering tanah kuburan Puang Jalal sudah sibuk dia tebar pesona.”
“Kau
lihat baju merahnya itu, dalam agama sudah jelas dilarang saat masa iddah
memakai pakaian terang.”
“Apalagi
warna lipstiknya, seperti anak muda saja.”
“Lihat
juga rambutnya yang sengaja diikat biar lehernya terlihat.”
“Aku
dengar Sanna kerja di ladang kopi.”
“Kerja
di ladang saja begitu gayanya?”
“Mungkin
mau jadi istri ketiga Pak Haji.”
“Kasihan
anaknya ya, masih asi sudah ditelantarkan.”
Satu dua
bisikan-bisikan itu tidak hanya berhenti di lingkungan tetangga tetapi juga
menyebar ke tempat lain, di sekolah dasar Fatiyah, posyandu, balai desa,
puskesmas, pasar, ladang, toko kelontong, majelis, pos kamling, warung kopi,
pangkalan ojek, semua penjuru Tanah Tengnga heboh soal Sanna, dengan tajuk
utama “Janda dalam masa iddah yang sudah gatal tebar pesona.” Semua yang sampai
dari mulut ke mulut itu adalah hal negatif yang tak jelas kebenarannya,
terlupakan tujuan-tujuan baik dari perginya Sanna pagi-pagi untuk mencari
nafkah, yang justru teringat adalah warna pakaian dan warna lipstiknya.
Begitulah cara gosip menyebar, omongan yang tadinya berupa kedelai, tiba-tiba
sore hari bisa sudah berubah menjadi tempe.
**
Sudah sebulan lamanya
sejak kali pertama Sanna menjadi buruh petik kopi. Rutinitas yang ia jalani 4
hingga 5 kali seminggu. Memang tak setiap hari. Sanna harus menyisihkan
setidaknya 2 hari dalam seminggu untuk seharian bersama Andara. Putrinya yang
seringkali tantrum saat ia tinggal. Tak jarang ia pun tak tega melihat ibunya
yang terlihat lelah mengasuh Andara seharian. Jadi, Sanna menjadikan setidaknya
2 hari sebagai hari libur untuk ibunya, Puang Ani. Karena, bekerja di kebun
saat ini menjadi penghasilan utama Sanna.
“Ndak mau di rumah
saja kita buka warung?” Takko adik kedua Sanna yang paling mapan di keluarga.
“Ndak ada ji
modalku.” Sanna menjawab sembari menyetrika pakaian di depan TV.
“Pakai dulu uang
kebun, kasihan masih bayi ditinggal terus.” Sanna terdiam, uang kebun yang
dimaksud adalah warisan yang sudah dibagi oleh Puang Ani kepada anak-anaknya.
Namun, Sanna enggan menjual itu karena ia jaga untuk biaya kuliah Aco kelak.
“Jual saja, nanti
gampang saya carikan pembeli.” Takko masih berupaya, walaupu Sanna tau betul
memang Takko lah yang ingin sekali membeli kebun itu.
”Lihat nanti saja,
masih bisa aku ke ladang.” Sanna tetap dengan pendiriannya.
Memang, bagi
orang-orang di kampung keluarga Sanna bukanlah tergolong keluarga susah, bahkan
cenderung berkecukupan. Tetapi, pilihan Sanna untuk dipersunting Jalal lah yang
membuat kehidupan Sanna cukup berbeda dibanding saudara-saudaranya. Sanna lahir
di keluarga bangsawan Bone. Semua saudaranya menikah dengan sesama keturunan
bangsawan, kecuali Sanna. Dan bisa dibilang, kehidupan Sanna lah yang paling
susah. Terlebih sejak suaminya meninggal. Karena bahkan selama ini mereka
tinggal di rumah warisan dari Puang Ani. Kasarnya, Jalal tak membawa harta
secuil pun ke rumah itu. Modal cinta, begitulah pendapat satu keluarga saat Sanna
memilih Jalal. Namun apa mau dikata, keputusan mereka berdua bulat dan susah
dicegah.
“Kalau ada alasan
yang lebih masuk akal selain dia tidak mapan, maka saya akan mundur.” Tidak
ada, satupun anggota keluarga tak ada yang bisa memberikan alasan itu. Termasuk
Puang Ani yang saat itu menentang keras. Jalal meminang Sanna dengan uang
pas-pasan untuk kebutuhan acara yang sederhana. Sebagai putri sulung di
keluarga, mau tidak mau Puang Ani yang akhirnya berkorban untuk memberikan
acara yang sesuai dengan standard keluarga Bangsawan saat menikah. Semua tambahan
biaya pesta hasil dari menjual tanah leluhur. Tak henti-hentinya rapat keluarga
terus digelar sebelum pesta. Gengsi yang membuat acara itu menjadi semakin
rumit. Sementara di luaran, terdengar Jalal yang memberikan uang panai bernilai
besar. Saat itu Sanna malas turut campur lebih dalam perihal pesta, tujuannya
hanya satu yaitu hidup bahagia bersama Jalal.
Selama hidup, Jalal
tergolong lelaki rajin dan bertanggung jawab. Hanya saja sepertinya ia kurang
beruntung dalam mencari nafkah. Ia sering gonta-ganti pekerjaan. Dan yang
bertahan cukup lama hanyalah menjadi penjual rokok. Pekerjaan yang ia geluti
dengan mengorbankan banyak waktu bersama keluarganya terganggu karena harus
seringkali ke luar kota berhari-hari bahkan hampir sebulan. Jika ditinjau
kembali, perhitungan Sanna tidaklah keliru. Ia merasa bahagia hidup bersama
Jalal, lelaki yang pada akhirnya memberikannya empat orang anak.
**
Sanna rindu sekali
dengan Jalal, suami yang ia cintai itu adalah sahabat terbaik baginya. Segala
hal bisa ia ceritakan berjam-jam setiap kali Jalal pulang. Waktu terasa begitu
berarti. Sekalipun terkadang dalam kekurangan, Jalal ada tipe lelaki yang
hangat dan setia, walaupu diluaran dia terlihat garang. Sedang Sanna adalah
perempuan pandai bersyukur yang selalu melihat Jalal dengan penuh cinta.
Komplit. Sanna sangat bergantung pada kehadiran Jalal. Begitu pun sebaliknya. Setiap
malam selepas isya, Sanna terbiasa menyiapkan segelas kopi hitam dan kudapan,
entah pisang goreng ataupun jalangkote. Itu adalah kudapan favorit Jalal. Mereka
terbiasa duduk berdua di ruang tamu, mengobrol kesana-kemari sementara
anak-anaknya berkumpul di ruang tengah. Sengaja, mereka hanya melibatkan
bincang ini berdua saja, agar bisa intens, dan ini sangat berguna bagi
keduanya. Cerita-cerita kecil dari kegiatan di rumah, di sekolah anak-anak,
keluarga besar yang rumahnya saling berdekatan, hingga kondisi perasaan Sanna
terkini dengan terbuka mereka bahas setiap malam saat Jalal di rumah. Sedang
Jalal pun sama, ia menceritakan bagaimana pekerjaannya, rekan-rekan kerjanya,
perjalanannya, apapun itu ia ceritakan. Sanna merasa itulah alasan mengapa
mereka berdua harus menjadi sepasang. Karena tak ada yang bisa lebih mengerti
dirinya selain Jalal, pun sebaliknya.
Sedang selepas Jalal
tiada, Sanna hanya bisa duduk sendirian merenung menghadap jendela kamar yang
ia biarkan terbuka lebar. Ia berusaha membayangkan wajah Jalal yang lama-lama
sulit ia bayangkan. Sanna mencari-cari dalam memorinya bagaimana wajah suaminya
itu, tetapi selalu gagal. Sanna hanya merasa Jalal masih sangat dekat sekali.
Sanna bisa merasakan, tetapi tidak dengan mengingat wajah. Ritual
mengorek-ngorek memori itu ia lakukan hampir setiap hari dan bisa ia temukan
jawabannya hanya pada saat ia membuka buku nikah yang berisi pas foto Jalal,
itupun hitam putih, hanya itu yang bisa ia ingat. Padahal, di kepala Sanna,
Jalal lebih luar biasa dibanding foto itu. Sanna kesal harus selalu kesulitan
membayangkan Jalal yang lain, yang ia deskripsikan dalam tubuhnya bahwa lelaki
ini adalah sosok yang sempurna, ya tubuhnya lah yang berhasil mengingat, tapi
tidak dengan kepalanya. Memori Sanna tentang wajah Jalal rusak, digerus entah
apa.
**
Diantara keempat
anaknya, paling sulit menghadapi Aco. Aco sosok pendiam namun keras kepala,
sikapnya jauh berbeda dengan siapapun, tidak dengan Jalal, dengan Sanna
apalagi. Sedikitpun Aco tak pernah merengek meminta sesuatu. Sedang ketiga anak
lainnya sangat mudah diajak diskusi, tetapi juga pandai menuntut. Aco berbeda
sekali. Pernah suatu Ketika Aco didaftarkan untuk mengikuti paskibraka di
Kecamatan Palakka, dari sekolahnya hanya beberapa yang terpilih, karena
mempertimbangkan postur tubuh Aco terpilih. Tetapi karena disyaratkan harus
Latihan hnmpir setiap hari, Aco memilih mengundurkan diri sebelum Latihan hari
pertama dimulai. Alasannya? Ia sakit dan tidak mampu terlalu lelah. Alasan
sesungguhnya? Ia harus membantu pekerjaan di kebun Puang Takko. Yang ia jalani
atas permintaan mamminya. Walaupun di sisi lain, Aco sangat ingin ikut.
Akhirnya Sanna paham, lambat laun Aco semakin mirip almarhum suaminya. Garis
wajahnya yang tegas, matanya yang besar, hidungnya yang tidak terlalu mancung,
bibirnya yang tipis, giginya yang tertata rapi, dan kulitnya yang kecokelatan.
Semuanya adalah Jalal versi remaja.
Sedang Gemma dan
Fatiyah sangat mirip dengan Sanna, pun Andara si bungsu bayi mungil yang cukup
terlihat seperti Sanna walaupun nantinya bisa jadi berubah.
Untuk pertama kalinya
Aco berani meminta sesuatu pada Sanna, yaitu bersekolah di Makassar, spesifik
SMK, jurusannya pun sudah jelas, tinggal dimana pun ia sudah punya
ancang-ancang, bahkan ia inisiatif untuk izin pada Puang Takko agar bisa
tinggal bersama di Toddopuli. Hanya hal ini saja yang membuat Sanna senang
sekaligus bingung. Anak laki-laki tertuanya ternyata sudah cukup dewasa. Seperti
ia tahu persis akan hidup bagaimana. Dari kemauan Aco itulah, Sanna semakin
semangat mencari uang, menjadi tulang punggung sekaligus pilar utama dalam
melindungi keempat anaknya, dan yang pasti usaha untuk membuktikan bahwa ia
suatu saat pasti berhasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar