Kamis, 06 Maret 2025

7

 

Andi Ratih

Andi Zidane Ahmed

Keuntungan memiliki nama yang sama, keduanya diharuskan duduk berdekatan saat ujian, di kelompok yang sama saat presentasi, di waktu bersamaan saat praktik, piket di hari yang sama, bahkan saat Andi Ratih terpilih menjadi ketua kelas, dengan sukarela Aco mengajukan diri sebagai wakilnya. Andi Ratih bagaikan gula, sedang Aco semut satu-satunya. Sayangnya, pendekatan Aco pada gadis berwajah oriental itu hanya sebatas itu saja, tidak lebih, Aco minder, entah ajaran darimana itu.

Secara akademis Andi Ratih tidaklah menonjol, tetapi gadis itu pandai bersosialisasi, pandai membawa diri, jadi bergaul dengan siapapun bukanlah masalah. Itulah mengapa ia dengan mudah meraup massa untuk mendukungnya sebagai ketua kelas, yang kemudian sebagai kandidat ketua OSIS pula. Tidak terbantahkan kemampuan Andi Ratih dalam memimpin, konon ini juga karena pengaruh besar ayahnya yang menjadi pejabat penting di BUMN, entah apa itu. Kebanyakan dari kawan sekelasnya tidak terlalu peduli.

Andi Ratih memang tergolong siswi populer, walaupun bukan yang tercantik. Ia cenderung biasa saja, tidak terlalu pandai berias maupun menjadi pusat perhatian lawan jenis. Tetapi bagi Aco gadis itu paling bersinar. Dimanapun Andi Ratih berada, di kerumunan manapun, bahkan jika disejajarkan dengan artis manapun Andi Ratih tetap paling cemerlang di mata Aco. Definisi sempurna yang sesungguhnya.

Setelah sekelas hampir satu semester, baru hari itu Aco merasa seperti terbang melayang. Apalagi kalau bukan saat kali pertama Andi Ratih mengajaknya mengobrol. Akhirnya, setelah segala macam usaha dilakukan Aco dalam menunjukkan diri, gebetannya itu mulai sadar akan eksistensinya di bumi ini.

“Zidane, sudah dapat judul untuk tugasnya?” Di laboratorium hari itu saat jam istirahat mereka tak sengaja bertemu. Bagi Andi Ratih bukan sengaja, tetapi bagi Aco jelas ini kesengajaan yang sudah ia lakukan dari awal, yang menjadikannya lebih seperti penguntit dibanding siswa biasa. Yang Aco senang dari sapaan Andi Ratih hari itu adalah perasaan lega. Akhirnya setelah sekian bulan tembok di antara mereka berdua runtuh. Tembok yang selama ini membuat Aco overthinking, mengapa hanya dia sulit sekali mendekati Andi Ratih? Mengapa hanya dia satu-satunya orang yang sulit sekali dekat bahkan sekadar menyapa perempuan itu? Mengapa seperti semuanya mustahil. Padahal jika dilihat-lihat, Andi Ratih sangan friendly kepada semua orang kecuali Aco. Mengapa? Apa yang salah dari Aco? Pertanyaan-pertanyaan yang menghantui Aco hampir setiap malam. Terlebih setiap kali mereka usai dihadapkan menjadi satu kelompok, duduk berdekatan, rapat kelas, dan sebagainya. Aco selalu membenci kenyataan bahwa ia adalah satu-satunya makhluk di bumi ini yang kehadirannya seperti hanyalah bayang-bayang di mata perempuan itu. Bahkan pernah ia merasa, Apakah karena dia tau aku suka? Lalu dia risih? Lalu dia berharap aku menghilang dari hadapannya? Lalu-lalu lainnya yang sebenarnya tidak terjadi. Kenyataannya hari ini pertanyaan-pertanyaan bodoh dalam kepalanya itu terbantahkan, tidak patut.

“Belum.” Jawab Aco spontan, walaupun setelah ia menjawab baru ia sadar bahwa ia saja tidak tahu-menahu tugas apa yang dimaksud.

“Oke kita selesaikan nanti sore ya.” Andi Ratih melempar senyum sebelum berlalu meninggalkan Aco. Aco beringsut tersipu-sipu kegirangan, tak mampu ia sembunyikan rasa senangnya. Sampai ia kemudian bingung, memangnya sore ini mereka ada janji? Hah janji apa? Dimana? Sejak kapan janji ini dibuat? Dan kenapa dia belum tahu? Aco berlari ke kelas menghampiri Badawi, orang yang biasanya juga sekelompok dengan Aco.

“Tugas apa? Saya juga belum tau.” Kini bukan hanya Aco saja yang bingung, Badawi pun sama. Badawi lalu bertanya pada kawannya yang lain yang juga ia pikir tahu mengenai tugas itu dan tak satupun yang mengerti tugas yang dimaksud.

Aco semakin berpikir keras, apa yang dimaksud Andi Ratih. Ia kemudian menerka-nerka apa saja kemungkinan dan peluang tugas yang dimaksud Andi Ratih. Kemungkinan dan peluang itu bersifat liar berjejal di kepala Aco hingga ia semakin dibuat pusing sendiri.

Skenario pertama. Andi Ratih membahas tugas yang memang belum diketahui siapapun kecuali Andi Ratih, karena ibu wali kelas mempercayakan informasi itu pada ketua kelas. Dan beruntungnya Aco menjadi orang pertama yang diberi tahu.

Skenario kedua. Andi Ratih hanya lupa bahwa tugas itu sudah lewat dan karena dia tidak punya bahan basa-basi untuk menyapa Aco akhirnya ia memilih memakai pertanyaan itu saja. Atau karena pertanyaan tugas itu yang paling masuk akal ia tanyakan kepada Aco. Di skenario kedua ini Aco besar kepala, merasa ia amat spesial.

Skenario ketiga. Andi Ratih hanya salah orang, harusnya orang lain yang ia tanya mengenai tugas ini tetapi karena di lab hanya ada Aco maka spontan lah ia bertanya pada Aco. Tapi kenapa spesifik sekali memanggil dengan nama Zidane? Aco semakin mengusutkan benang yang sudah kusut di kepalanya.

Skenario keempat. Aco lebih memilih mempercayai skenario kedua. Karena hanya dalam kemungkinan itu ia bisa congkak, sombong, besar kepala, GR, PD, bahagia, yang semua perasaan itu jika dikumpulkan harusnya bisa membuat Aco terbang jauh ke langit ke delapan lalu berjingkrak-jingkrak di sana sampai Dewi Qwan in marah.

 

**

 

“Buka halaman 47.” Membawa penggaris kayu panjang Pak Taufiq memasuki kelas. Belum sampai ia tiba di mejanya, ia sudah dengan sigap meminta siswa-siswinya membuka buku. Bahkan di antara mereka pun beberapa masih sibuk bercengkerama satu sama lain. Pak Taufiq memang sedikit berbeda. Dia berjiwa muda dan sangat siap untuk menjejali murid-muridnya dengan soal-soal sulit dan tidak terjangkau manusia biasa. Setelah beberapa menit pelajaran dimulai, barulah Andi Ratih muncul memasuki kelas.

“Sudah bawa contohnya tih?”

“Sudah pak.” Andi Ratih membuka gulungan kertas karton di tangannya.

“Teman-teman mohon perhatian.” Andi Ratih lalu menjelaskan tugas berikutnya yang harus dilakukan seisi kelas dengan berkelompok. Dan setiap kelompok hanya terdiri dari dua orang dan bebas memilih.

“Andi Zidane, boleh ke depan sebentar.” Aco masih bingung mengapa gadis itu memintanya maju.

“Jadi, sekarang saya dan Andi Zidane sekelompok, maka kami berdua sepakat dengan judul yang diambil yaitu bla bla bla.” Aco sama sekali tak bisa menyimak apa yang dikatakan Andi Ratih. Bebas memilih kelompok, tapi secara sepihak Andi Ratih langsung mengajaknya, lalu langsung diumumkan di depan kelas, lalu ia merasa jauh lebih besar kepala dibanding skenario kedua yang ia agung-agungkan tadi, lalu ia mengingat-ingat tentang mimpi apa yang ia alami semalam. Ia terpaku menghadapi pikiran konyolnya hingga kertas karton di tangannya digulung kembali.

“Baik, sudah mengerti ya?” Andi Ratih menutup penjelasan singkat itu dan mengajak Aco kembali ke kursi.

 

**

Dari kelas menuju keluar gang sekolah Aco berjalan berbarengan dengan Badawi. Aco berpura-pura bertanya klise padahal ingin Badawi mengungkit kembali tentang kejadian di kelas tadi.

“Wi, kamu benar-benar belum tau tentang tugas tadi?”

“Harusnya saya ji yang tanya ke kita? Tidak tau memang kalau Andi Ratih ajak satu kelompok? Wah payah sekali pura-pura amnesia.” Badawi menjawab. Tetapi bukan respon semacam itu yang diharapkan Aco. Ia berharap Badawi memperoloknya karena beruntung Andi Ratih mengajaknya satu kelompok, lalu dibumbui cie cie supaya perasaan senangnya hari itu bisa semakin gurih. Tapi sayangnya, kawannya itu tidaklah peka.

“Sudahlah, aku duluan ya.” Dengan mengantongi sedikit kekecewaan Aco meninggalkan Badawi di belakangnya.

“Mau langsung balik?” Dari belakang Andi Ratih muncul menyapanya yang sedang menunggu angkot di depan jalan.

“Iye’.”

“Ayo.” Andi Ratih langsung menarik tangan Aco menaiki angkot yang sudah berhenti di depan mereka. Keduanya duduk berdekatan lalu dengan banyak bicara Andi Ratih mengoceh tentang banyak hal. Lagi-lagi untuk kali kesekian Aco dibuat terpana oleh gadis itu. Andi Ratih, idamannya. Cerita yang disampaikan gadis itu seperti sebuah puisi yang membuat Aco terbuai, pikirannya tak fokus pada isi cerita, ia justru terpaku pada gerakan bibir, ekspresi, hingga tangan gadis itu yang mendukung penuh emosi dalam cerita. Aco sesekali mengangguk-angguk, tersenyum, menjawab iya dan tidak pada beberapa kalimat yang bernada tanya, menanggapi sekenanya tetapi sebisa mungkin terlihat sangat antusias. Ia tak ingin sedikitpun memberikan kesan bahwa ia kurang tertarik. Ia harus tampak totalitas menjadi pendengar.

“Ndak turun?” Andi Ratih menepuk kaki Aco sambil menunjukkan posisi mereka sekarang. Aco baru sadar ia sudah tiba tepat di jalan besar menuju rumahnya. Andi Ratih masih di dalam angkot dan akan terus hingga Panakkukang.

“Mau kutemani?” Pertanyaan yang entah mengapa meluncur begitu saja dari mulut Aco, pertanyaan yang sejak dulu ingin ia keluarkan setiap kali harus berbarengan dengan gadis itu, pertanyaan yang hari ini punya kesempatan untuk terlontar.

“Ndak, aku sudah janjian sama teman.” Andi Ratih tersenyum dan melambaikan tangannya. Aco dengan berat hati turun dari angkot, merasa keberaniannya untuk mengajukkan pertanyaan itu seketika tertolak dalam satu kali jurus.

Di sepanjang jalan, Aco banyak berpikir. Sambil menendang-nendang kaleng bekas minuman bersoda ia menimbang-nimbang keberuntungannya hari ini. Ekspektasinya adalah target yang ia jadikan parameter, sikap Andi Ratih adalah hasilnya, sedang yang ia rasakan adalah hasil perbandingan antara sikap Andi Ratih dengan ekspektasi yang ia harapkan. Rumit. Tak ada ratio yang ia temukan dalam menghitung ini. Yang ia rasakan tidaklah terukur. Gadis itu seolah membuat ia terbang tinggi sekaligus merana dalam satu waktu. Perasaan macam apa ini?

 

**

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts