Andi Ratih
Andi Zidane Ahmed
Keuntungan memiliki nama yang sama, keduanya
diharuskan duduk berdekatan saat ujian, di kelompok yang sama saat presentasi,
di waktu bersamaan saat praktik, piket di hari yang sama, bahkan saat Andi
Ratih terpilih menjadi ketua kelas, dengan sukarela Aco mengajukan diri sebagai
wakilnya. Andi Ratih bagaikan gula, sedang Aco semut satu-satunya. Sayangnya,
pendekatan Aco pada gadis berwajah oriental itu hanya sebatas itu saja, tidak
lebih, Aco minder, entah ajaran darimana itu.
Secara akademis Andi Ratih tidaklah menonjol, tetapi
gadis itu pandai bersosialisasi, pandai membawa diri, jadi bergaul dengan
siapapun bukanlah masalah. Itulah mengapa ia dengan mudah meraup massa untuk
mendukungnya sebagai ketua kelas, yang kemudian sebagai kandidat ketua OSIS
pula. Tidak terbantahkan kemampuan Andi
Ratih dalam memimpin, konon ini juga karena pengaruh besar ayahnya yang menjadi
pejabat penting di BUMN, entah apa itu. Kebanyakan dari kawan sekelasnya tidak
terlalu peduli.
Andi Ratih memang
tergolong siswi populer, walaupun bukan yang tercantik. Ia cenderung biasa
saja, tidak terlalu pandai berias maupun menjadi pusat perhatian lawan jenis.
Tetapi bagi Aco gadis itu paling bersinar. Dimanapun Andi Ratih berada, di
kerumunan manapun, bahkan jika disejajarkan dengan artis manapun Andi Ratih
tetap paling cemerlang di mata Aco. Definisi sempurna yang sesungguhnya.
Setelah sekelas
hampir satu semester, baru hari itu Aco merasa seperti terbang melayang.
Apalagi kalau bukan saat kali pertama Andi Ratih mengajaknya mengobrol.
Akhirnya, setelah segala macam usaha dilakukan Aco dalam menunjukkan diri,
gebetannya itu mulai sadar akan eksistensinya di bumi ini.
“Zidane, sudah dapat
judul untuk tugasnya?” Di laboratorium hari itu saat jam istirahat mereka tak
sengaja bertemu. Bagi Andi Ratih bukan sengaja, tetapi bagi Aco jelas ini
kesengajaan yang sudah ia lakukan dari awal, yang menjadikannya lebih seperti
penguntit dibanding siswa biasa. Yang Aco senang dari sapaan Andi Ratih hari
itu adalah perasaan lega. Akhirnya setelah sekian bulan tembok di antara mereka
berdua runtuh. Tembok yang selama ini membuat Aco overthinking, mengapa hanya
dia sulit sekali mendekati Andi Ratih? Mengapa hanya dia satu-satunya orang
yang sulit sekali dekat bahkan sekadar menyapa perempuan itu? Mengapa seperti
semuanya mustahil. Padahal jika dilihat-lihat, Andi Ratih sangan friendly
kepada semua orang kecuali Aco. Mengapa? Apa yang salah dari Aco?
Pertanyaan-pertanyaan yang menghantui Aco hampir setiap malam. Terlebih setiap
kali mereka usai dihadapkan menjadi satu kelompok, duduk berdekatan, rapat
kelas, dan sebagainya. Aco selalu membenci kenyataan bahwa ia adalah
satu-satunya makhluk di bumi ini yang kehadirannya seperti hanyalah
bayang-bayang di mata perempuan itu. Bahkan pernah ia merasa, Apakah karena dia
tau aku suka? Lalu dia risih? Lalu dia berharap aku menghilang dari hadapannya?
Lalu-lalu lainnya yang sebenarnya tidak terjadi. Kenyataannya hari ini
pertanyaan-pertanyaan bodoh dalam kepalanya itu terbantahkan, tidak patut.
“Belum.” Jawab Aco
spontan, walaupun setelah ia menjawab baru ia sadar bahwa ia saja tidak
tahu-menahu tugas apa yang dimaksud.
“Oke kita selesaikan nanti sore ya.” Andi Ratih melempar senyum sebelum berlalu meninggalkan
Aco. Aco beringsut tersipu-sipu kegirangan, tak mampu ia sembunyikan rasa
senangnya. Sampai ia kemudian bingung, memangnya sore ini mereka ada janji? Hah
janji apa? Dimana? Sejak kapan janji ini dibuat? Dan kenapa dia belum tahu? Aco
berlari ke kelas menghampiri Badawi, orang yang biasanya juga sekelompok dengan
Aco.
“Tugas apa? Saya juga
belum tau.” Kini bukan hanya Aco saja yang bingung, Badawi pun sama. Badawi
lalu bertanya pada kawannya yang lain yang juga ia pikir tahu mengenai tugas
itu dan tak satupun yang mengerti tugas yang dimaksud.
Aco semakin berpikir
keras, apa yang dimaksud Andi Ratih. Ia kemudian menerka-nerka apa saja
kemungkinan dan peluang tugas yang dimaksud Andi Ratih. Kemungkinan dan peluang
itu bersifat liar berjejal di kepala Aco hingga ia semakin dibuat pusing
sendiri.
Skenario pertama.
Andi Ratih membahas tugas yang memang belum diketahui siapapun kecuali Andi
Ratih, karena ibu wali kelas mempercayakan informasi itu pada ketua kelas. Dan
beruntungnya Aco menjadi orang pertama yang diberi tahu.
Skenario kedua. Andi
Ratih hanya lupa bahwa tugas itu sudah lewat dan karena dia tidak punya bahan
basa-basi untuk menyapa Aco akhirnya ia memilih memakai pertanyaan itu saja.
Atau karena pertanyaan tugas itu yang paling masuk akal ia tanyakan kepada Aco.
Di skenario kedua ini Aco besar kepala, merasa ia amat spesial.
Skenario ketiga. Andi
Ratih hanya salah orang, harusnya orang lain yang ia tanya mengenai tugas ini
tetapi karena di lab hanya ada Aco maka spontan lah ia bertanya pada Aco. Tapi
kenapa spesifik sekali memanggil dengan nama Zidane? Aco semakin mengusutkan
benang yang sudah kusut di kepalanya.
Skenario keempat. Aco
lebih memilih mempercayai skenario kedua. Karena hanya dalam kemungkinan itu ia
bisa congkak, sombong, besar kepala, GR, PD, bahagia, yang semua perasaan itu
jika dikumpulkan harusnya bisa membuat Aco terbang jauh ke langit ke delapan
lalu berjingkrak-jingkrak di sana sampai Dewi Qwan in marah.
**
“Buka halaman 47.”
Membawa penggaris kayu panjang Pak Taufiq memasuki kelas. Belum sampai ia tiba
di mejanya, ia sudah dengan sigap meminta siswa-siswinya membuka buku. Bahkan
di antara mereka pun beberapa masih sibuk bercengkerama satu sama lain. Pak
Taufiq memang sedikit berbeda. Dia berjiwa muda dan sangat siap untuk menjejali
murid-muridnya dengan soal-soal sulit dan tidak terjangkau manusia biasa. Setelah
beberapa menit pelajaran dimulai, barulah Andi Ratih muncul memasuki kelas.
“Sudah bawa contohnya
tih?”
“Sudah pak.” Andi
Ratih membuka gulungan kertas karton di tangannya.
“Teman-teman mohon
perhatian.” Andi Ratih lalu menjelaskan tugas berikutnya yang harus dilakukan
seisi kelas dengan berkelompok. Dan setiap kelompok hanya terdiri dari dua
orang dan bebas memilih.
“Andi Zidane, boleh
ke depan sebentar.” Aco masih bingung mengapa gadis itu memintanya maju.
“Jadi, sekarang saya
dan Andi Zidane sekelompok, maka kami berdua sepakat dengan judul yang diambil
yaitu bla bla bla.” Aco sama sekali tak bisa menyimak apa yang dikatakan Andi
Ratih. Bebas memilih kelompok, tapi secara sepihak Andi Ratih langsung mengajaknya,
lalu langsung diumumkan di depan kelas, lalu ia merasa jauh lebih besar kepala
dibanding skenario kedua yang ia agung-agungkan tadi, lalu ia mengingat-ingat
tentang mimpi apa yang ia alami semalam. Ia terpaku menghadapi pikiran
konyolnya hingga kertas karton di tangannya digulung kembali.
“Baik, sudah mengerti
ya?” Andi Ratih menutup penjelasan singkat itu dan mengajak Aco kembali ke
kursi.
**
Dari kelas menuju
keluar gang sekolah Aco berjalan berbarengan dengan Badawi. Aco berpura-pura
bertanya klise padahal ingin Badawi mengungkit kembali tentang kejadian di
kelas tadi.
“Wi, kamu benar-benar
belum tau tentang tugas tadi?”
“Harusnya saya ji
yang tanya ke kita? Tidak tau memang kalau Andi Ratih ajak satu kelompok? Wah
payah sekali pura-pura amnesia.” Badawi menjawab. Tetapi bukan respon semacam
itu yang diharapkan Aco. Ia berharap Badawi memperoloknya karena beruntung Andi
Ratih mengajaknya satu kelompok, lalu dibumbui cie cie supaya perasaan
senangnya hari itu bisa semakin gurih. Tapi sayangnya, kawannya itu tidaklah
peka.
“Sudahlah, aku duluan
ya.” Dengan mengantongi sedikit kekecewaan Aco meninggalkan Badawi di
belakangnya.
“Mau langsung balik?”
Dari belakang Andi Ratih muncul menyapanya yang sedang menunggu angkot di depan
jalan.
“Iye’.”
“Ayo.” Andi Ratih
langsung menarik tangan Aco menaiki angkot yang sudah berhenti di depan mereka.
Keduanya duduk berdekatan lalu dengan banyak bicara Andi Ratih mengoceh tentang
banyak hal. Lagi-lagi untuk kali kesekian Aco dibuat terpana oleh gadis itu.
Andi Ratih, idamannya. Cerita yang disampaikan gadis itu seperti sebuah puisi
yang membuat Aco terbuai, pikirannya tak fokus pada isi cerita, ia justru
terpaku pada gerakan bibir, ekspresi, hingga tangan gadis itu yang mendukung
penuh emosi dalam cerita. Aco sesekali mengangguk-angguk, tersenyum, menjawab
iya dan tidak pada beberapa kalimat yang bernada tanya, menanggapi sekenanya
tetapi sebisa mungkin terlihat sangat antusias. Ia tak ingin sedikitpun memberikan
kesan bahwa ia kurang tertarik. Ia harus tampak totalitas menjadi pendengar.
“Ndak turun?” Andi
Ratih menepuk kaki Aco sambil menunjukkan posisi mereka sekarang. Aco baru
sadar ia sudah tiba tepat di jalan besar menuju rumahnya. Andi Ratih masih di
dalam angkot dan akan terus hingga Panakkukang.
“Mau kutemani?” Pertanyaan yang entah mengapa meluncur
begitu saja dari mulut Aco, pertanyaan yang sejak dulu ingin ia keluarkan
setiap kali harus berbarengan dengan gadis itu, pertanyaan yang hari ini punya
kesempatan untuk terlontar.
“Ndak, aku sudah
janjian sama teman.” Andi Ratih tersenyum dan melambaikan tangannya. Aco dengan
berat hati turun dari angkot, merasa keberaniannya untuk mengajukkan pertanyaan
itu seketika tertolak dalam satu kali jurus.
Di sepanjang jalan,
Aco banyak berpikir. Sambil menendang-nendang kaleng bekas minuman bersoda ia
menimbang-nimbang keberuntungannya hari ini. Ekspektasinya adalah target yang
ia jadikan parameter, sikap Andi Ratih adalah hasilnya, sedang yang ia rasakan
adalah hasil perbandingan antara sikap Andi Ratih dengan ekspektasi yang ia
harapkan. Rumit. Tak ada ratio yang ia temukan dalam menghitung ini. Yang ia
rasakan tidaklah terukur. Gadis itu seolah membuat ia terbang tinggi sekaligus
merana dalam satu waktu. Perasaan macam apa ini?
**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar