Minggu, 09 Maret 2025

8

 

            Masih sama seperti masa-masa SMK, Ratih terus saja membuat perasaan Aco tidak menentu. Ia datang dan pergi, tarik ulur, menyatakan bagaimana ia sangat ingin bersama Aco, lalu di lain hari ia berkata menyesal, dan yang paling menyakitkan adalah hari itu. Saat Aco mengambil cuti kali terakhir, Ratih mengajak bertemu di Makassar, mereka bersama berhari-hari, seperti perpisahan Ratih tiba-tiba mengabarkan perjodohannya.

            ”Aku nggak punya alasan buat nolak.” Ratih menangis di depan Aco seolah menyesal. Aco tak banyak bicara, ia hanya memeluk perempuan itu dan turut menangis.

            ”Kamu harus patuh.” Aco terisak.

            ”Kamu nggak papa?” Wajah Ratih menatap dalam lelaki di depannya. Aco menggeleng.

            ”Aku pengen kamu datang.”

            ”Nggak mungkin.” Aco menggeleng. Ratih kembali menangis tersedu-sedu hingga fajar tiba.

            Sejak hari itu, Aco berusaha untuk ikhlas. Ia merasa tak terima, tetapi tak punya kuasa untuk merebut kembali kekasihnya itu. Ia belum siap, banyak yang perlu ia selesaikan. Menikah bukan prioritasnya kali ini.

            Beberapa hari kemudian kekasihnya itu menghubunginya, seperti tak ada apa-apa. Membiarkan nama Aco tertulis di profil BBMnya, seakan mereka masih sepasang. Ratih memberinya kabar, bertanya kabar, masih merayu dan melempar rindu.

            ”Ahhh taik.” Aco marah kepada dirinya yang masih saja goyah. Ia jawab setiap pertanyaan, ia panggil juga Ratih dengan sebutan sayang, ia pun memberikan perhatian, semua itu masih ia lakukan dengan sadar. Lalu sejurus kemudian ia menyesal saat ingat kekasihnya itu sudah dilamar. Tetapi ia pun tak punya keyakinan untuk mengabaikan perempuan itu. Ia lemah saat berurusan dengan Ratih.

            Tetapi, akhir-akhir ini, Aco mulai tak menjawab panggilan Ratih. Jika pun ia perlu menjawab, itu hanya saat panggilannya sudah mulai berpuluh-puluh kali, dan Aco merasa perlu untuk menenangkan gadis itu. Ia memberi alasan entah pekerjaan atau hal yang lain yang menyebabkannya tak bisa membalas pesan. Aco sedang disibukkan hal yang lain. Ratih mulai tak lagi punya pengaruh. Pikirannya teralihkan, pun dengan hatinya. Akhir-akhir ini Aco seperti punya semangat baru untuk memulai hidup.

 

**

 

            Sejak mengenal Aco, malam Elok tak lagi sama. Ia sering melamun, terngiang-ngiang suara Aco, terbayang-bayang matanya bulat. Bagi Elok, jika jatuh cinta pada pandangan pertama adalah mitos, maka sepertinya Aco adalah pengecualian. Elok bahkan tak lagi terganggu saat Gardana berhari-hari tanpa kabar. Ia justru lebih ingin menghabiskan malamnya dengan berdiam diri. Merenungkan interaksinya hari ini dengan Aco, mengarsipkan semuanya dalam memori dan membuat hatinya berbunga-bunga hingga tertidur. Sayangnya, Aco tak sekalipun mengirimi ia pesan. Mereka hanya bersama saat bertemu di kantor, atau membuat janji temu dengan Afif, semua secara tidak disengaja.

            Gardana memanggil.

            ”Halo.”

            ”Kamu lagi apa?”

            ”Nggak ada, santai. Kenapa?”

            ”Aku mau kita break dulu.”

            ”Kenapa?” Elok bingung.

            ”Aku nggak bisa LDR.” Hening, Elok tak bisa menjawab.

            ”Aku juga pengen fokus tugas akhir.”

            ”Oke.” Elok menjawab dengan lemas. Tak banyak basa-basi, mereka menutup panggilan itu. Malam itu Elok menangis, tetapi tangisan itu seperti hanya formalitas saja, agar ia tidak merasa bersalah pada Gardana. Ia harus bersedih saat berpisah, itu yang Elok pikirkan. Walaupun Gardana tak meminta benar-benar berpisah. Break? Istilah apa lagi? Apa ini hanya semacam cara baru untuk meminta putus? Atau apa? Elok menerima itu, bahkan seperti merasa lega.

 

**

 

            Sore itu, saat jam kantor berakhir. Elok tak sengaja bertemu Aco di parkiran. Mereka saling menyapa, tapi canggung. Sepulang dari Samarinda minggu lalu, mereka memang menjadi lebih berjarak. Apalagi saat ini Afif sedang tugas di luar kota, makinlah mereka tak punya alasan untuk bertemu.

            ”Malam ini sibuk?” Aco bertanya sembari memasang helm.

            ”Kenapa?” Elok bertanya balik.

            ”Mie ayam yuk!” Aco sambil tersenyum, Elok gugup.

            “Boleh.” Tak bisa Elok sembunyikan perasaan senangnya.

            ”Pin BBM.” Aco mengeluarkan ponselnya.

            ”BR91G26. Elok menyebutkan pinnya.

            ”Oke nanti kukabarin.” Aco lalu melajukan motornya. Sedang Elok masih terpaku disana, jantungnya berdegup kencang, tak bisa ia kendalikan rasa senangnya. Hilang sudah kesedihan putus dari Gardana. Ia bertekad melupakan lelaki itu.

 

**

 

            Selepas isya, Elok mondar-mandir di kamar. Berkali-kali ia mengecek ponselnya. Belum ada permintaan pertemanan. Ia gelisah sekaligus senang, perasaannya berdebar hebat seperti hendak dapat doorprize. Ia lalu berpikir, jangan-jangan pin yang ia sebutkan salah. Lalu ia bersedih kemudian. Lama ia menunggu hingga akhirnya pesan masuk.

            ”A. Zidane is inviting you.” Elok melompat kegirangan, ia menghempaskan tubuhkan ke kasur dan membenamkan wajahnya sambil berteriak. Ia bergegas menerima permintaan itu, lalu menunggu pesan masuk.

            ”PING!”

            ”Iya.” Hanya berselang sedetik Elok langsung membalas.

            ”Jadi?”

            ”Ok.”

            ”Kujemput?”

            ”Boleh.”

            ”OTW.”

            ”Ok.” Elok melompat dari kasur menuju lemari, ia bergegas mencari pakaian dan berdandan kilat. Ia tak ingin terlihat berlebihan, tetapi juga tak ingin terlihat buruk, ia mencoba sebaik mungkin agar tampak manusiawi di depan Aco.

            Aco berdiri di depan pintu menunggu Elok selesai Bersiap, Elok membuka pintu dan melihat lelaki yang mencuri isi kepalanya akhir-akhir ini muncul di depannya. Isi perutnya seperti ingin keluar, ia mulas, sekaligus gugup, debar yang tak bisa dijelaskan. Mengapa bisa sekilat ini ia melupakan Gardana? Mengapa semudah ini ia jatuh cinta? Mengapa harus Aco?

 

**

 

            Afif masih lama bertugas di luar, Elok dan Aco lebih banyak menghabiskan waktu berdua. Mereka dekat, hingga cerita Ratih dan Gardana bebas menjadi bahan obrolan sehari-hari. Aco yang senang Elok sudah putus. Elok yang lega Aco tak lagi dengan Ratih. Keduanya merasa dipertemukan takdir, hingga mereka merasa saling cocok dan ingin berkomitmen, ada satu hal lagi yang mengganjal di hati masing-masing.

            Malam itu di sebuah rumah makan padang.

            ”Break? Itu bener-bener putus?” Aco bertanya sekali lagi.

            “Apalagi?” Elok menjawab santai.

            “Kok dia masih ngechat?” Aco melihat notifikasi dari ponsel Elok, pesan Line dari Gardana. Elok menghela nafas, ia merasakan keragu-raguan Aco.

            ”Boleh kukasih tau dia tentang kamu?” Elok melihat dalam ke arah Aco. Aco mengangguk.

            ”Kita sudah putus beneran kan?” Elok mengirim balasan itu pada pesan bertuliskan kangen milik Gardana.

            ”Kenapa tiba-tiba nanya itu?” Gardana menjawab. Elok membaca itu dengan perasaan gugup. Lalu ia membalas. ”Aku dekat dengan orang disini.” Setelah mengirim pesan itu, Elok merasa berat. Entah mengapa ia sedih menuliskan itu. Apakah ini memang artinya hubungannya dengan Gardana selama ini benar-benar selesai? Karena Aco? Orang yang baru ia kenal? Lama Elok menunggu Gardana membalas, hingga balasan yang ia baca berikutnya membuatnya tangisnya pecah. Ia menangis sejadi-jadinya. Ada memori terputar ulang di kepalanya, banyak momen bersama Gardana yang membuat ia seperti terluka. Aco melihat itu dengan sedikit kecewa.

            ”Kamu nggak ikhlas?” Aco memegang tangan Elok. Elok tak menjawab dan makin terisak.

            ”Mau pulang?” Dengan lembut Aco menawarkan.” Elok mengangguk. Mereka pulang sebelum semua makanan habis. Aco merasa kurang nyaman melihat Elok menangis disana.

            Malam itu, Elok dan Aco tak banyak bicara. Mereka kembali ke kost masing-masing dengan ganjalan di benak masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts