Masih sama
seperti masa-masa SMK, Ratih terus saja membuat perasaan Aco tidak menentu. Ia
datang dan pergi, tarik ulur, menyatakan bagaimana ia sangat ingin bersama Aco,
lalu di lain hari ia berkata menyesal, dan yang paling menyakitkan adalah hari
itu. Saat Aco mengambil cuti kali terakhir, Ratih mengajak bertemu di Makassar,
mereka bersama berhari-hari, seperti perpisahan Ratih tiba-tiba mengabarkan
perjodohannya.
”Aku nggak
punya alasan buat nolak.” Ratih menangis di depan Aco seolah menyesal. Aco tak
banyak bicara, ia hanya memeluk perempuan itu dan turut menangis.
”Kamu
harus patuh.” Aco terisak.
”Kamu
nggak papa?” Wajah Ratih menatap dalam lelaki di depannya. Aco menggeleng.
”Aku
pengen kamu datang.”
”Nggak
mungkin.” Aco menggeleng. Ratih kembali menangis tersedu-sedu hingga fajar
tiba.
Sejak hari
itu, Aco berusaha untuk ikhlas. Ia merasa tak terima, tetapi tak punya kuasa
untuk merebut kembali kekasihnya itu. Ia belum siap, banyak yang perlu ia
selesaikan. Menikah bukan prioritasnya kali ini.
Beberapa
hari kemudian kekasihnya itu menghubunginya, seperti tak ada apa-apa. Membiarkan
nama Aco tertulis di profil BBMnya, seakan mereka masih sepasang. Ratih memberinya
kabar, bertanya kabar, masih merayu dan melempar rindu.
”Ahhh taik.” Aco marah kepada
dirinya yang masih saja goyah. Ia jawab setiap pertanyaan, ia panggil juga Ratih dengan
sebutan sayang, ia pun memberikan perhatian, semua itu masih ia lakukan dengan
sadar. Lalu sejurus kemudian ia menyesal saat ingat kekasihnya itu sudah
dilamar. Tetapi ia pun tak punya keyakinan untuk mengabaikan perempuan itu. Ia
lemah saat berurusan dengan Ratih.
Tetapi, akhir-akhir
ini, Aco mulai tak menjawab panggilan Ratih. Jika pun ia perlu menjawab, itu
hanya saat panggilannya sudah mulai berpuluh-puluh kali, dan Aco merasa perlu
untuk menenangkan gadis itu. Ia memberi alasan entah pekerjaan atau hal yang
lain yang menyebabkannya tak bisa membalas pesan. Aco sedang disibukkan hal
yang lain. Ratih mulai tak lagi punya pengaruh. Pikirannya teralihkan, pun
dengan hatinya. Akhir-akhir ini Aco seperti punya semangat baru untuk memulai
hidup.
**
Sejak
mengenal Aco, malam Elok tak lagi sama. Ia sering melamun, terngiang-ngiang
suara Aco, terbayang-bayang matanya bulat. Bagi Elok, jika jatuh cinta pada
pandangan pertama adalah mitos, maka sepertinya Aco adalah pengecualian. Elok
bahkan tak lagi terganggu saat Gardana berhari-hari tanpa kabar. Ia justru
lebih ingin menghabiskan malamnya dengan berdiam diri. Merenungkan interaksinya
hari ini dengan Aco, mengarsipkan semuanya dalam memori dan membuat hatinya
berbunga-bunga hingga tertidur. Sayangnya, Aco tak sekalipun mengirimi ia
pesan. Mereka hanya bersama saat bertemu di kantor, atau membuat janji temu
dengan Afif, semua secara tidak disengaja.
Gardana
memanggil.
”Halo.”
”Kamu
lagi apa?”
”Nggak
ada, santai. Kenapa?”
”Aku mau
kita break dulu.”
”Kenapa?”
Elok bingung.
”Aku
nggak bisa LDR.” Hening, Elok tak bisa menjawab.
”Aku
juga pengen fokus tugas akhir.”
”Oke.” Elok
menjawab dengan lemas. Tak banyak basa-basi, mereka menutup panggilan itu. Malam
itu Elok menangis, tetapi tangisan itu seperti hanya formalitas saja, agar ia
tidak merasa bersalah pada Gardana. Ia harus bersedih saat berpisah, itu yang
Elok pikirkan. Walaupun Gardana tak meminta benar-benar berpisah. Break?
Istilah apa lagi? Apa ini hanya semacam cara baru untuk meminta putus? Atau
apa? Elok menerima itu, bahkan seperti merasa lega.
**
Sore
itu, saat jam kantor berakhir. Elok tak sengaja bertemu Aco di parkiran. Mereka
saling menyapa, tapi canggung. Sepulang dari Samarinda minggu lalu, mereka
memang menjadi lebih berjarak. Apalagi saat ini Afif sedang tugas di luar kota,
makinlah mereka tak punya alasan untuk bertemu.
”Malam
ini sibuk?” Aco bertanya sembari memasang helm.
”Kenapa?”
Elok bertanya balik.
”Mie ayam yuk!” Aco sambil tersenyum,
Elok gugup.
“Boleh.” Tak
bisa Elok sembunyikan perasaan senangnya.
”Pin BBM.”
Aco mengeluarkan ponselnya.
”BR91G26.
Elok menyebutkan pinnya.
”Oke nanti kukabarin.” Aco
lalu melajukan motornya. Sedang Elok masih terpaku disana, jantungnya berdegup
kencang, tak bisa ia kendalikan rasa senangnya. Hilang sudah kesedihan putus
dari Gardana. Ia bertekad melupakan lelaki itu.
**
Selepas
isya, Elok mondar-mandir di kamar. Berkali-kali ia mengecek ponselnya. Belum
ada permintaan pertemanan. Ia gelisah sekaligus senang, perasaannya berdebar
hebat seperti hendak dapat doorprize. Ia lalu berpikir, jangan-jangan pin yang
ia sebutkan salah. Lalu ia bersedih kemudian. Lama ia menunggu hingga akhirnya
pesan masuk.
”A. Zidane is inviting you.” Elok melompat
kegirangan, ia menghempaskan tubuhkan ke kasur dan membenamkan wajahnya sambil
berteriak. Ia bergegas menerima permintaan itu, lalu menunggu pesan masuk.
”PING!”
”Iya.”
Hanya berselang sedetik Elok langsung membalas.
”Jadi?”
”Ok.”
”Kujemput?”
”Boleh.”
”OTW.”
”Ok.” Elok
melompat dari kasur menuju lemari, ia bergegas mencari pakaian dan berdandan
kilat. Ia tak ingin terlihat berlebihan, tetapi juga tak ingin terlihat buruk,
ia mencoba sebaik mungkin agar tampak manusiawi di depan Aco.
Aco
berdiri di depan pintu menunggu Elok selesai Bersiap, Elok membuka pintu dan
melihat lelaki yang mencuri isi kepalanya akhir-akhir ini muncul di depannya. Isi
perutnya seperti ingin keluar, ia mulas, sekaligus gugup, debar yang tak bisa
dijelaskan. Mengapa bisa sekilat ini ia melupakan Gardana? Mengapa semudah ini
ia jatuh cinta? Mengapa harus Aco?
**
Afif
masih lama bertugas di luar, Elok dan Aco lebih banyak menghabiskan waktu
berdua. Mereka dekat, hingga cerita Ratih dan Gardana bebas menjadi bahan
obrolan sehari-hari. Aco yang senang Elok sudah putus. Elok yang lega Aco tak
lagi dengan Ratih. Keduanya merasa dipertemukan takdir, hingga mereka merasa
saling cocok dan ingin berkomitmen, ada satu hal lagi yang mengganjal di hati
masing-masing.
Malam
itu di sebuah rumah makan padang.
”Break? Itu bener-bener putus?” Aco
bertanya sekali lagi.
“Apalagi?” Elok menjawab santai.
“Kok dia masih ngechat?” Aco
melihat notifikasi dari ponsel Elok, pesan Line dari Gardana. Elok menghela
nafas, ia merasakan keragu-raguan Aco.
”Boleh
kukasih tau dia tentang kamu?” Elok melihat dalam ke arah Aco. Aco mengangguk.
”Kita
sudah putus beneran kan?” Elok mengirim balasan itu pada pesan bertuliskan
kangen milik Gardana.
”Kenapa
tiba-tiba nanya itu?” Gardana menjawab. Elok membaca itu dengan perasaan gugup.
Lalu ia membalas. ”Aku dekat dengan orang disini.” Setelah mengirim pesan itu,
Elok merasa berat. Entah mengapa ia sedih menuliskan itu. Apakah ini memang
artinya hubungannya dengan Gardana selama ini benar-benar selesai? Karena Aco?
Orang yang baru ia kenal? Lama Elok menunggu Gardana membalas, hingga balasan
yang ia baca berikutnya membuatnya tangisnya pecah. Ia menangis sejadi-jadinya.
Ada memori terputar ulang di kepalanya, banyak momen bersama Gardana yang
membuat ia seperti terluka. Aco melihat itu dengan sedikit kecewa.
”Kamu
nggak ikhlas?” Aco memegang tangan Elok. Elok tak menjawab dan makin terisak.
”Mau pulang?” Dengan lembut
Aco menawarkan.” Elok mengangguk. Mereka pulang sebelum semua makanan habis.
Aco merasa kurang nyaman melihat Elok menangis disana.
Malam
itu, Elok dan Aco tak banyak bicara. Mereka kembali ke kost masing-masing
dengan ganjalan di benak masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar