Senin, 17 Maret 2025

9

 

            Aco di mata Elok seperti lelaki sempurna yang tak ada celahnya, kekurangannya pun bagi Elok tetap membuatnya suka. Elok yang dimabuk cinta itu menghabiskan hampir seluruh waktunya kecuali mandi dan tidur, untuk memikirkan atau bertemu Aco. Aco ada dalam semua hal yang ingin ia lakukan sepanjang hari. Dari bangun tidur hingga kembali tidur, Elok tak luput merawat Aco dalam kepalanya. Hanya ada Aco, titik. Ia bisa bersuka walaupun kiriman uang ke orang rumah harus lebih banyak bulan ini, tak masalah. Elok bisa menghadapi dunia ini dengan uang pas-pasan, asalkan ada Aco di dalamnya. Ia seringkali melamun sendirian, dan kemudian tertawa kegirangan, tak berselang lama ia bisa menangis terharu, ia lalu bertanya pada dirinya sendiri, apa ia memang benar-benar sebahagia itu? Aco seperti menyodorkan buku kosong ke kehidupan Elok, membuat Elok dengan sukarela mengisinya dengan berjuta puisi, Elok jatuh cinta.

            Sejak kecil Elok terbiasa menulis buku harian, ia senang menyisihkan uang jajannya untuk sebuah buku atau binder yang bisa ia isi cerita-cerita sehari-hari atau tempat ia berkeluh kesah. Elok senang menulis, bahkan ia ingin jadi penulis.

            Saat itu di tahun 2004, perpisahan kakak kelas 6. Elok diminta Pak Pram untuk membacakan puisi dari adik kelas yang ditinggalkan. Pak Pram memanggil Elok ke ruang guru.

            ”Kamu salin ini ya, nanti bacakan di hari H.” Pak Pram menunjuk 1 halaman puisi yang akan dibawakan Elok. Elok mengangguk patuh, dan membawa buku itu ke kelas untuk disalin. Sebelum sempat menyalin, Elok membuka halaman lain di buku itu. Buku yang sepertinya tidak muda lagi. September 1993, 11 tahun lalu. Mata Elok berbinar-binar melihat buku itu. Ia takjub dengan bagaimana Pak Pram menuliskan setiap lembar demi lembar. Buku itu bukanlah buku catatan biasa, di dalamnya seperti sepaket surat cinta untuk seseorang, isinya amat puitis. Elok yang masih 10 tahun pun bahkan tahu ini bukan hanya ditulis dengan pena, tetapi juga sepenuh hati, dalam sekali.

            Yuni, nama yang beberapa kali muncul di buku itu. Elok menduga Yuni adalah mantan kekasih Pak Pram, karena istri Pak Pram bernama Siti. Elok terbayang bagaimana tragisnya kisah cinta Pak Pram jika benar demikian. Saat ia masih terpaku pada beberapa lembar halamannya, Pak Pram masuk ke kelas dan memulai pelajaran. Setelah pelajaran usai, Pak Pram meminta Elok menyelesaikan salinannya dan membawa kembali buku itu. Elok sedikit kecewa, ia masih ingin membaca lembar demi lembar di buku itu lebih lama.

 

**

 

            Tahun berikutnya, saat perpisahan Elok, ia menawarkan diri kepada Pak Pram untuk membacakan puisi perpisahan, puisi dari kakak kelas yang meninggalkan sekolah, Pak Pram mengiyakan. Sebelum hari latihan, Elok sudah berdebar membayangkan ia akan bertemu kembali dengan buku Pak Pram, buku yang sudah membuat ia tak tenang setahun terakhir, bisa-bisa ia mati penasaran sebelum sempat membaca semua isi yang ada di buku itu. Saat tiba di sekolah, Elok sudah langsung berinisiatif mendatangi Pak Pram di ruang guru. Saat Elok tiba, Pak Pram sudah siap dengan buku di atas meja. Elok bersorak dalam hati.

            ”Mau ambil puisi pak.”

            ”Oh iya.” Pak Pram berdiri, berjalan ke arah mesin fotokopi, mengambil selembar kertas dan menyerahkan ke Elok.

            ”Ini ya, kamu bawa aja, biar ada banyak waktu menghafal.” Kata Pak Pram. Elok kecewa, tubuhnya terkulai, ia mendadak sulit bernafas, penantiannya selama setahun sia-sia, pupus. Sejak saat itu Elok bertekad, ia ingin menulis bukunya sendiri, ia ingin menulis tentang seseorang dengan romantis, sebagaimana Pak Pram menulis tentang Yuni.

Nama Aco seperti tokoh dongeng yang hampir setiap halaman muncul dalam buku harian Elok. Seperti ingin jatuh cinta selamanya, Elok mempersiapkan banyak hal untuk mengabadikan Aco dalam sejarahnya. Ia ingin menciptakan Yuni yang lain dalam bukunya sendiri. Ia ingin kelak ada yang membaca buku itu, menjadi saksi bagaimana seorang manusia bisa merasa sedemikian berbunga.

 

**

 

Balikpapan, 23 May 2014.

 

Aku merenung sambil membuka jendela kamar, kubiarkan angin kecil yang hangat menyapu wajahku. Kupikirkan bagaimana aku bisa seberuntung ini. Apa yang sudah pernah kulakukan di masa lalu hingga Tuhan dengan berbaik hati menghadiahkan kamu?

 

            Elok hanyut dalam tulisannya, ia terhenti di kalimat tanya itu. Hatinya menghangat, perutnya terasa mual, jantungnya berdebar seperti hendak berlarian, hingga rasa haru membuat ia menangis. Terus saja itu yang terjadi sepanjang malam usai menulis.

            Pesan masuk ke BBM Elok.

            ”Udah mau tidur?”

            ”Udah, kamu?” Elok membalasnya.

            ”Belum, kamu udah isi botol minum?”

            ”Belum, besok aja.”

            ”Isi sekarang.”

            ”Iya.” Elok berdiri usai membaca pesan itu, ia meraih botol dan keluar hendak menuju dispenser. Kosong. Air habis. Sementara penjaga kost tak terlihat saat itu. Elok berinisiatif keluar untuk membeli air minum.

            Sepulang dari minimarket, Elok melihat sesosok lelaki yang ia kenal berdiri di depan pagar kostnya. Membawa 2 botol air mineral ukuran besar lelaki itu tampak menelpon seseorang. Saat lelaki itu berbalik, Elok langsung tersenyum lebar. Lelaki itu tampak kaget melihat Elok, lalu menyodorkan apa yang ia bawa.

            ”Aku udah beli.” Elok tersipu-sipu sata mengatakan itu.

            ”Pinter.” Aco mengusap-usap kepala Elok.

            ”Aku balik ya.” Aco pamit. Elok mengangguk.

            ”Hati-hati.” Elok merasa berdebar saat itu. Pergerakan Aco seperti di luar perkiraannya. Semua tiba-tiba, tetapi hatinya mudah sekali merasa istimewa.

 

**

 

            Pagi itu suasana kantor sedang ramai. Semua tampak terburu-buru seperti di kejar sesuatu. Elok tak luput dari itu. Beberapa orang sudah memintanya melakukan banyak hal sepagi ini. Ia cukup kewalahan. Sampai akhirnya Bu Santi memintanya meninggalkan pekerjaan lainnya untuk fokus membuat salinan data untuk bahan meeting dengan Chief.

            ”Ini tolong disesuaikan dengan yang kuemail ya.” Bu Santi hanya berpesan itu. Elok lalu sibuk fokus mengerjakan perintah Bu Santi. Ia memilah file-file yang perlu diprint dan difotokopi.

            Saat sudah tiba di depan mesin fotokopi, tiba-tiba ada yang memanggil namanya pelan.

            ”El, El.” Elok menoleh, dan ada Aco disana. Elok tersenyum.

            ”El.” Kini setengah berbisik namun nama Elok terdengar lebih jelas. Elok kembali menoleh. Aco memutar layar laptopnya, dan menunjukkan sebuah tulisan besar di excel.

            I LOVE U

            Elok seketika membalikkan badannya kembali, ia pun melihat sekeliling. Ada perasaan takut orang lain melihat, tetapi juga ingin membaca tulisan itu lebih lama. Ia merasa itu bukan hanya sekadar tulisan. Ia tak hanya membacanya. Ia seperti mengamini tulisan itu, seperti sebuah doa. Aco kembali memanggilnya.

            ”El.” Saat Elok berbalik, Aco sedang menatapnya. Mata bulat lelaki itu tampak berbinar-binar, setengah basah seperti ingin menangis, ada harus dalam tatapan itu, tatapan dalam yang membuat Elok terbang lagi dan lagi.

Antara senang dan malu, Elok menghardik dirinya sendiri. Ia geli dengan apa yang dilakukan kekasihnya itu, tetapi juga senang bukan kepalang. Di tengah kesibukannya pagi ini, ada seseorang yang membuat hatinya berdebar. Ia benar-benar dibuat jatuh cinta setiap hari.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts