Aco di mata Elok seperti lelaki
sempurna yang tak ada celahnya, kekurangannya pun bagi Elok tetap membuatnya
suka. Elok yang dimabuk cinta itu menghabiskan hampir seluruh waktunya kecuali
mandi dan tidur, untuk memikirkan atau bertemu Aco. Aco ada dalam
semua hal yang ingin ia lakukan sepanjang hari. Dari bangun tidur hingga
kembali tidur, Elok tak luput merawat Aco dalam kepalanya. Hanya ada Aco,
titik. Ia bisa bersuka walaupun kiriman uang ke orang rumah harus lebih banyak
bulan ini, tak masalah. Elok bisa menghadapi dunia ini dengan uang pas-pasan,
asalkan ada Aco di dalamnya. Ia seringkali melamun sendirian, dan kemudian
tertawa kegirangan, tak berselang lama ia bisa menangis terharu, ia lalu
bertanya pada dirinya sendiri, apa ia memang benar-benar sebahagia itu? Aco seperti
menyodorkan buku kosong ke kehidupan Elok, membuat Elok dengan sukarela
mengisinya dengan berjuta puisi, Elok jatuh cinta.
Sejak
kecil Elok terbiasa menulis buku harian, ia senang menyisihkan uang jajannya
untuk sebuah buku atau binder yang bisa ia isi cerita-cerita sehari-hari atau
tempat ia berkeluh kesah. Elok senang menulis, bahkan ia ingin jadi penulis.
Saat itu
di tahun 2004, perpisahan kakak kelas 6. Elok diminta Pak Pram untuk membacakan
puisi dari adik kelas yang ditinggalkan. Pak Pram memanggil Elok ke ruang guru.
”Kamu
salin ini ya, nanti bacakan di hari H.” Pak Pram menunjuk 1 halaman puisi yang
akan dibawakan Elok. Elok mengangguk patuh, dan membawa buku itu ke kelas untuk
disalin. Sebelum sempat menyalin, Elok membuka halaman lain di buku itu. Buku
yang sepertinya tidak muda lagi. September 1993, 11 tahun lalu. Mata Elok
berbinar-binar melihat buku itu. Ia takjub dengan bagaimana Pak Pram menuliskan
setiap lembar demi lembar. Buku itu bukanlah buku catatan biasa, di dalamnya
seperti sepaket surat cinta untuk seseorang, isinya amat puitis. Elok yang
masih 10 tahun pun bahkan tahu ini bukan hanya ditulis dengan pena, tetapi juga
sepenuh hati, dalam sekali.
Yuni,
nama yang beberapa kali muncul di buku itu. Elok menduga Yuni adalah mantan
kekasih Pak Pram, karena istri Pak Pram bernama Siti. Elok terbayang bagaimana
tragisnya kisah cinta Pak Pram jika benar demikian. Saat ia masih terpaku pada
beberapa lembar halamannya, Pak Pram masuk ke kelas dan memulai pelajaran.
Setelah pelajaran usai, Pak Pram meminta Elok menyelesaikan salinannya dan
membawa kembali buku itu. Elok sedikit kecewa, ia masih ingin membaca lembar
demi lembar di buku itu lebih lama.
**
Tahun
berikutnya, saat perpisahan Elok, ia menawarkan diri kepada Pak Pram untuk
membacakan puisi perpisahan, puisi dari kakak kelas yang meninggalkan sekolah,
Pak Pram mengiyakan. Sebelum hari latihan, Elok sudah berdebar membayangkan ia
akan bertemu kembali dengan buku Pak Pram, buku yang sudah membuat ia tak
tenang setahun terakhir, bisa-bisa ia mati penasaran sebelum sempat membaca
semua isi yang ada di buku itu. Saat tiba di sekolah, Elok sudah langsung
berinisiatif mendatangi Pak Pram di ruang guru. Saat Elok tiba, Pak Pram sudah
siap dengan buku di atas meja. Elok bersorak dalam hati.
”Mau
ambil puisi pak.”
”Oh
iya.” Pak Pram berdiri, berjalan ke arah mesin fotokopi, mengambil selembar
kertas dan menyerahkan ke Elok.
”Ini ya,
kamu bawa aja, biar ada banyak waktu menghafal.” Kata Pak Pram. Elok kecewa,
tubuhnya terkulai, ia mendadak sulit bernafas, penantiannya selama setahun
sia-sia, pupus. Sejak saat itu Elok bertekad, ia ingin menulis bukunya sendiri,
ia ingin menulis tentang seseorang dengan romantis, sebagaimana Pak Pram
menulis tentang Yuni.
Nama Aco seperti tokoh dongeng
yang hampir setiap halaman muncul dalam buku harian Elok. Seperti ingin jatuh
cinta selamanya, Elok mempersiapkan banyak hal untuk mengabadikan Aco dalam
sejarahnya. Ia ingin menciptakan Yuni yang lain dalam bukunya sendiri. Ia ingin
kelak ada yang membaca buku itu, menjadi saksi bagaimana seorang manusia bisa
merasa sedemikian berbunga.
**
Balikpapan, 23 May 2014.
Aku merenung sambil membuka jendela kamar, kubiarkan
angin kecil yang hangat menyapu wajahku. Kupikirkan bagaimana aku bisa
seberuntung ini. Apa yang sudah pernah kulakukan di masa lalu hingga Tuhan
dengan berbaik hati menghadiahkan kamu?
Elok
hanyut dalam tulisannya, ia terhenti di kalimat tanya itu. Hatinya menghangat,
perutnya terasa mual, jantungnya berdebar seperti hendak berlarian, hingga rasa
haru membuat ia menangis. Terus saja itu yang terjadi sepanjang malam usai
menulis.
Pesan
masuk ke BBM Elok.
”Udah
mau tidur?”
”Udah,
kamu?” Elok membalasnya.
”Belum,
kamu udah isi botol minum?”
”Belum,
besok aja.”
”Isi
sekarang.”
”Iya.”
Elok berdiri usai membaca pesan itu, ia meraih botol dan keluar hendak menuju
dispenser. Kosong. Air habis. Sementara penjaga kost tak terlihat saat itu.
Elok berinisiatif keluar untuk membeli air minum.
Sepulang
dari minimarket, Elok melihat sesosok lelaki yang ia kenal berdiri di depan
pagar kostnya. Membawa 2 botol air mineral ukuran besar lelaki itu tampak
menelpon seseorang. Saat lelaki itu berbalik, Elok langsung tersenyum lebar.
Lelaki itu tampak kaget melihat Elok, lalu menyodorkan apa yang ia bawa.
”Aku
udah beli.” Elok tersipu-sipu sata mengatakan itu.
”Pinter.”
Aco mengusap-usap kepala Elok.
”Aku
balik ya.” Aco pamit. Elok mengangguk.
”Hati-hati.”
Elok merasa berdebar saat itu. Pergerakan Aco seperti di luar perkiraannya.
Semua tiba-tiba, tetapi hatinya mudah sekali merasa istimewa.
**
Pagi itu
suasana kantor sedang ramai. Semua tampak terburu-buru seperti di kejar
sesuatu. Elok tak luput dari itu. Beberapa orang sudah memintanya melakukan
banyak hal sepagi ini. Ia cukup kewalahan. Sampai akhirnya Bu Santi memintanya
meninggalkan pekerjaan lainnya untuk fokus membuat salinan data untuk bahan
meeting dengan Chief.
”Ini
tolong disesuaikan dengan yang kuemail ya.” Bu Santi hanya berpesan itu. Elok
lalu sibuk fokus mengerjakan perintah Bu Santi. Ia memilah file-file yang perlu
diprint dan difotokopi.
Saat
sudah tiba di depan mesin fotokopi, tiba-tiba ada yang memanggil namanya pelan.
”El, El.”
Elok menoleh, dan ada Aco disana. Elok tersenyum.
”El.”
Kini setengah berbisik namun nama Elok terdengar lebih jelas. Elok kembali
menoleh. Aco memutar layar laptopnya, dan menunjukkan sebuah tulisan besar di
excel.
I LOVE U
Elok
seketika membalikkan badannya kembali, ia pun melihat sekeliling. Ada perasaan
takut orang lain melihat, tetapi juga ingin membaca tulisan itu lebih lama. Ia
merasa itu bukan hanya sekadar tulisan. Ia tak hanya membacanya. Ia seperti
mengamini tulisan itu, seperti sebuah doa. Aco kembali memanggilnya.
”El.”
Saat Elok berbalik, Aco sedang menatapnya. Mata bulat lelaki itu tampak
berbinar-binar, setengah basah seperti ingin menangis, ada harus dalam tatapan
itu, tatapan dalam yang membuat Elok terbang lagi dan lagi.
Antara senang dan malu, Elok
menghardik dirinya sendiri. Ia geli dengan apa yang dilakukan kekasihnya itu,
tetapi juga senang bukan kepalang. Di tengah kesibukannya pagi ini, ada
seseorang yang membuat hatinya berdebar. Ia benar-benar dibuat jatuh cinta
setiap hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar