Selasa, 01 April 2025

13

 

Karyawan baru, pasangan  baru, bahan baru, rumor baru, semangat baru.

Seisi Main Office kini tengah ramai dengan konspirasi bolosnya 2 karyawan yang diduga tengah pergi berdua. Pembawa kabar pertama adalah Daniel, dan yang lainnya adalah Iyan. Daniel dan Iyan antusias memimpin sebuah rapat ghibah yang dihelat di meja kantin sepanjang coffee break. Dijamu seceret kopi dan sepiring kacang kulit, meja itu menjadi menarik bagi siapapun yang melintas. Agendanya jelas, Elok dan Aco. Beberapa dari mereka pada akhirnya bertaruh.

“100 ribu pertama mereka nggak pacaran. Aku kenal cowoknya Elok soalnya.” Dharma, teman  SMP Gardana saat di Bontang.

“100 ribu kedua mereka pergi berdua tapi nggak pacaran. Karena memang setau aku Aco punya pacar.” Kailani, orang yang cukup dekat dengan Aco.

“200 ribu mereka pacaran tapi bakal putus kurang dari 3 bulan.” Iyan bersemangat.

“Jahat lu yan.” Tigor mesam-mesem dengan taruhan Iyan.

“Aku yakin Aco nggak mungkin serius. Dan Elok juga kayaknya agak nggak beres nggak sih?” Iyan menambahkan.

“500 ribu mereka pacaran tapi akan backstreet beberapa saat dan akan cukup langgeng.” Daniel dengan cukup yakin.

Disusul taruhan-taruhan dari orang-orang lainnya yang juga tak kalah antusias dengan setiap kemungkinan-kemungkinan yang ditulis detail di catatan milik Daniel. Mereka bubar ketika bel tanda coffee break berakhir berbunyi.

Dharma dan Tigor masih belum puas dengan hasil rapat ghibah plus pertaruhan tadi karena ditutup sebelum beberapa hal ia rasa clear.

“Gor, ngerasa aneh nggak sih?”

“Aneh gimana?”

“Elok kalau sampai beneran dia sama Aco parah sih. Kamu ngerti kan maksudku?” Dharma yang merupakan kawan lama Gardana  masih belum terima dengan kemungkinan itu. Tigor mengangguk.

“Tipe Elok juga biasanya yang alim, baik, kalem.”

“Maksudmu Rumi?”

“Ya setipe Rumi. Sedangkan Aco?” Walaupun sebenarnya yang Dharma maksud adalah Gardana. Dharma melihat ke arah Tigor, mereka seolah berada di pemikiran yang sama. Bukan rahasia lagi, sebelum Elok menginjakkan kaki di kota ini, tersiar kabar bahwa Elok pernah dekat dengan Rumi. Entah darimana kabarnya.

“Ya kan?”

“Iya juga sih.” Tigor setuju dengan isi kepala Dharma yang bahkan tak perlu ia ungkapkan dengan kata-kata.

*

 

Di sisi lain di dalam office, beberapa ibu-ibu sedang berkumpul di depan sebuah meja yang di atasnya bercokol sebuah nampan berisi buah-buahan dan sambal rujak. Sulit dihindari, itu situasi paling menarik ghibah lain yang tentu saja versi ibu-ibu.

“Korban selanjutnya nggak sih?” Emma dengan antusias.

“Setelah gagal dapetin kamu kan?” Jeni menyahut sembari mengunyah mangga muda di mulutnya.

“Kamu sempat juga ma?” Safira bertanya kaget.

“Dipepet terus, sampai jijik sendiri.” Emma memperlihatkan ekspresi geli.

“Sama aku juga gitu.” Safira menambahkan. Jeni dan Emma kompak melihat ke arah Safira.

“Iya, beneran. Ngechat gombal-gombal dan sekalian saja kuberitahu Mas Juan.”

“Gila ya, padahal Mas Juan kan bosnya.” Jeni menggeleng-geleng.

“Nah itu dia. Memang agak sakit sih kayaknya.” Nona pun spontan mengalihkan ingatannya beberapa waktu silam saat Aco juga merayunya dengan modus serupa. Beruntungnya saat itu ia gesit memberitahu Dharma dan langsung dibentengi kekasihnya itu dengan berbagai macam petuah-petuah dan nasihat yang akhirnya membuat Nona tak perlu membuang banyak tenaga meladeni sikap sok kecakepannya Aco.

“Aku jamin Elok bakal ditinggal kok.”

“Iya, paling juga Aco cuma coba-coba.”

“Elok bilang dia punya pacar kok. Memang sama-sama aneh sih kayaknya.”

“Ya cocok sudah.” Yang satu main-main, yang satu pun sama.

“Biarin lah, nanti juga kena batunya.”

 

**

            Udara panas hari itu dilawan dengan semangkuk pisang  ijo dan seporsi coto plus iga bakar di sebuah warung makan. Sepanjang turun dari angkot, Aco enggan melepaskan genggamannya dari tangan Elok. Satu hal yang paling Elok suka adalah ini, sentuhan. Ia merasa ketika kekasihnya melakukannya di tempat umum menandakan ada sebuah deklarasi bahwa perempuan ini adalah milikku dan bagi Elok itu penting.

“Suka?” Aco mendapati Elok senyum-senyum sendiri saat Aco semakin kuat memegang tangannya. Elok mengangguk merespon itu.

“Sesuka itu sama aku?” Elok kembali mengangguk. Aco tersenyum lebar seolah menikmati jawaban-jawaban Elok.

“Aku nggak pernah kenal perempuan seceria kamu.” Itu yang meluncur dari mulut Aco kala itu.

*

Kabar kepergian mereka berdua tersiar cepat hingga sampai ke telinga Ratih, entah darimana asalnya. Yang jelas kebersamaan Aco dengan perempuan lain sebelum mereka benar-benar berpisah membawa awan hitam bahkah petir bagi Ratih.

“Nggak bisa banget ya kamu tunggu sebentar lagi?”

“Kenapa harus kamu pamer-pamerin di depan orang lain?”

“Agustus itu nggak lama.”

Berkali-kali Ratih mencoba menghubungi Aco, namun tak jua ia mendapat jawaban. Ketika kekesalan membuncah, keluarlah kalimat-kalimat tidak perlu yang bertujuan menyakiti hati Aco.

“Aku nyesel transferin kamu uang, aku pikir niatmu pergi untuk keluargamu, tapi malah sama cewek lain. Kamu seniat itu ya mau langsung move on?”

Tak jua pesan itu mendapat tanggapan, sementara Ratih menangis sejadi-jadinya. Ada ego yang terlukai, ego harusnya ia yang move on terlebih dahulu, karena ia yang lebih siap dengan perpisahan ini.

Saat sudah kelelahan menangis, Ratih tertidur dengan mata sembab. Ia tiba-tiba terbangun dengan nada pesan yang memang sengaja ia setting cukup nyaring. Pesan dari Aco.

“Nggak kok, dia cuma mau bareng aja kesini. Bukan siapa-siapa. Dusta yang sedikit menenangkan Ratih.

**

Bersama dengan sanak keluarga, Nurdin datang mengunjungi Ratih malam itu. Membawakan sebuah tiket dan bukti pemesanan travel agent, ia dengan sumringah menyampaikan tempat bulan madu mereka. Menceritakan rinci tempat tujuan hingga hal-hal seru yang bisa mereka habiskan. Ratih yang tengah menunggu telpon dari Aco menanggapi Nurdin dengan seadanya. Ia tak begitu antusias. Pikirannya terbagi di tempat lain.

“Kamu sehat kan?”

“Sehat, cuma agak ngantuk.”

“Mau istirahat sekarang?”

“Boleh?”

“Istirahat saja.” Nurdin beranjak dari teras dan membaur dengan keluarga lainnya di ruang tengah. Ratih bergegas ke kamar sebelum keluarga lain mencegatnya dengan banyak pertanyaan. Sayangnya, Fitri ada disana. Perempuan itu mengekori Ratih ke kamarnya dan berusaha membaca situasi.

“Sampai kapan de?”

“Kamu sudah mau menikah.”

“Masih mau ingat-ingat si kampret itu?”

Ratih menggeleng, tatapannya kosong, ia merebahkan diri sebelum matanya memanas dan menangis. Ia menangisi entah apa. Hatinya sedih, terlebih melihat Nurdin yang berlaku teramat baik. Sedang dalam kepalanya masihlah menyimpan Aco, Aco, Aco yang tak pernah melakukan apapun saat ia akan dijodohkan.

"Kenapa dia nggak mau sedikit berusaha kak?”

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts