Karyawan
baru, pasangan baru, bahan baru, rumor
baru, semangat baru.
Seisi
Main Office kini tengah ramai dengan konspirasi bolosnya 2 karyawan yang diduga
tengah pergi berdua. Pembawa kabar pertama adalah Daniel, dan yang lainnya
adalah Iyan. Daniel dan Iyan antusias memimpin sebuah rapat ghibah yang dihelat
di meja kantin sepanjang coffee break. Dijamu seceret kopi dan sepiring kacang
kulit, meja itu menjadi menarik bagi siapapun yang melintas. Agendanya jelas, Elok
dan Aco. Beberapa dari mereka pada akhirnya bertaruh.
“100
ribu pertama mereka nggak pacaran. Aku kenal cowoknya Elok soalnya.” Dharma,
teman SMP Gardana saat di Bontang.
“100
ribu kedua mereka pergi berdua tapi nggak pacaran. Karena memang setau aku Aco
punya pacar.” Kailani, orang yang cukup dekat dengan Aco.
“200
ribu mereka pacaran tapi bakal putus kurang dari 3 bulan.” Iyan bersemangat.
“Jahat
lu yan.” Tigor mesam-mesem dengan taruhan Iyan.
“Aku
yakin Aco nggak mungkin serius. Dan Elok juga kayaknya agak nggak beres nggak
sih?” Iyan menambahkan.
“500
ribu mereka pacaran tapi akan backstreet beberapa saat dan akan cukup
langgeng.” Daniel dengan cukup yakin.
Disusul
taruhan-taruhan dari orang-orang lainnya yang juga tak kalah antusias dengan
setiap kemungkinan-kemungkinan yang ditulis detail di catatan milik Daniel.
Mereka bubar ketika bel tanda coffee break berakhir berbunyi.
Dharma
dan Tigor masih belum puas dengan hasil rapat ghibah plus pertaruhan tadi
karena ditutup sebelum beberapa hal ia rasa clear.
“Gor,
ngerasa aneh nggak sih?”
“Aneh
gimana?”
“Elok
kalau sampai beneran dia sama Aco parah sih. Kamu ngerti kan maksudku?” Dharma
yang merupakan kawan lama Gardana masih
belum terima dengan kemungkinan itu. Tigor mengangguk.
“Tipe
Elok juga biasanya yang alim, baik, kalem.”
“Maksudmu
Rumi?”
“Ya
setipe Rumi. Sedangkan Aco?” Walaupun sebenarnya yang Dharma maksud adalah Gardana.
Dharma melihat ke arah Tigor, mereka seolah berada di pemikiran yang sama.
Bukan rahasia lagi, sebelum Elok menginjakkan kaki di kota ini, tersiar kabar
bahwa Elok pernah dekat dengan Rumi. Entah darimana kabarnya.
“Ya
kan?”
“Iya
juga sih.” Tigor setuju dengan isi kepala Dharma yang bahkan tak perlu ia
ungkapkan dengan kata-kata.
*
Di
sisi lain di dalam office, beberapa ibu-ibu sedang berkumpul di depan sebuah
meja yang di atasnya bercokol sebuah nampan berisi buah-buahan dan sambal
rujak. Sulit dihindari, itu situasi paling menarik ghibah lain yang tentu saja
versi ibu-ibu.
“Korban
selanjutnya nggak sih?” Emma dengan antusias.
“Setelah
gagal dapetin kamu kan?” Jeni menyahut sembari mengunyah mangga muda di
mulutnya.
“Kamu
sempat juga ma?” Safira bertanya kaget.
“Dipepet
terus, sampai jijik sendiri.” Emma memperlihatkan ekspresi geli.
“Sama
aku juga gitu.” Safira menambahkan. Jeni dan Emma kompak melihat ke arah Safira.
“Iya,
beneran. Ngechat gombal-gombal dan sekalian saja kuberitahu Mas Juan.”
“Gila
ya, padahal Mas Juan kan bosnya.” Jeni menggeleng-geleng.
“Nah
itu dia. Memang agak sakit sih kayaknya.” Nona pun spontan mengalihkan
ingatannya beberapa waktu silam saat Aco juga merayunya dengan modus serupa.
Beruntungnya saat itu ia gesit memberitahu Dharma dan langsung dibentengi
kekasihnya itu dengan berbagai macam petuah-petuah dan nasihat yang akhirnya
membuat Nona tak perlu membuang banyak tenaga meladeni sikap sok kecakepannya Aco.
“Aku
jamin Elok bakal ditinggal kok.”
“Iya,
paling juga Aco cuma coba-coba.”
“Elok
bilang dia punya pacar kok. Memang sama-sama aneh sih kayaknya.”
“Ya
cocok sudah.” Yang satu main-main, yang satu pun sama.
“Biarin
lah, nanti juga kena batunya.”
**
Udara panas hari itu dilawan dengan
semangkuk pisang ijo dan seporsi coto
plus iga bakar di sebuah warung makan. Sepanjang turun dari angkot, Aco enggan
melepaskan genggamannya dari tangan Elok. Satu hal yang paling Elok suka adalah
ini, sentuhan. Ia merasa ketika kekasihnya melakukannya di tempat umum
menandakan ada sebuah deklarasi bahwa perempuan ini adalah milikku dan bagi
Elok itu penting.
“Suka?”
Aco mendapati Elok senyum-senyum sendiri saat Aco semakin kuat memegang
tangannya. Elok mengangguk merespon itu.
“Sesuka
itu sama aku?” Elok kembali mengangguk. Aco tersenyum lebar seolah menikmati
jawaban-jawaban Elok.
“Aku
nggak pernah kenal perempuan seceria kamu.” Itu yang meluncur dari mulut Aco
kala itu.
*
Kabar
kepergian mereka berdua tersiar cepat hingga sampai ke telinga Ratih, entah
darimana asalnya. Yang jelas kebersamaan Aco dengan perempuan lain sebelum
mereka benar-benar berpisah membawa awan hitam bahkah petir bagi Ratih.
“Nggak
bisa banget ya kamu tunggu sebentar lagi?”
“Kenapa
harus kamu pamer-pamerin di depan orang lain?”
“Agustus
itu nggak lama.”
Berkali-kali
Ratih mencoba menghubungi Aco, namun tak jua ia mendapat jawaban. Ketika
kekesalan membuncah, keluarlah kalimat-kalimat tidak perlu yang bertujuan
menyakiti hati Aco.
“Aku
nyesel transferin kamu uang, aku pikir niatmu pergi untuk keluargamu, tapi
malah sama cewek lain. Kamu seniat itu ya mau langsung move on?”
Tak
jua pesan itu mendapat tanggapan, sementara Ratih menangis sejadi-jadinya. Ada
ego yang terlukai, ego harusnya ia yang move on terlebih dahulu, karena ia yang
lebih siap dengan perpisahan ini.
Saat
sudah kelelahan menangis, Ratih tertidur dengan mata sembab. Ia tiba-tiba
terbangun dengan nada pesan yang memang sengaja ia setting cukup nyaring. Pesan
dari Aco.
“Nggak
kok, dia cuma mau bareng aja kesini. Bukan siapa-siapa. Dusta yang sedikit
menenangkan Ratih.
**
Bersama
dengan sanak keluarga, Nurdin datang mengunjungi Ratih malam itu. Membawakan
sebuah tiket dan bukti pemesanan travel agent, ia dengan sumringah menyampaikan
tempat bulan madu mereka. Menceritakan rinci tempat tujuan hingga hal-hal seru
yang bisa mereka habiskan. Ratih yang tengah menunggu telpon dari Aco
menanggapi Nurdin dengan seadanya. Ia tak begitu antusias. Pikirannya terbagi
di tempat lain.
“Kamu
sehat kan?”
“Sehat,
cuma agak ngantuk.”
“Mau
istirahat sekarang?”
“Boleh?”
“Istirahat
saja.” Nurdin beranjak dari teras dan membaur dengan keluarga lainnya di ruang
tengah. Ratih bergegas ke kamar sebelum keluarga lain mencegatnya dengan banyak
pertanyaan. Sayangnya, Fitri ada disana. Perempuan itu mengekori Ratih ke
kamarnya dan berusaha membaca situasi.
“Sampai
kapan de?”
“Kamu
sudah mau menikah.”
“Masih
mau ingat-ingat si kampret itu?”
Ratih
menggeleng, tatapannya kosong, ia merebahkan diri sebelum matanya memanas dan
menangis. Ia menangisi entah apa. Hatinya sedih, terlebih melihat Nurdin yang
berlaku teramat baik. Sedang dalam kepalanya masihlah menyimpan Aco, Aco, Aco
yang tak pernah melakukan apapun saat ia akan dijodohkan.
"Kenapa
dia nggak mau sedikit berusaha kak?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar