Jumat, 04 April 2025

14

 

            Hari jumat pada umumnya menjadi hari santai bagi hampir seluruh karyawan. Selain jam istrirahat yang cukup lama karena sholat jumat, juga karena jadwal rapat seringkali kosong di hari tersebut. Elok pun berangkat kerja dengan perasaan ringan, karena sabtu-minggu ia akan bersantai menikmati libur. Berjalan dari tempat parkir hingga naik ke ruangan Elok sengaja tetap mengenakan penyuara telinga. Musik slow mengalun membawa Elok pada perasaan damai dan relaks. Beberapa kawan yang ia jumpai di lift hanya ia sapa dengan senyum atau lambaian tangan. Tak ada satu suara pun yang ia biarkan mendistrak rasa bahagianya pagi ini, atasannya sekalipun. Elok tiba di ruangan, meletakkan tas, menyalakan komputer, kemudian ke toilet untuk merapikan rambut dan riasannya. Setelah usai ia ke pantry untuk membuat segelas kopi. Elok masih enggan melepaskan musik di telinganya, hingga Dharma menyapanya di pantry.

            ”Kapan rencana pulang El?”

            ”Pulang kemana?” Elok tersenyum.

            ”Ke Kuala.” Dharma menunjuk ke arah barat.

            ”Mungkin akhir tahun.” Elok tampak ragu-ragu.

            ”Lama banget. Nggak kangen abang?” Dharma tersenyum, Elok pun turut tersenyum, ia paham maksud kawannya itu. Sebelum Elok bekerja, Gardana pernah beberapa kali membawa Elok ke kampung halamannya, dan bertemu Dharma disana. Saat tiba di kantor ini, Elok baru sadar jika Dharma satu kantor dengannya, karena lebih seringnya Dharma tugas di luar kota.

            ”Masih kan?” Dharma memastikan. Elok menggangguk saja sembari tetap tersenyum. Ia seperti tak ingin menjawab dengan gamblang. Biar saja ini menggantung saja. Biar mereka yang menyimpulkan sendiri. Mungkin itulah yang dipikirkan Elok.

            Seperti sudah mendapatkan jawaban yang ia mau, Dharma berlalu meninggalkan pantry. Elok tiba-tiba merasakan tubuhnya lemas. Jantungnya berdegub kencang seperti tengah meluapkan rasa bersalah. Pikirannya tak jelas berlarian ke sudut-sudut kemungkinan yang ia benci. Entah mengapa.

Perasaan kacau itu tiba-tiba buyar saat Afif menelepon.

“Halo iya.”

“Bantu cek jadwal meeting sama team legal kapan El?” Dari jauh Afif terdengar terburu-buru. Elok bergegas ke mejanya.

            ”Selasa, jam 2 siang.” Setelah melihat jadwal yang ada di komputernya.

            ”Bantu re-schedule dong. Selasa ada keperluan mendadak nih.” Afif meminta pada Elok.

            ”Maunya kapan? Karena Pak Abu yang minta di hari itu.” Elok mengingat-ingat saat Pak Abu kebingungan mengatur jadwalnya dengan team legal.

            ”Pak Abu mah gampang, yang penting kan hasilnya.” Afif tetap ingin jadwal diubah. Elok patuh, ia coba menghubungi team legal dan mendapatkan jadwal sesuai keinginan Afif, mundur 2 minggu.

            “Oke sudah aman.” Elok mengakhiri telepon.

            ”Siapa?” Aco sudah berdiri di hadapan Elok dan menanyakan yang ia telepon.

            ”Afif.” Elok menjawab sambil menutup ponselnya.

            ”Ngapain dia?” Aco bertanya lagi dengan nada yang membuat Elok kurang nyaman.

            ”Minta bantu re-schedule meeting doang.” Elok menjawab dingin.

            “Kok ke kamu, kan bisa ke adminnya.” Pertanyaan Aco mulai intimidatif. Elok tak bisa menjawab lagi.

            “Lain kali arahin ke Dinda aja, jangan kamu yang kerjain.” Aco mengucapkan itu dengan penuh penekanan, lalu meninggalkan meja Elok dan berjalan menuju toilet. Elok masih tak memahami situasi yang baru terjadi. Ia seakan ditegur untuk hal yang bukan kesalahannya. Tetapi ia tak punya jawaban untuk membela diri. Tetapi ia juga kesal dengan sikap Aco yang seakan memojokkannya. Tetapi-tetapi yang lain yang membuat Elok merasa hari itu ada sisi lain Aco yang baru ia lihat.

            Dari jauh ternyata Dharma mengamati situasi itu, wajah Aco yang intens melihat ke arah Elok, Elok yang tampak menjawab dengan takut-takut, semua itu terasa janggal bagi Dharma.

 

**

 

            Lama Elok tampak menganggur, tak terasa bell istirahat siang berbunyi. Seisi ruangan berebut keluar untuk makan siang. Elok masih berdiam diri di meja, ia masih bingung hendak makan apa hari ini. Beberapa kawan perempuan mengajaknya makan bersama, Elok menolak dengan halus. Karena siang ini bebar-benar istirahat panjang dan sayang jika hanya tinggal di ruangan.

            ”Ayok El, kita mau makan kepiting.” Safira yang keluar dari toilet mengajak Elok. Safira seperti orang terakhir yang ada di ruangan. Para lelaki sudah menuju masjid untuk sholat jumat.

            ”Dimana?” Elok bertanya dengan kurang semangat.

            ”Arah Manggar, yuk. Udah pada nunggu di bawah.” Safira meyakinkan. Seperti kena hipnotis Elok mengikuti ajak Safira.

            Di depan kantor sudah berkumpul sekitar 4 orang termasuk Bu Santi. Mereka menunggu Jenni mengambil mobil di parkiran.

            ”Tumben mbak mau ikut.” Bu Santi sedikit kaget melihat Elok. Saat Jenni tiba pun ia kaget melihat Elok yang tiba-tiba mau bergabung makan siang dengan mereka.

            Tiba di salah satu restaurant seafood, mereka sudah siap memesan menu combo yang bisa dimakan bersama. Saat menunggu makanan datang, masing-masing dari mereka sudah sibuk mengobrol. Yang tersisa hanya Elok dan Safira yang diam saling berpandangan. Mereka canggung, seperti ada yang ingin ditanyakan.

            ”Kemana libur kemaren El? Katanya kamu pulang ya?” Safira berbasa-basi. Elok tak siap mendengar pertanyaan itu. Ia kewalahan dan hanya memilih tersenyum dan mengangguk.

            ”Pulang kampung El? Ada acara apa?” Dinda ikut bertanya.

            ”Berapa jam sih El kalau dari sini?” Bu Santi juga turut menambahkan.

            ”Sekitar 8 jam bu.” Hanya pertanyaan Bu Santi yang dijawab Elok.

            ”Jauh ya? Capek banget.” Bu Santi menanggapi.

            “Denger-denger kamu dideketin Aco?” Tanpa basa-basi Jenni bertanya.

            ”Hah? Nggak.” Dengan spontan Elok menjawab. Dalam situasi itu seperti tidak tepat jika ia jawab dengan jujur.

            ”Iya janganlah ya.” Bu Santi terkekeh. Elok memilih tidak bertanya lebih lanjut.

            ”semua orang juga dideketin masalahnya.” Jenni menimpali Bu Santi sambil tertawa.

            ”Masa iya?” Bu Santi bertanya polos.

            ”Iya lah. Nih nih nih korbannya.” Jenni menunjuk Dinda, Safira, dan dirinya sendiri. Bu Santi terdiam tak lagi berkomentar, Elok pun sama namun kepalanya tiba-tiba dipenuhi banyak pertanyaan. Hatinya sedikit terluka. Kembali ada sisi lain yang sepertinya tidak ia ketahui dari kekasihnya itu. Atau mungkin ia memang belum mengenal lelaki Aco? Menyelesaikan makan siang dan kembali ke kantor dengan perasaan yang kurang nyaman.

 

**

 

            Elok tiba di kantor 5 menit setelah bel masuk. Aco sudah ada di mejanya. Aco sedikit terkejut melihat Elok datang bersama gerombolan ibu-ibu yang sedari awal ia wanti-wanti agar tidak Elok dekati. Pun setahu Aco, Elok juga tidak nyaman bergabung dengan gerombolan itu. Aco spontan langsung bertanya pada Elok.

            ”Darimana?” Aco mengirim pesan. Di mejanya Elok tampak membuka komputer dan sudah mulai bekerja.

            ”PING!” Aco mengirim pesan lagi. Elok masih belum membalas.

            ”PING!”

            ”PING!”

”PING!”

            ”PING!”

”PING!”

            ”PING!”

”PING!”

            ”PING!”

            Terus saja Ao mengirim pesan, tak terlihat Elok membalasnya atau sekadar membacanya. Aco tidak sabar menunggu, ia pun beranjak dari kursi dan menghampiri Elok.

            ”Mana Hapemu?” Wajah Aco tampak marah, Elok yang tengah membuat laporan seketika langsung merogoh ponselnya di dompet yang tadi ia bawa.

            ”Kenapa?” Elok bertanya sembari membuka ponselnya.

            ”Balas itu.” Aco melotot kepada Elok, suaranya pelan namun penuh penekanan. Wajahnya merah padam seolah kesalahan Elok amat fatal. Elok bergegas membalas pesan itu.

            ”Manggar. Makan kepiting.” Elok membalas.

            ”Sama mereka?” Aco kembali memastikan.

            ”Iya.” Elok membalas singkat.

            ”Kenapa? Tumben?” Aco kesal.

            ”Kenapa? Sesekali aja.” Elok membalas cepat.

            ”Terakhir ya, jangan lagi.” Aco melarang.

            ”Kenapa emang?” Elok bertanya.

            ”Mereka penggosip. Isinya ghibah kan pasti?” Aco curiga. Elok ingin sekali membahas dengan Aco yang tadi ia dengar, namun ia enggan karena masih merasa sakit hati dengan itu. Lebih tepatnya ia tak siap mendengar jawaban Aco. Ia memilih mengakhiri obrolan itu dengan mengiyakan kemauan Aco.

 

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts