16

 

            Sore itu di hari sabtu, Aco dan Elok mengelilingi jantung kota Balikpapan. Sepanjang jalan mereka banyak berbincang, walaupun terkadang suara satu sama lain tidak terlalu terdengar, tetapi mereka terus saja berusaha banyak bicara. Mengomentari hal-hal yang mereka lihat, membicarakan tempat-tempat favorite, keduanya hanyut dalam cerita hingga dalam kondisi ini lagi-lagi keduanya terjebak dalam bincang wisata masa lalu. Aco dengan Ratih, sedang sudah tentu Elok dengan Gardana. Sekilas, mereka seakan sudah menerima dua nama itu masuk dalam topik obrolan, tetapi dalam hati terdalam keduanya seperti menyimpan resah. Ada ketidaknyamanan saat mengingat dua nama itu. Elok sangat terusik, mengingat bagaimana Aco berpisah bukan karena sudah tak saling cinta, tetapi karena perjodohan. Sedang Aco sangat tidak senang mendengar nama Gardana, karena beberapa kali Elok tak sengaja tampak berbinar-binar membahas lelaki itu. Lelaki yang Elok akui pernah membuat dia merasa sangat bahagia di masa lalu. Tetapi, tampak di permukaan keduanya terlihat baik-baik saja. Tak ada cemburu, tak jua keberatan. Mereka bertingkah dewasa mengahadapi itu.

Setelah merasa cukup lelah, mereka mampir di sebuah cafe dekat mall dan bersantai dengan memesan kopi dan kudapan. Di salah satu sudutnya, terdapat rak buku yang bisa bebas dibaca oleh pengunjung. Elok menghampiri rak tersebut, lalu melihat-lihat beberapa judul.

”Eclipse?” Aco sudah berdiri di belakang Elok.

”Yup. Kamu suka?” Elok bertanya.

”Nonton filmnya.” Aco menjawab.

”Yah siapa yang nggak tau Cullen family.” Elok tersenyum.

”Aku selalu berangan-angan bisa hidup selama itu.” Aco berhayal.

”Bisa terbang juga?” Elok menambahkan.

”Pasti. Aku pengen bisa jadi hero. Keren kan?” Aco berpose. Elok terkekeh.

”Semacam menyelinap di jendela cewek yang kamu suka gitu?” Elok tertawa geli.

”Ide yang nggak buruk.” Aco tersenyum mnjawab itu.

Setelah kopi dan kudapan siap, mereka kembali ke tempat. Elok membuka-buka beberapa halaman di salah satu novel, sedang Aco meminjam ponsel Elok untuk bermain game. Saat mode pesawat dimatikan, tiba-tiba ada pesan masuk di line. Aco tak sengaja membukanya. Gardana, lengkap dengan history chat mereka di malam sebelumnya. Kali ini lelaki itu mengirim gambar sebuah buku catatan yang tertinggal di studionya.

”Nih ada chat.” Elok berhenti menatap novel di tangannya dan meraih ponselnya.

”Oh ini, buku catatanku ketinggalan berarti.” Elok menjawab setengah deg-degan.

”Nih.” Elok mengembalikan ponselnya pada Aco seolah tak terjadi apa-apa. Ia lalu lanjut membaca novel.

Line dibuka Aco hingga history terbawah. Banyak chat yang ia jelajahi hingga membuatnya kesal sendiri. Ia pun lalu mengalihkan penjelajahannya ke media di line. Ada banyak sekali foto yang saling mereka berdua kirimkan semasa pacaran, di begitu banyak momen, Aco kali ini sulit menahan rasa kesalnya.

”Aku mau kamu hapus.” Aco berbicara dengan masih melihat layar ponsel.

”Hapus apa?” Elok bertanya juga sambil menatap novel.

”Your ex. Too many his photo here.” Aco meletakkan ponsel Elok di meja dengan sedikit melemparkannya.

”Ok nanti kuhapus.” Elok mengiyakan saja. Mereka ada disana hingga senja, lalu memutuskan pulang sebelum gelap.

Sesebal apapun Aco pada Elok, ada satu hal yang pasti ia lakukan untuk Elok. Memasangkan helm. Itu hal kecil yang membuat Elok risih sekaligus senang.

 

**

 

            Malam itu, seperti biasa Aco menelepon Elok sebelum tidur. Untuk kali pertama Aco menyampaikan ketidaksukaannya pada Gardana.

            ”Aku mau semua foto yang di sosmed dihapus juga. Semua yang ada dianya.” Aco menyatakan itu dengan tegas.

            ”Oke. Tapi kalau foto event yang ramai-ramai aku nggak akan hapus.” Elok meminta keringanan.

            ”Kenapa? Dihapuslah! Atau kamu masih mau ingat-ingat dia?” Suara Aco kali ini dengan nada meninggi.

            ”Bukan gitu, itu kenang-kenangan.” Elok beralasan.

            ”Pokoknya hapus! Kalau nggak bla bla bla” Aco membuat ultimatum ini dan itu. Elok memilih mengiyakan saja.

            Setelah pamit tidur, Elok mencari sebuah SD card dan menyalin semua foto yang dimaksud Aco ingin dihapus. Elok memang melenyapkan itu dari ponsel dan laptopnya, tetapi ia masih punya salinannya di sebuah SD card dan ia selipkan di balik susunan pakaian di lemarinya, ia bungkus dengan kertas dan ditempel dengan lakban. Sebuah cara putus asa yang bisa dilakukan Elok. Sejak saat itu pembahasan tentang foto sudah tak lagi dipermasalahkan.

 

**

 

            Afif sudah kembali dari luar kota, ia sudah tidak kaget saat mendengar desas-desus tentang kedua kawannya.

            ”Official?” Afif bertanya langsung pada Aco.

            ”Apaan sih. Berteman doang.” Aco mengelak.

            ”Lah itu apaan di IG?” Afif tak percaya.

            “Ya deket aja, belum jadian.” Aco beralasan.

            ”Gantung?” Afif benar-benar penasaran.

            ”Nggak ada tembak-tembakan pokoknya.” Aco tersenyum.

            ”Iya paham, langsung jadi gitu aja kan? Iya dewasa.” Afif berbicara dengan nada mengejek.

            ”Senyum-senyum mulu pasangan baru.” Bu Santi berdiri di depan mesin fotokopi sembari melihat ke arah Aco dan Afif.

            ”Jelas bu.” Afif menjawab, telunjuknya ia arahkan ke Aco yang duduk di sampingnya. Bu Santi tersenyum. Aco melihat ke arah Afif dan Bu Santi bergantian, pura-pura tak sadar bahwa ia lah yang dimaksud.

            Elok berjalan menuju mesin fotokopi membawa setumpuk dokumen di kedua tangannya.

            ”Dateng nih ceweknya.” Bu Santi berbicara pelan.

            ”Mbak El mau ngopi?” Bu Santi bertanya sambil senyum-senyum.

            ”Iya bu.” Elok mengangguk, sambil sesekali ekor matanya mengarah ke meja Aco.

            ”Oh silakan mbak, kalau perlu bantu Mas Aco bilang ya.” Bu Santi tiba-tiba berkomentar demikian. Elok pura-pura bingung.

            ”Iya kan co?” Bu Santi melihat ke arah Aco dengan intimidatif. Aco memasang ekspresi bingung.

            ”Jawab iya dulu!” Bu Santi semakin intimidatif.

            “Iya deh iya.” Aco pasrah. Bu Santi bersorak girang tak jelas, hingga beberapa karyawan lain melihat ke arah mereka. Dinda dan Safira saling pandang dengan kode yang dipahami keduanya. Jenni terlihat jijik melihat pemandangan itu. Dharma, Iyan, dan Tigor saling pandang sekaligus mengonfirmasi hasil taruhan mereka tempo hari. Suasana di ruangan itu benar-benar membuat Elok dan Aco menjadi kurang nyaman. Sudah jelas, banyak yang tak senang dengan hubungan itu.

 

**

 

            Setiap selasa malam, Aco punya kegiatan bermain futsal. Sejak hubungannya dan Elok terbuka untuk umum, Aco tak segan mengajak Elok ke lapangan. Elok pun memilih tak malu lagi untuk menampakkan diri sebagai kekasih Aco. Tetapi malam itu Elok kelelahan. Ia memilih untuk tidak ikut menemani Aco.

            ”Cuma sebentar kok mainnya.” Di balik telepon Aco masih membujuk.

            ”Aku ngantuk banget.” Elok masih menolak ikut.

            ”Kamu mau langsung tidur? Jam segini?” Aco bertanya tak percaya.

            “Iya sayang, aku ngantuk banget.” Elok membuat agar suaranya terdengar lemas.

            ”Kamu mau telponan sama siapa?” Aco bertanya curiga. Ia ingat history panggilan Elok tempo hari dengan Gardana.

            ”Nggak ada.” Elok mengelak.

            ”Kamu mau ngobrol sama mantanmu? Atau mau telpon Dharma yang entah bahas apa.” Aco mengeluarkan unek-uneknya. Elok langsung merasa bersalah.

            “Aku nggak bahas macem-macem kok, dia cuma kasih tau kalau dia lulus, udah itu aja.” Elok menjelaskan.

            “Yakin? Nggak ada alasan lain?” Aco terus memojokkan.

            ”Iya.” Elok menjawab tegas.

            ”Dharma?” Aco mengalihkan topik.

            ”Dia bahas kamu deketin Dinda.” Elok menjawab pelan.

            ”Oh shit. Mereka gila ya? Sepasang sama-sama halu.” Aco terdengar kesal. Elok memilih diam.

            ”Aku nggak suka kamu ngobrol sama dia.” Aco berbicara dengan penuh penekanan.

            ”Iya, udah nggak lagi.” Elok memilih pasrah saja.

            ”Aku ke tempatmu sekarang.” Aco mematikan panggilan itu.

            Beberapa menit kemudian Aco mengirim pesan.

            ”Aku di depan.” Elok bergegas keluar menghampiri kekasihnya. Aco menyodorkan ponselnya dan langsung mengambil ponsel Elok. Malam itu dengan pasrah Elok membiarkan mereka bertukar ponsel. Entah apa yang dipikirkan kekasihnya, yang jelas terasa Aco takut Elok menelepon orang lain selama dia futsal, dan itu terasa aneh bagi Elok. Kekhawatiran berlebihan, yang anehnya Elok nikmati.

 

**

 

            Pukul 23.30 WITA ponsel Aco berbunyi, sebuah panggilan dari kontak bernama Alice, entah siapa.

No comments:

Post a Comment

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...