Tampilkan postingan dengan label 60 Hari Bercerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 60 Hari Bercerita. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 April 2025

16

 

            Sore itu di hari sabtu, Aco dan Elok mengelilingi jantung kota Balikpapan. Sepanjang jalan mereka banyak berbincang, walaupun terkadang suara satu sama lain tidak terlalu terdengar, tetapi mereka terus saja berusaha banyak bicara. Mengomentari hal-hal yang mereka lihat, membicarakan tempat-tempat favorite, keduanya hanyut dalam cerita hingga dalam kondisi ini lagi-lagi keduanya terjebak dalam bincang wisata masa lalu. Aco dengan Ratih, sedang sudah tentu Elok dengan Gardana. Sekilas, mereka seakan sudah menerima dua nama itu masuk dalam topik obrolan, tetapi dalam hati terdalam keduanya seperti menyimpan resah. Ada ketidaknyamanan saat mengingat dua nama itu. Elok sangat terusik, mengingat bagaimana Aco berpisah bukan karena sudah tak saling cinta, tetapi karena perjodohan. Sedang Aco sangat tidak senang mendengar nama Gardana, karena beberapa kali Elok tak sengaja tampak berbinar-binar membahas lelaki itu. Lelaki yang Elok akui pernah membuat dia merasa sangat bahagia di masa lalu. Tetapi, tampak di permukaan keduanya terlihat baik-baik saja. Tak ada cemburu, tak jua keberatan. Mereka bertingkah dewasa mengahadapi itu.

Setelah merasa cukup lelah, mereka mampir di sebuah cafe dekat mall dan bersantai dengan memesan kopi dan kudapan. Di salah satu sudutnya, terdapat rak buku yang bisa bebas dibaca oleh pengunjung. Elok menghampiri rak tersebut, lalu melihat-lihat beberapa judul.

”Eclipse?” Aco sudah berdiri di belakang Elok.

”Yup. Kamu suka?” Elok bertanya.

”Nonton filmnya.” Aco menjawab.

”Yah siapa yang nggak tau Cullen family.” Elok tersenyum.

”Aku selalu berangan-angan bisa hidup selama itu.” Aco berhayal.

”Bisa terbang juga?” Elok menambahkan.

”Pasti. Aku pengen bisa jadi hero. Keren kan?” Aco berpose. Elok terkekeh.

”Semacam menyelinap di jendela cewek yang kamu suka gitu?” Elok tertawa geli.

”Ide yang nggak buruk.” Aco tersenyum mnjawab itu.

Setelah kopi dan kudapan siap, mereka kembali ke tempat. Elok membuka-buka beberapa halaman di salah satu novel, sedang Aco meminjam ponsel Elok untuk bermain game. Saat mode pesawat dimatikan, tiba-tiba ada pesan masuk di line. Aco tak sengaja membukanya. Gardana, lengkap dengan history chat mereka di malam sebelumnya. Kali ini lelaki itu mengirim gambar sebuah buku catatan yang tertinggal di studionya.

”Nih ada chat.” Elok berhenti menatap novel di tangannya dan meraih ponselnya.

”Oh ini, buku catatanku ketinggalan berarti.” Elok menjawab setengah deg-degan.

”Nih.” Elok mengembalikan ponselnya pada Aco seolah tak terjadi apa-apa. Ia lalu lanjut membaca novel.

Line dibuka Aco hingga history terbawah. Banyak chat yang ia jelajahi hingga membuatnya kesal sendiri. Ia pun lalu mengalihkan penjelajahannya ke media di line. Ada banyak sekali foto yang saling mereka berdua kirimkan semasa pacaran, di begitu banyak momen, Aco kali ini sulit menahan rasa kesalnya.

”Aku mau kamu hapus.” Aco berbicara dengan masih melihat layar ponsel.

”Hapus apa?” Elok bertanya juga sambil menatap novel.

”Your ex. Too many his photo here.” Aco meletakkan ponsel Elok di meja dengan sedikit melemparkannya.

”Ok nanti kuhapus.” Elok mengiyakan saja. Mereka ada disana hingga senja, lalu memutuskan pulang sebelum gelap.

Sesebal apapun Aco pada Elok, ada satu hal yang pasti ia lakukan untuk Elok. Memasangkan helm. Itu hal kecil yang membuat Elok risih sekaligus senang.

 

**

 

            Malam itu, seperti biasa Aco menelepon Elok sebelum tidur. Untuk kali pertama Aco menyampaikan ketidaksukaannya pada Gardana.

            ”Aku mau semua foto yang di sosmed dihapus juga. Semua yang ada dianya.” Aco menyatakan itu dengan tegas.

            ”Oke. Tapi kalau foto event yang ramai-ramai aku nggak akan hapus.” Elok meminta keringanan.

            ”Kenapa? Dihapuslah! Atau kamu masih mau ingat-ingat dia?” Suara Aco kali ini dengan nada meninggi.

            ”Bukan gitu, itu kenang-kenangan.” Elok beralasan.

            ”Pokoknya hapus! Kalau nggak bla bla bla” Aco membuat ultimatum ini dan itu. Elok memilih mengiyakan saja.

            Setelah pamit tidur, Elok mencari sebuah SD card dan menyalin semua foto yang dimaksud Aco ingin dihapus. Elok memang melenyapkan itu dari ponsel dan laptopnya, tetapi ia masih punya salinannya di sebuah SD card dan ia selipkan di balik susunan pakaian di lemarinya, ia bungkus dengan kertas dan ditempel dengan lakban. Sebuah cara putus asa yang bisa dilakukan Elok. Sejak saat itu pembahasan tentang foto sudah tak lagi dipermasalahkan.

 

**

 

            Afif sudah kembali dari luar kota, ia sudah tidak kaget saat mendengar desas-desus tentang kedua kawannya.

            ”Official?” Afif bertanya langsung pada Aco.

            ”Apaan sih. Berteman doang.” Aco mengelak.

            ”Lah itu apaan di IG?” Afif tak percaya.

            “Ya deket aja, belum jadian.” Aco beralasan.

            ”Gantung?” Afif benar-benar penasaran.

            ”Nggak ada tembak-tembakan pokoknya.” Aco tersenyum.

            ”Iya paham, langsung jadi gitu aja kan? Iya dewasa.” Afif berbicara dengan nada mengejek.

            ”Senyum-senyum mulu pasangan baru.” Bu Santi berdiri di depan mesin fotokopi sembari melihat ke arah Aco dan Afif.

            ”Jelas bu.” Afif menjawab, telunjuknya ia arahkan ke Aco yang duduk di sampingnya. Bu Santi tersenyum. Aco melihat ke arah Afif dan Bu Santi bergantian, pura-pura tak sadar bahwa ia lah yang dimaksud.

            Elok berjalan menuju mesin fotokopi membawa setumpuk dokumen di kedua tangannya.

            ”Dateng nih ceweknya.” Bu Santi berbicara pelan.

            ”Mbak El mau ngopi?” Bu Santi bertanya sambil senyum-senyum.

            ”Iya bu.” Elok mengangguk, sambil sesekali ekor matanya mengarah ke meja Aco.

            ”Oh silakan mbak, kalau perlu bantu Mas Aco bilang ya.” Bu Santi tiba-tiba berkomentar demikian. Elok pura-pura bingung.

            ”Iya kan co?” Bu Santi melihat ke arah Aco dengan intimidatif. Aco memasang ekspresi bingung.

            ”Jawab iya dulu!” Bu Santi semakin intimidatif.

            “Iya deh iya.” Aco pasrah. Bu Santi bersorak girang tak jelas, hingga beberapa karyawan lain melihat ke arah mereka. Dinda dan Safira saling pandang dengan kode yang dipahami keduanya. Jenni terlihat jijik melihat pemandangan itu. Dharma, Iyan, dan Tigor saling pandang sekaligus mengonfirmasi hasil taruhan mereka tempo hari. Suasana di ruangan itu benar-benar membuat Elok dan Aco menjadi kurang nyaman. Sudah jelas, banyak yang tak senang dengan hubungan itu.

 

**

 

            Setiap selasa malam, Aco punya kegiatan bermain futsal. Sejak hubungannya dan Elok terbuka untuk umum, Aco tak segan mengajak Elok ke lapangan. Elok pun memilih tak malu lagi untuk menampakkan diri sebagai kekasih Aco. Tetapi malam itu Elok kelelahan. Ia memilih untuk tidak ikut menemani Aco.

            ”Cuma sebentar kok mainnya.” Di balik telepon Aco masih membujuk.

            ”Aku ngantuk banget.” Elok masih menolak ikut.

            ”Kamu mau langsung tidur? Jam segini?” Aco bertanya tak percaya.

            “Iya sayang, aku ngantuk banget.” Elok membuat agar suaranya terdengar lemas.

            ”Kamu mau telponan sama siapa?” Aco bertanya curiga. Ia ingat history panggilan Elok tempo hari dengan Gardana.

            ”Nggak ada.” Elok mengelak.

            ”Kamu mau ngobrol sama mantanmu? Atau mau telpon Dharma yang entah bahas apa.” Aco mengeluarkan unek-uneknya. Elok langsung merasa bersalah.

            “Aku nggak bahas macem-macem kok, dia cuma kasih tau kalau dia lulus, udah itu aja.” Elok menjelaskan.

            “Yakin? Nggak ada alasan lain?” Aco terus memojokkan.

            ”Iya.” Elok menjawab tegas.

            ”Dharma?” Aco mengalihkan topik.

            ”Dia bahas kamu deketin Dinda.” Elok menjawab pelan.

            ”Oh shit. Mereka gila ya? Sepasang sama-sama halu.” Aco terdengar kesal. Elok memilih diam.

            ”Aku nggak suka kamu ngobrol sama dia.” Aco berbicara dengan penuh penekanan.

            ”Iya, udah nggak lagi.” Elok memilih pasrah saja.

            ”Aku ke tempatmu sekarang.” Aco mematikan panggilan itu.

            Beberapa menit kemudian Aco mengirim pesan.

            ”Aku di depan.” Elok bergegas keluar menghampiri kekasihnya. Aco menyodorkan ponselnya dan langsung mengambil ponsel Elok. Malam itu dengan pasrah Elok membiarkan mereka bertukar ponsel. Entah apa yang dipikirkan kekasihnya, yang jelas terasa Aco takut Elok menelepon orang lain selama dia futsal, dan itu terasa aneh bagi Elok. Kekhawatiran berlebihan, yang anehnya Elok nikmati.

 

**

 

            Pukul 23.30 WITA ponsel Aco berbunyi, sebuah panggilan dari kontak bernama Alice, entah siapa.

Sabtu, 05 April 2025

15

 

            Ragu, ragu-ragu, keragu-raguan, semua sama bukan? Mulai ragu, dan tengah ragu-ragu, hingga menghadapi keragu-raguan. Beberapa malam terakhir seperti banyak ragu dan kerabatnya muncul. Menyangsikan keputusan menjalin hubungan terlalu awal, menyalahkan diri yang jatuh cinta sedemikian cepat, ingin menganulir, ingin mundur saja, tetapi mengapa rasanya kepalang tanggung? Ada rasa berat yang menahan Elok untuk melakukan itu.

            ”Kurang?” Aco memecah lamunan Elok, malam itu di warung coto mereka berdua makan malam bersama seperti biasanya. Aco memotongkan ketupat, menuangkan sambal dan kecap, memeraskan jeruk nipis di mangkuk Elok. Aco pun mengambil sebungkus kacang goreng dan kerupuk melinjo tambahan dari meja sebelah. Segelas teh hangat juga sudah tiba siap diminum. Elok tak pernah diperlakukan demikian.

            ”Kok diem aja dari tadi?” Aco bertanya sembari memakan coto di hadapannya.

            “Nggak apa-apa, laper.” Elok menjawab sembari tersenyum. Ia berusaha menutupi pikiran yang mengganggu.

            ”Kurang sambelnya?” Aco memastikan.

            ”Pas kok.” Elok kembali tersenyum. Aco mengangguk.

            Elok menatap lelaki di depannya, bulir-bulir keringat menetes. Aco seringkali keringatan ketika makan. Lelaki itu tampak lahap, hingga Elok mulai mencoba membuka obrolan.

            ”Kamu pernah deket sama siapa aja di kantor?” Elok membuka dengan hal yang mengganggunya akhir-akhir ini.

            ”Nggak ada, kan aku sama Ratih.” Aco menjawab santai.

            ”Kalian nggak pernah putus?” Elok penasaran.

            ”Nggak pernah.” Aco menjawab dengan yakin sembari menggeleng.

            ”Kenapa?” Aco bertanya balik.

            ”Nggak, ada yang bilang kamu pernah deket sama Safira? Emang iya?” Elok bertanya serius.

            ”Safira? Nggak ada sih. Dia kan sama Mas Juan?” Aco kembali menjawab dengan santai. Elok terdiam.

            ”Siapa yang bilang?” Aco bertanya lagi.

            ”Dia sendiri.” Elok menjawab pelan.

            ”Apa dia bilang?” Aco penasaran.

            ”Kamu deketin dia sampai dia risih dan lapor ke Mas Juan.” Elok menceritakan kembali apa yang ia dengar saat makan siang.

            ”GR banget.” Aco hanya menanggapi singkat, sambil tersenyum kecil.

            ”Jadi nggak pernah?” Elok kembali memastikan.

            ”Nggak pernah.” Aco masih menjawab santai.

            “Kalau Jenni?” Elok berganti objek.

            ”Kok dia?” Aco terlihat bingung.

            “Katanya kamu sering godain dia, ganggu-ganggu dia sampai dia risih dan jauhin kamu.” Elok kembali mengulang hal yang ia dengar. Aco tertawa kali ini. Ia terlihat amat geli.

            ”Gila ya, ngarang banget.” Aco masih tertawa geli.

            ”Ini kata siapa lagi?” Aco bertanya lagi.

            ”Dia sendiri.” Elok menjawab pelan.

            ”Mereka kenapa sih?” Aco terus menampakkan wajah geli yang membuat Elok merasa sia-sia melanjutkan topik ini. Walaupun Elok masih menyisakan 1 nama.

            ”Kamu percaya mereka?” Aco bertanya sambil masih tertawa kecil. Elok mengangkat pundak, tanda tak tahu.

            ”Kamu lihat aja kelakuan mereka, mungkin nggak kalau aku suka?” Aco mengarahkan Elok pada kesimpulan yang ia mau.

            ”Safira emang ke-GR-an, beberapa kali dia bilang andai dia belum sama Mas Juan dia mungkin bisa sama aku. Tapi aku nggak nanggepin.” Aco menyampaikan itu dengan meyakinkan.

            ”Jenni? El menurutmu dia tipeku? Mungkin nggak aku suka cewek kayak dia?” Aco menatap Elok dengan intimidatif.

            ”Mungkin aja.” Elok menjawab polos.

            ”Kamu nggak kenal aku berarti. El, nggak mungkin aku suka cewek sepasif itu. Bukan tipeku. Dan kalau dia bilang aku godain dia, sumpah itu hal paling aneh yang aku denger. Asli Jenni parah.” Aco berbicara sambil menggelengkan kepalanya.

            Elok tak punya tenaga lagi untuk membalas ucapan Aco, dengan beberapa argumen itu saja Elok merasa masuk akal apa yang Aco sampaikan.

            ”Yang penting sekarang kita.” Aco melihat Elok dalam-dalam. Elok menunduk, tak bisa ia melihat wajah itu terlalu lama. Aco mengusap-usap punggung tangan Elok.

            Usai mereka pulang dan kembali ke kost masing-masing, Aco menelepon Elok. Rutinitas itu benar-benar mereka lakukan setiap malam.

            ”Sudah siapin minum?” Aco dari layar ponsel..

            ”Sudah.” Elok menjawab sembari memperlihatkan sebotol air mineral.

            ”Aku sekarang pakai instagram.” Aco memperlihatkan akun instagramnya yang baru ia buat. Elok tersenyum, itu hal yang ia sarankan pada Aco sebelumnya.

            ”Boleh nggak fotonya ini?” Aco memperlihatkan foto mereka berdua saat mereka makan berdua di warung coto, foto itu yang ia pasang sebagai profile instagramnya.

            ”Boleh.” Elok mengangguk saja. Elok melihat akunnya, lalu mengikuti dan mengunjungi profile kekasihnya itu. Beberapa orang sudah ia ikuti, yaitu om, tante, sepupu dan adik-adiknya. Tetapi saat melihat kolom pengikut, ada beberapa kawan kerja yang sudah mengikuti Aco.

            ”Yakin nggak apa-apa fotonya?” Elok baru tersadar.

            ”Nggak apa-apa.” Aco santai.

            ”Ada Mas Iyan.” Maksud Elok di kolom pengikut.

            ”Ya nggak apa-apa mereka tau, masa mau sembunyi-sembunyi terus?” Aco terlihat yakin. Hati Elok menghangat, seharusnya sedari awal tak perlu ia ragukan kekasihnya itu. Kalaupun benar ia pernah dekat dengan siapapun sebelumnya, bukankah itu sudah masa lalu? Dan Elok tak punya hak menghakimi itu. Elok mulai meyakinkan diri untuk tidak lagi mempermasalahkan hal itu. Persetan dengan Safira, Jenni, Dinda, semuanya ia tak peduli. Ia hanya ingin fokus pada Aco.

 

**

 

            Malam itu usai menutup telepon Aco, Elok membuka Line. Disana ada pesan dari Gardana. Pesan beberapa menit lalu yang belum Elok baca.

            ”Udah tidur?” Elok membuka pesan itu, tetapi ia enggan membalasnya. Menyadari Elok membaca pesannya, Gardana mengirim pesan tambahan.

            ”Boleh telepon bentar?” Belum sempat Elok membalas, Gardana sudah menelepon.

            ”Iya.” Elok sedikit gugup.

            ”Apa kabar?” Gardana bertanya lirih sedikit berbisik.

            ”Sehat. Kamu?” Elok bertanya balik.

            ”Sehat, alhamdulillah aku sudah lulus.” Gardana menyampaikan kabar baik itu dengan senyum getir.

            ”Alhamdulillah. Sudah tau mau lanjut kemana?” Elok berbasa-basi.

            ”Belum tau, tapi kayaknya kerja.” Gardana menjawab hati-hati.

            ”Good luck ya.” Elok terus berbasa-basi. Ia seperti ingin segera mengakhiri panggilan ini.

            ”Gimana sama Zidane?” Gardana mengetahui nama asli Aco.

            ”Baik kok.” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Elok.

            ”Oh ya aku denger kamu sekantor sama Dharma ya.” Gardana membuat Elok semakin ingin menghindari topik ini.

            ”Iya.” Elok menjawab pelan.

            ”Ya udah, lanjut aja kalau mau tidur. Jaga kesehatan.” Elok bergegas menutup panggilan itu. Ia merasa tak enak dengan Gardana, ia pun merasa bersalah dengan Aco, ia merasa sudah membohongi Dharma, semuanya membuat ia gelisah. Malam itu ia sulit tidur, banyak hal yang mengganjal pikirannya.

 

**

 

            Setelah jam kerja berakhir, Elok pulang lebih dulu. Aco masih ada agenda rapat dan belum ada tanda-tanda hendak pulang. Sesampainya di kamar, Elok menerima panggilan dari Dharma, awalnya Elok mengira ini terkait pekerjaan.

            ”Halo, iya.”

            ”Lagi dimana El?” Suara Dharma terdengar jelas.

            ”Udah di kost, kenapa?” Elok menjawab cepat.

            ”El, kamu serius sama cowok itu?” Dharma bertanya dengan tegas.

            ”Kamu nggak tau tabiatnya?” Dharma semakin meninggi.

            ”Iya aku udah denger kok dia pernah deketin Dinda ya?” Elok menjawab santai.

            ”Terus kenapa kamu lanjut?” Dharma terdengar marah.

            ”Makasih ya udah khawatir, aku juga masih cari tau gimana dia sebenernya.” Elok mencoba terdengar welcome dengan nasihat Dharma. Walaupun dalam hatinya ia sudah bertekad untuk tidak mendengarkan apapun.

Jumat, 04 April 2025

14

 

            Hari jumat pada umumnya menjadi hari santai bagi hampir seluruh karyawan. Selain jam istrirahat yang cukup lama karena sholat jumat, juga karena jadwal rapat seringkali kosong di hari tersebut. Elok pun berangkat kerja dengan perasaan ringan, karena sabtu-minggu ia akan bersantai menikmati libur. Berjalan dari tempat parkir hingga naik ke ruangan Elok sengaja tetap mengenakan penyuara telinga. Musik slow mengalun membawa Elok pada perasaan damai dan relaks. Beberapa kawan yang ia jumpai di lift hanya ia sapa dengan senyum atau lambaian tangan. Tak ada satu suara pun yang ia biarkan mendistrak rasa bahagianya pagi ini, atasannya sekalipun. Elok tiba di ruangan, meletakkan tas, menyalakan komputer, kemudian ke toilet untuk merapikan rambut dan riasannya. Setelah usai ia ke pantry untuk membuat segelas kopi. Elok masih enggan melepaskan musik di telinganya, hingga Dharma menyapanya di pantry.

            ”Kapan rencana pulang El?”

            ”Pulang kemana?” Elok tersenyum.

            ”Ke Kuala.” Dharma menunjuk ke arah barat.

            ”Mungkin akhir tahun.” Elok tampak ragu-ragu.

            ”Lama banget. Nggak kangen abang?” Dharma tersenyum, Elok pun turut tersenyum, ia paham maksud kawannya itu. Sebelum Elok bekerja, Gardana pernah beberapa kali membawa Elok ke kampung halamannya, dan bertemu Dharma disana. Saat tiba di kantor ini, Elok baru sadar jika Dharma satu kantor dengannya, karena lebih seringnya Dharma tugas di luar kota.

            ”Masih kan?” Dharma memastikan. Elok menggangguk saja sembari tetap tersenyum. Ia seperti tak ingin menjawab dengan gamblang. Biar saja ini menggantung saja. Biar mereka yang menyimpulkan sendiri. Mungkin itulah yang dipikirkan Elok.

            Seperti sudah mendapatkan jawaban yang ia mau, Dharma berlalu meninggalkan pantry. Elok tiba-tiba merasakan tubuhnya lemas. Jantungnya berdegub kencang seperti tengah meluapkan rasa bersalah. Pikirannya tak jelas berlarian ke sudut-sudut kemungkinan yang ia benci. Entah mengapa.

Perasaan kacau itu tiba-tiba buyar saat Afif menelepon.

“Halo iya.”

“Bantu cek jadwal meeting sama team legal kapan El?” Dari jauh Afif terdengar terburu-buru. Elok bergegas ke mejanya.

            ”Selasa, jam 2 siang.” Setelah melihat jadwal yang ada di komputernya.

            ”Bantu re-schedule dong. Selasa ada keperluan mendadak nih.” Afif meminta pada Elok.

            ”Maunya kapan? Karena Pak Abu yang minta di hari itu.” Elok mengingat-ingat saat Pak Abu kebingungan mengatur jadwalnya dengan team legal.

            ”Pak Abu mah gampang, yang penting kan hasilnya.” Afif tetap ingin jadwal diubah. Elok patuh, ia coba menghubungi team legal dan mendapatkan jadwal sesuai keinginan Afif, mundur 2 minggu.

            “Oke sudah aman.” Elok mengakhiri telepon.

            ”Siapa?” Aco sudah berdiri di hadapan Elok dan menanyakan yang ia telepon.

            ”Afif.” Elok menjawab sambil menutup ponselnya.

            ”Ngapain dia?” Aco bertanya lagi dengan nada yang membuat Elok kurang nyaman.

            ”Minta bantu re-schedule meeting doang.” Elok menjawab dingin.

            “Kok ke kamu, kan bisa ke adminnya.” Pertanyaan Aco mulai intimidatif. Elok tak bisa menjawab lagi.

            “Lain kali arahin ke Dinda aja, jangan kamu yang kerjain.” Aco mengucapkan itu dengan penuh penekanan, lalu meninggalkan meja Elok dan berjalan menuju toilet. Elok masih tak memahami situasi yang baru terjadi. Ia seakan ditegur untuk hal yang bukan kesalahannya. Tetapi ia tak punya jawaban untuk membela diri. Tetapi ia juga kesal dengan sikap Aco yang seakan memojokkannya. Tetapi-tetapi yang lain yang membuat Elok merasa hari itu ada sisi lain Aco yang baru ia lihat.

            Dari jauh ternyata Dharma mengamati situasi itu, wajah Aco yang intens melihat ke arah Elok, Elok yang tampak menjawab dengan takut-takut, semua itu terasa janggal bagi Dharma.

 

**

 

            Lama Elok tampak menganggur, tak terasa bell istirahat siang berbunyi. Seisi ruangan berebut keluar untuk makan siang. Elok masih berdiam diri di meja, ia masih bingung hendak makan apa hari ini. Beberapa kawan perempuan mengajaknya makan bersama, Elok menolak dengan halus. Karena siang ini bebar-benar istirahat panjang dan sayang jika hanya tinggal di ruangan.

            ”Ayok El, kita mau makan kepiting.” Safira yang keluar dari toilet mengajak Elok. Safira seperti orang terakhir yang ada di ruangan. Para lelaki sudah menuju masjid untuk sholat jumat.

            ”Dimana?” Elok bertanya dengan kurang semangat.

            ”Arah Manggar, yuk. Udah pada nunggu di bawah.” Safira meyakinkan. Seperti kena hipnotis Elok mengikuti ajak Safira.

            Di depan kantor sudah berkumpul sekitar 4 orang termasuk Bu Santi. Mereka menunggu Jenni mengambil mobil di parkiran.

            ”Tumben mbak mau ikut.” Bu Santi sedikit kaget melihat Elok. Saat Jenni tiba pun ia kaget melihat Elok yang tiba-tiba mau bergabung makan siang dengan mereka.

            Tiba di salah satu restaurant seafood, mereka sudah siap memesan menu combo yang bisa dimakan bersama. Saat menunggu makanan datang, masing-masing dari mereka sudah sibuk mengobrol. Yang tersisa hanya Elok dan Safira yang diam saling berpandangan. Mereka canggung, seperti ada yang ingin ditanyakan.

            ”Kemana libur kemaren El? Katanya kamu pulang ya?” Safira berbasa-basi. Elok tak siap mendengar pertanyaan itu. Ia kewalahan dan hanya memilih tersenyum dan mengangguk.

            ”Pulang kampung El? Ada acara apa?” Dinda ikut bertanya.

            ”Berapa jam sih El kalau dari sini?” Bu Santi juga turut menambahkan.

            ”Sekitar 8 jam bu.” Hanya pertanyaan Bu Santi yang dijawab Elok.

            ”Jauh ya? Capek banget.” Bu Santi menanggapi.

            “Denger-denger kamu dideketin Aco?” Tanpa basa-basi Jenni bertanya.

            ”Hah? Nggak.” Dengan spontan Elok menjawab. Dalam situasi itu seperti tidak tepat jika ia jawab dengan jujur.

            ”Iya janganlah ya.” Bu Santi terkekeh. Elok memilih tidak bertanya lebih lanjut.

            ”semua orang juga dideketin masalahnya.” Jenni menimpali Bu Santi sambil tertawa.

            ”Masa iya?” Bu Santi bertanya polos.

            ”Iya lah. Nih nih nih korbannya.” Jenni menunjuk Dinda, Safira, dan dirinya sendiri. Bu Santi terdiam tak lagi berkomentar, Elok pun sama namun kepalanya tiba-tiba dipenuhi banyak pertanyaan. Hatinya sedikit terluka. Kembali ada sisi lain yang sepertinya tidak ia ketahui dari kekasihnya itu. Atau mungkin ia memang belum mengenal lelaki Aco? Menyelesaikan makan siang dan kembali ke kantor dengan perasaan yang kurang nyaman.

 

**

 

            Elok tiba di kantor 5 menit setelah bel masuk. Aco sudah ada di mejanya. Aco sedikit terkejut melihat Elok datang bersama gerombolan ibu-ibu yang sedari awal ia wanti-wanti agar tidak Elok dekati. Pun setahu Aco, Elok juga tidak nyaman bergabung dengan gerombolan itu. Aco spontan langsung bertanya pada Elok.

            ”Darimana?” Aco mengirim pesan. Di mejanya Elok tampak membuka komputer dan sudah mulai bekerja.

            ”PING!” Aco mengirim pesan lagi. Elok masih belum membalas.

            ”PING!”

            ”PING!”

”PING!”

            ”PING!”

”PING!”

            ”PING!”

”PING!”

            ”PING!”

            Terus saja Ao mengirim pesan, tak terlihat Elok membalasnya atau sekadar membacanya. Aco tidak sabar menunggu, ia pun beranjak dari kursi dan menghampiri Elok.

            ”Mana Hapemu?” Wajah Aco tampak marah, Elok yang tengah membuat laporan seketika langsung merogoh ponselnya di dompet yang tadi ia bawa.

            ”Kenapa?” Elok bertanya sembari membuka ponselnya.

            ”Balas itu.” Aco melotot kepada Elok, suaranya pelan namun penuh penekanan. Wajahnya merah padam seolah kesalahan Elok amat fatal. Elok bergegas membalas pesan itu.

            ”Manggar. Makan kepiting.” Elok membalas.

            ”Sama mereka?” Aco kembali memastikan.

            ”Iya.” Elok membalas singkat.

            ”Kenapa? Tumben?” Aco kesal.

            ”Kenapa? Sesekali aja.” Elok membalas cepat.

            ”Terakhir ya, jangan lagi.” Aco melarang.

            ”Kenapa emang?” Elok bertanya.

            ”Mereka penggosip. Isinya ghibah kan pasti?” Aco curiga. Elok ingin sekali membahas dengan Aco yang tadi ia dengar, namun ia enggan karena masih merasa sakit hati dengan itu. Lebih tepatnya ia tak siap mendengar jawaban Aco. Ia memilih mengakhiri obrolan itu dengan mengiyakan kemauan Aco.

 

           

Selasa, 01 April 2025

13

 

Karyawan baru, pasangan  baru, bahan baru, rumor baru, semangat baru.

Seisi Main Office kini tengah ramai dengan konspirasi bolosnya 2 karyawan yang diduga tengah pergi berdua. Pembawa kabar pertama adalah Daniel, dan yang lainnya adalah Iyan. Daniel dan Iyan antusias memimpin sebuah rapat ghibah yang dihelat di meja kantin sepanjang coffee break. Dijamu seceret kopi dan sepiring kacang kulit, meja itu menjadi menarik bagi siapapun yang melintas. Agendanya jelas, Elok dan Aco. Beberapa dari mereka pada akhirnya bertaruh.

“100 ribu pertama mereka nggak pacaran. Aku kenal cowoknya Elok soalnya.” Dharma, teman  SMP Gardana saat di Bontang.

“100 ribu kedua mereka pergi berdua tapi nggak pacaran. Karena memang setau aku Aco punya pacar.” Kailani, orang yang cukup dekat dengan Aco.

“200 ribu mereka pacaran tapi bakal putus kurang dari 3 bulan.” Iyan bersemangat.

“Jahat lu yan.” Tigor mesam-mesem dengan taruhan Iyan.

“Aku yakin Aco nggak mungkin serius. Dan Elok juga kayaknya agak nggak beres nggak sih?” Iyan menambahkan.

“500 ribu mereka pacaran tapi akan backstreet beberapa saat dan akan cukup langgeng.” Daniel dengan cukup yakin.

Disusul taruhan-taruhan dari orang-orang lainnya yang juga tak kalah antusias dengan setiap kemungkinan-kemungkinan yang ditulis detail di catatan milik Daniel. Mereka bubar ketika bel tanda coffee break berakhir berbunyi.

Dharma dan Tigor masih belum puas dengan hasil rapat ghibah plus pertaruhan tadi karena ditutup sebelum beberapa hal ia rasa clear.

“Gor, ngerasa aneh nggak sih?”

“Aneh gimana?”

“Elok kalau sampai beneran dia sama Aco parah sih. Kamu ngerti kan maksudku?” Dharma yang merupakan kawan lama Gardana  masih belum terima dengan kemungkinan itu. Tigor mengangguk.

“Tipe Elok juga biasanya yang alim, baik, kalem.”

“Maksudmu Rumi?”

“Ya setipe Rumi. Sedangkan Aco?” Walaupun sebenarnya yang Dharma maksud adalah Gardana. Dharma melihat ke arah Tigor, mereka seolah berada di pemikiran yang sama. Bukan rahasia lagi, sebelum Elok menginjakkan kaki di kota ini, tersiar kabar bahwa Elok pernah dekat dengan Rumi. Entah darimana kabarnya.

“Ya kan?”

“Iya juga sih.” Tigor setuju dengan isi kepala Dharma yang bahkan tak perlu ia ungkapkan dengan kata-kata.

*

 

Di sisi lain di dalam office, beberapa ibu-ibu sedang berkumpul di depan sebuah meja yang di atasnya bercokol sebuah nampan berisi buah-buahan dan sambal rujak. Sulit dihindari, itu situasi paling menarik ghibah lain yang tentu saja versi ibu-ibu.

“Korban selanjutnya nggak sih?” Emma dengan antusias.

“Setelah gagal dapetin kamu kan?” Jeni menyahut sembari mengunyah mangga muda di mulutnya.

“Kamu sempat juga ma?” Safira bertanya kaget.

“Dipepet terus, sampai jijik sendiri.” Emma memperlihatkan ekspresi geli.

“Sama aku juga gitu.” Safira menambahkan. Jeni dan Emma kompak melihat ke arah Safira.

“Iya, beneran. Ngechat gombal-gombal dan sekalian saja kuberitahu Mas Juan.”

“Gila ya, padahal Mas Juan kan bosnya.” Jeni menggeleng-geleng.

“Nah itu dia. Memang agak sakit sih kayaknya.” Nona pun spontan mengalihkan ingatannya beberapa waktu silam saat Aco juga merayunya dengan modus serupa. Beruntungnya saat itu ia gesit memberitahu Dharma dan langsung dibentengi kekasihnya itu dengan berbagai macam petuah-petuah dan nasihat yang akhirnya membuat Nona tak perlu membuang banyak tenaga meladeni sikap sok kecakepannya Aco.

“Aku jamin Elok bakal ditinggal kok.”

“Iya, paling juga Aco cuma coba-coba.”

“Elok bilang dia punya pacar kok. Memang sama-sama aneh sih kayaknya.”

“Ya cocok sudah.” Yang satu main-main, yang satu pun sama.

“Biarin lah, nanti juga kena batunya.”

 

**

            Udara panas hari itu dilawan dengan semangkuk pisang  ijo dan seporsi coto plus iga bakar di sebuah warung makan. Sepanjang turun dari angkot, Aco enggan melepaskan genggamannya dari tangan Elok. Satu hal yang paling Elok suka adalah ini, sentuhan. Ia merasa ketika kekasihnya melakukannya di tempat umum menandakan ada sebuah deklarasi bahwa perempuan ini adalah milikku dan bagi Elok itu penting.

“Suka?” Aco mendapati Elok senyum-senyum sendiri saat Aco semakin kuat memegang tangannya. Elok mengangguk merespon itu.

“Sesuka itu sama aku?” Elok kembali mengangguk. Aco tersenyum lebar seolah menikmati jawaban-jawaban Elok.

“Aku nggak pernah kenal perempuan seceria kamu.” Itu yang meluncur dari mulut Aco kala itu.

*

Kabar kepergian mereka berdua tersiar cepat hingga sampai ke telinga Ratih, entah darimana asalnya. Yang jelas kebersamaan Aco dengan perempuan lain sebelum mereka benar-benar berpisah membawa awan hitam bahkah petir bagi Ratih.

“Nggak bisa banget ya kamu tunggu sebentar lagi?”

“Kenapa harus kamu pamer-pamerin di depan orang lain?”

“Agustus itu nggak lama.”

Berkali-kali Ratih mencoba menghubungi Aco, namun tak jua ia mendapat jawaban. Ketika kekesalan membuncah, keluarlah kalimat-kalimat tidak perlu yang bertujuan menyakiti hati Aco.

“Aku nyesel transferin kamu uang, aku pikir niatmu pergi untuk keluargamu, tapi malah sama cewek lain. Kamu seniat itu ya mau langsung move on?”

Tak jua pesan itu mendapat tanggapan, sementara Ratih menangis sejadi-jadinya. Ada ego yang terlukai, ego harusnya ia yang move on terlebih dahulu, karena ia yang lebih siap dengan perpisahan ini.

Saat sudah kelelahan menangis, Ratih tertidur dengan mata sembab. Ia tiba-tiba terbangun dengan nada pesan yang memang sengaja ia setting cukup nyaring. Pesan dari Aco.

“Nggak kok, dia cuma mau bareng aja kesini. Bukan siapa-siapa. Dusta yang sedikit menenangkan Ratih.

**

Bersama dengan sanak keluarga, Nurdin datang mengunjungi Ratih malam itu. Membawakan sebuah tiket dan bukti pemesanan travel agent, ia dengan sumringah menyampaikan tempat bulan madu mereka. Menceritakan rinci tempat tujuan hingga hal-hal seru yang bisa mereka habiskan. Ratih yang tengah menunggu telpon dari Aco menanggapi Nurdin dengan seadanya. Ia tak begitu antusias. Pikirannya terbagi di tempat lain.

“Kamu sehat kan?”

“Sehat, cuma agak ngantuk.”

“Mau istirahat sekarang?”

“Boleh?”

“Istirahat saja.” Nurdin beranjak dari teras dan membaur dengan keluarga lainnya di ruang tengah. Ratih bergegas ke kamar sebelum keluarga lain mencegatnya dengan banyak pertanyaan. Sayangnya, Fitri ada disana. Perempuan itu mengekori Ratih ke kamarnya dan berusaha membaca situasi.

“Sampai kapan de?”

“Kamu sudah mau menikah.”

“Masih mau ingat-ingat si kampret itu?”

Ratih menggeleng, tatapannya kosong, ia merebahkan diri sebelum matanya memanas dan menangis. Ia menangisi entah apa. Hatinya sedih, terlebih melihat Nurdin yang berlaku teramat baik. Sedang dalam kepalanya masihlah menyimpan Aco, Aco, Aco yang tak pernah melakukan apapun saat ia akan dijodohkan.

"Kenapa dia nggak mau sedikit berusaha kak?”

 

 

 

 

Popular Posts