Sore itu di hari
sabtu, Aco dan Elok mengelilingi jantung kota Balikpapan. Sepanjang jalan
mereka banyak berbincang, walaupun terkadang suara satu sama lain tidak terlalu
terdengar, tetapi mereka terus saja berusaha banyak bicara. Mengomentari
hal-hal yang mereka lihat, membicarakan tempat-tempat favorite, keduanya hanyut
dalam cerita hingga dalam kondisi ini lagi-lagi keduanya terjebak dalam bincang
wisata masa lalu. Aco dengan Ratih, sedang sudah tentu Elok dengan Gardana.
Sekilas, mereka seakan sudah menerima dua nama itu masuk dalam topik obrolan,
tetapi dalam hati terdalam keduanya seperti menyimpan resah. Ada
ketidaknyamanan saat mengingat dua nama itu. Elok sangat terusik, mengingat
bagaimana Aco berpisah bukan karena sudah tak saling cinta, tetapi karena
perjodohan. Sedang Aco sangat tidak senang mendengar nama Gardana, karena
beberapa kali Elok tak sengaja tampak berbinar-binar membahas lelaki itu.
Lelaki yang Elok akui pernah membuat dia merasa sangat bahagia di masa lalu.
Tetapi, tampak di permukaan keduanya terlihat baik-baik saja. Tak ada cemburu, tak
jua keberatan. Mereka bertingkah dewasa mengahadapi itu.
Setelah merasa cukup lelah,
mereka mampir di sebuah cafe dekat mall dan bersantai dengan memesan kopi dan
kudapan. Di salah satu sudutnya, terdapat rak buku yang bisa bebas dibaca oleh
pengunjung. Elok menghampiri rak tersebut, lalu melihat-lihat beberapa judul.
”Eclipse?”
Aco sudah berdiri di belakang Elok.
”Yup. Kamu suka?” Elok bertanya.
”Nonton filmnya.” Aco menjawab.
”Yah siapa yang nggak tau Cullen
family.” Elok tersenyum.
”Aku selalu berangan-angan bisa
hidup selama itu.” Aco berhayal.
”Bisa terbang juga?” Elok
menambahkan.
”Pasti. Aku pengen bisa jadi
hero. Keren kan?” Aco berpose. Elok terkekeh.
”Semacam menyelinap di jendela
cewek yang kamu suka gitu?” Elok tertawa geli.
”Ide yang nggak buruk.” Aco tersenyum mnjawab itu.
Setelah kopi dan kudapan siap,
mereka kembali ke tempat. Elok membuka-buka beberapa halaman di salah satu
novel, sedang Aco meminjam ponsel Elok untuk bermain game. Saat mode pesawat dimatikan,
tiba-tiba ada pesan masuk di line. Aco tak sengaja membukanya. Gardana, lengkap
dengan history chat mereka di malam sebelumnya. Kali ini lelaki itu mengirim
gambar sebuah buku catatan yang tertinggal di studionya.
”Nih
ada chat.” Elok berhenti menatap novel di tangannya dan meraih
ponselnya.
”Oh ini, buku catatanku
ketinggalan berarti.” Elok menjawab setengah deg-degan.
”Nih.” Elok mengembalikan
ponselnya pada Aco seolah tak terjadi apa-apa. Ia lalu lanjut membaca novel.
Line
dibuka Aco hingga history terbawah. Banyak chat yang ia jelajahi hingga
membuatnya kesal sendiri. Ia pun lalu mengalihkan penjelajahannya ke media di line.
Ada banyak sekali foto yang saling mereka berdua kirimkan semasa pacaran, di
begitu banyak momen, Aco kali ini sulit menahan rasa kesalnya.
”Aku
mau kamu hapus.” Aco berbicara dengan masih melihat layar ponsel.
”Hapus apa?” Elok bertanya juga
sambil menatap novel.
”Your
ex. Too many his photo here.” Aco meletakkan ponsel Elok di meja dengan sedikit
melemparkannya.
”Ok
nanti kuhapus.” Elok mengiyakan saja. Mereka ada disana hingga senja,
lalu memutuskan pulang sebelum gelap.
Sesebal apapun Aco pada Elok, ada
satu hal yang pasti ia lakukan untuk Elok. Memasangkan helm. Itu hal kecil yang
membuat Elok risih sekaligus senang.
**
Malam
itu, seperti biasa Aco menelepon Elok sebelum tidur. Untuk kali pertama Aco
menyampaikan ketidaksukaannya pada Gardana.
”Aku mau
semua foto yang di sosmed dihapus juga. Semua yang ada dianya.” Aco menyatakan
itu dengan tegas.
”Oke.
Tapi kalau foto event yang ramai-ramai aku nggak akan hapus.” Elok meminta
keringanan.
”Kenapa?
Dihapuslah! Atau kamu masih mau ingat-ingat dia?” Suara Aco kali ini dengan
nada meninggi.
”Bukan
gitu, itu kenang-kenangan.” Elok beralasan.
”Pokoknya
hapus! Kalau nggak bla bla bla” Aco membuat ultimatum ini dan itu. Elok memilih
mengiyakan saja.
Setelah
pamit tidur, Elok mencari sebuah SD card dan menyalin semua foto yang dimaksud
Aco ingin dihapus. Elok memang melenyapkan itu dari ponsel dan laptopnya,
tetapi ia masih punya salinannya di sebuah SD card dan ia selipkan di balik
susunan pakaian di lemarinya, ia bungkus dengan kertas dan ditempel dengan
lakban. Sebuah cara putus asa yang bisa dilakukan Elok. Sejak saat itu
pembahasan tentang foto sudah tak lagi dipermasalahkan.
**
Afif
sudah kembali dari luar kota, ia sudah tidak kaget saat mendengar desas-desus
tentang kedua kawannya.
”Official?”
Afif bertanya langsung pada Aco.
”Apaan
sih. Berteman doang.” Aco mengelak.
”Lah itu apaan di IG?” Afif tak
percaya.
“Ya deket aja,
belum jadian.” Aco beralasan.
”Gantung?”
Afif benar-benar penasaran.
”Nggak
ada tembak-tembakan pokoknya.” Aco tersenyum.
”Iya
paham, langsung jadi gitu aja kan? Iya dewasa.” Afif berbicara dengan nada
mengejek.
”Senyum-senyum
mulu pasangan baru.” Bu Santi berdiri di depan mesin fotokopi sembari melihat
ke arah Aco dan Afif.
”Jelas
bu.” Afif menjawab, telunjuknya ia arahkan ke Aco yang duduk di sampingnya. Bu Santi
tersenyum. Aco melihat ke arah Afif dan Bu Santi bergantian, pura-pura tak sadar
bahwa ia lah yang dimaksud.
Elok
berjalan menuju mesin fotokopi membawa setumpuk dokumen di kedua tangannya.
”Dateng
nih ceweknya.” Bu Santi berbicara pelan.
”Mbak El
mau ngopi?” Bu Santi bertanya sambil senyum-senyum.
”Iya bu.”
Elok mengangguk, sambil sesekali ekor matanya mengarah ke meja Aco.
”Oh
silakan mbak, kalau perlu bantu Mas Aco bilang ya.” Bu Santi tiba-tiba
berkomentar demikian. Elok pura-pura bingung.
”Iya kan
co?” Bu Santi melihat ke arah Aco dengan intimidatif. Aco memasang ekspresi
bingung.
”Jawab iya dulu!” Bu Santi semakin
intimidatif.
“Iya deh iya.” Aco pasrah. Bu
Santi bersorak girang tak jelas, hingga beberapa karyawan lain melihat ke arah
mereka. Dinda dan Safira saling pandang dengan kode yang dipahami keduanya.
Jenni terlihat jijik melihat pemandangan itu. Dharma, Iyan, dan Tigor saling
pandang sekaligus mengonfirmasi hasil taruhan mereka tempo hari. Suasana di
ruangan itu benar-benar membuat Elok dan Aco menjadi kurang nyaman. Sudah jelas,
banyak yang tak senang dengan hubungan itu.
**
Setiap
selasa malam, Aco punya kegiatan bermain futsal. Sejak hubungannya dan Elok
terbuka untuk umum, Aco tak segan mengajak Elok ke lapangan. Elok pun memilih
tak malu lagi untuk menampakkan diri sebagai kekasih Aco. Tetapi malam itu Elok
kelelahan. Ia memilih untuk tidak ikut menemani Aco.
”Cuma
sebentar kok mainnya.” Di
balik telepon Aco masih membujuk.
”Aku ngantuk
banget.” Elok masih menolak ikut.
”Kamu
mau langsung tidur? Jam
segini?” Aco bertanya tak percaya.
“Iya sayang,
aku ngantuk banget.” Elok membuat agar suaranya terdengar lemas.
”Kamu
mau telponan sama siapa?” Aco bertanya curiga. Ia ingat history panggilan Elok
tempo hari dengan Gardana.
”Nggak
ada.” Elok mengelak.
”Kamu
mau ngobrol sama mantanmu? Atau
mau telpon Dharma yang entah bahas apa.” Aco mengeluarkan unek-uneknya. Elok
langsung merasa bersalah.
“Aku nggak bahas macem-macem kok, dia
cuma kasih tau kalau dia lulus, udah itu aja.” Elok menjelaskan.
“Yakin? Nggak ada alasan
lain?” Aco terus memojokkan.
”Iya.”
Elok menjawab tegas.
”Dharma?”
Aco mengalihkan topik.
”Dia
bahas kamu deketin Dinda.” Elok menjawab pelan.
”Oh
shit. Mereka gila ya? Sepasang sama-sama halu.” Aco terdengar kesal. Elok
memilih diam.
”Aku
nggak suka kamu ngobrol sama dia.” Aco berbicara dengan penuh penekanan.
”Iya,
udah nggak lagi.” Elok memilih pasrah saja.
”Aku ke
tempatmu sekarang.” Aco mematikan panggilan itu.
Beberapa
menit kemudian Aco mengirim pesan.
”Aku di
depan.” Elok bergegas keluar menghampiri kekasihnya. Aco menyodorkan ponselnya
dan langsung mengambil ponsel Elok. Malam itu dengan pasrah Elok membiarkan
mereka bertukar ponsel. Entah apa yang dipikirkan kekasihnya, yang jelas terasa
Aco takut Elok menelepon orang lain selama dia futsal, dan itu terasa aneh bagi
Elok. Kekhawatiran berlebihan, yang anehnya Elok nikmati.
**
Pukul 23.30
WITA ponsel Aco berbunyi, sebuah panggilan dari kontak bernama Alice, entah
siapa.