Linda Maryani Puisi
Sabtu, 24 September 2022
Rindu
Kamis, 04 Agustus 2022
Privasi
Rabu, 03 Agustus 2022
Merasakan Abu-abu
Ada saat dimana udara terasa biasa-biasa saja
Tidak pun dingin, tak jua panas
Menjemukan
Aku tak suka biasa-biasa saja
Ada hitam ataupun putih
Mengapa kita merasakan abu-abu?
LM
Kamis, 28 Juli 2022
Mencintaimu dengan totalitas
Sabtu, 16 Juli 2022
Lembar Baru
Kamis, 07 Juli 2022
Khawatir Jika Tidak Khawatir
Rabu, 26 Januari 2022
Namamu
Sabtu, 27 November 2021
Jika Kita Tidak Berpisah
Rabu, 17 November 2021
Jika Kita Tidak Berpisah
Selasa, 19 Oktober 2021
Kacau
Bumi seperti sedang berlomba dengan planet lain, ia berputar lebih cepat setiap harinya hingga waktu dikuasai kesempatan yang sudah terlewat, atau penyesalan yang sulit diperbaiki.
“Berisik.” Suara parau setengah berteriak, diikuti suara
benturan ponsel yang mendarat di dinding lalu terkapar di lantai tak berdaya.
Mataku masih terpejam lalu tiba-tiba aku tersadar akan apa yang baru saja
kulakukan. Sial. Kupungut ponselku yang masih kokoh, ia tetap tegar
mengeluarkan bunyi alarm yang menggangguku tetapi anehnya membuatku lega.
Alhamdulillah, anggaran untuk beli ponsel baru belum ada bahkan hingga setahun
ke depan. Setidaknya aku harus merawat ponsel ini agar tetap bisa kugunakan
untuk menerima telepon atau membuka whatsapp. Dengan penuh upaya aku berjalan melewati
baju-baju berserakan dan bungkus sisa makanan yang belum kubuang, menyalakan
lampu LED 10 watt yang dalam sekejap mengubah kamarku yang suram tampak terang
benderang. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju kamar mandi, merasakan air
dingin menyentuh tubuhku jengkal demi jengkal, lalu konser pun dimulai.
Neoyeossdamyeon eotteol geot gata
Ireon michin naldeuri ne haruga doemyeon marya
Neodo namankeum honja buseojyeo bondamyeon alge doelkka
Gaseumi teojil deut
Nal gadeuk chaeun tongjeunggwa
Eolmana neoreul wonhago issneunji
Naega neoramyeon geunyang nal saranghal tende
Suara-suara merasa merdu dan lantang dipantulkan oleh
dinding keramik kamar mandi yang jika ia bisa bicara pasti akan protes setengah
mati karena nada-nada sumbang yang setiap hari ia dengar. Belum lagi lirik yang
tidak begitu jelas menambah rumah berantakan itu seketika terasa semakin kacau.
Itulah gambaran kehidupan pagi butaku, paska aku
ditinggalkan.
Sabtu, 16 Oktober 2021
Pola dan Ritme
Sabtu, 09 Oktober 2021
Menjadi Penulis - Catatan
Rabu, 06 Oktober 2021
3
Seolah, melarikan diri adalah pilihan satu-satunya. Lalu dengan itu Taji berharap ia berhasil keluar dari bayang-bayang pertemuan menyebalkannya tempo hari dengan seseorang. Orang yang sayangnya sulit ia benci walaupun ia punya banyak alasan melakukannya. Jogja, lagi-lagi menjadi pilihannya kali kesekian. Bukan untuk menikmati kotanya yang nyaman, bukan pula berniat offroad di gunung merapi, atau menjejaki satu persatu keindahan di pantai selatan. Bukan. Kali ini Taji punya misi lain.
Tiba di Bandara Adi Sutjipto pukul 11 siang, Taji disambut para supir taksi dan travel yang menawarkan jasa. Perempuan dengan kacamata hitam dan rambut tergerai sebahu itu memilih mampir di sebuah kedai kopi di kanan pintu keluar dan menunggu waktu yang tepat untuk beranjak agar pas dengan jam check-in nya di hotel. Memesan segelas latte dan sebuah sandwich, Taji menikmati waktu itu dengan perasaan tak keruan. Di satu waktu hatinya menghangat tentram dan penuh semangat, di waktu yang lain ia merasa kesepian dan bertanya-tanya apakah yang ia lakukan sudah tepat atau tidak, tak jarang kedua perasaan bertolakbelakang itu menyerangnya bersamaan hingga ia ingin berteriak dengan lantang. Taji menunduk, menumpuk kedua lengannya di atas kepala, kebingungan menahan perasaan yang ingin tumpah ruah namun tak mungkin ia lepaskan di keramaian.
"Mbak Taji?" Suara seorang lelaki berbarengan dengan sentuhan di pundak sebelah kirinya memaksa Taji menegakkan kepala.
"Iya."
"Hanur mbak. Ingat?"
"Suboffice?"
"Iya mbak. Pulang kampung?"
"Nggak, cuma liburan."
"Sendiri?" Hanur mengedarkan pandangannya.
"Iya, mau nemenin?" Taji berniat bercanda.
"Boleh mbak, saya juga nggak sibuk." Taji tertawa mendengar jawaban itu lalu menjelaskan kegiatannya di Jogja.
"Nggak mas, kayaknya kegiatanku bakal padat, karena ada workshop nulis."
"Oh ya? Di daerah mana?"
"Taman Budaya."
"Oh iya, kabarin aja kalau mbaknya perlu ojek atau tour guide. Saya available selama disini."
"Makasih mas." Taji tersenyum sungkan. Beberapa saat setelah mengobrol, akhirnya Hanur pamit.
Berbincang dengan Hanur tanpa sadar membuat Taji sedikit lupa dengan keresahannya beberapa saat sebelumnya. Ia lebih tenang, saat ia sadari perasaannya itu Taji tersenyum. Ternyata lelaki yang sepertinya beberapa tahun lebih muda itu cukup asik mejadi teman mengobrol.
Menyeret koper, Taji bergegas menuju salah satu hotel di kawasan Taman Budaya yang sudah ia pesan 2 hari sebelumnya. Hotel populer dengan review terbaik sengaja ia pilih, agar ia benar-benar merasa sedang berlibur.
***
Suara sirine mobil patroli beradu dengan suara mas-mas penjaja kerupuk yang mengetuk setiap kaca jendela mobil. Vimana yang terjebak tepat di belakang mobil sport single cabin berwarna putih tengah melamun dengan kaki kanan menahan keseimbangan motor honda tua tahun 1988 yang ia beli murah dari kawan yang mutasi. Lamunan usang tentang orang yang membuang-buang uang dengan memakai mobil mahal di pelosok, sangat tidak efektif, batinnya. Setelah lampu hijau menyala, Vimana lanjut mengelilingi kota melewati jalan-jalan tikus dan disaat itulah waktu bagi Vimana untuk berpikir.
Daripada kuliah S2, Vimana lebih ingin menikah. Sepulang bekerja disambut perempuan cantik berhijab yang menggendong anaknya, hidangan makan malam yang sudah tersedia, kopi hitam dan kudapan yang menemaninya merenungkan malam, hari minggu menyenangkan yang diisi jalan-jalan kecil di pendopo sambil melihat-lihat orang-orang mengantre makanan dan olahraga. Tidak lupa, ia tengah bermain dengan anak lelaki kecil nan lucu di atas rumput hijau di bawah pohon ketapang. Itu masa esok yang lebih ia inginkan, menjadi biasa-biasa saja. Tetapi, lamunan sederhana itu kembali rusak dengan suara Warsi yang terngiang-ngiang di kepalanya. Suara-suara bermode template yang kata perkata ia hapal setengah mati. Anehnya, sekalipun terganggu Vimana tetap rindu. Ia kangen Jogja.
Sebelum melanjutkan pikirannya, Vimana yang kini tengah berhenti tepat di bawah pohon beringin di depan masjid besar merogoh sakunya yang bergetar. Jendra.
"Opo jend?"
"Dimana kau lay?"
"Semedi."
"Jadi tidak?"
"Apanya?"
"Sudah pikun kau? Marrygold."
"Beneran jadi?"
"Cepat sudah."
"15 menit."
Vimana tanpa pikir panjang melajukan motornya. Pikirannya sudah tidak normal, hatinya berbunga-bunga, perutnya mulas berdebar, sesekali ia merinding membayangkan momen yang beberapa menit lagi akan terjadi. Bertemu dr Marrygold, idolanya.
Kurang dari 15 menit, motor tua itu berhasil menempuh 13 KM. Di parkiran, Jendra sudah rapi menunggu Vimana.
"Ayok."
"Ganti baju dulu lah." Jendra melirik celana pendek butut berbahan jeans berwarna hitam yang dikenakan Vimana. Memang ia masih terlihat tampan, tapi bertemu idola setelah sekian lama buat Jendra penampilan itu tidak cukup. Setidaknya harus lebih rapi.
"Ga harus pakai kemeja kan?"
"Tuk se do." Jendra ketus.
Vimana berlari ke kamar dan kembali tak lama setelah itu dengan setelan yang jauh lebih lumayan walaupun alas kakinya masih berupa sandal jepit. Jendra pasrah.
Suara dr Marrygold sudah mengudara di acara kesayangan mereka. Khusus hari minggu, jam siarnya memang berubah menjadi siang hari. Khidmat Vimana mendengarkan kata demi kata sembari membayang wajah seperti apa yang sebentar lagi ia lihat. Ia kesulitan mengatur nafas, jantungnya berdetak kencang sampai ia merasa Jendra bisa mendengarnya. Vimana gelisah, tapi senang, tapi ragu, tapi ah langsung ia singkirkan jauh-jauh kecemasan tidak berdasar yang timbul tenggelam di kepalanya.
"Vim, kalau bu dokter jomblo gimana? Takis nggak?"
"Sinting."
"Kan andai-andai, kau dengar suaranya saja sudah macam cacing lapar."
"Bayangin sebelum tidur didongengin."
"Dasar halu."
"Kamu yang mulai."
"Tak bisa kali kau kupancing ya."
Vimana malah senyum-senyum menghayalkan entah apa. Iseng Jendra mengganti saluran radio ke usb. Terdengar mengalun suara intro dari lagu Killing is my bussiness... and bussiness is good. Jendra dan Vimana bergerak serentak dalam lagu jedag-jedug yang liriknya mereka tak dengar jelas namun mereka sepakat lagu itu punya magis tersendiri. Megadeth, satu-satunya kesamaan kedua pemuda itu.
***
"Wajib mampir lo ya."
"Siap bu."
Belum sempat Taji meluruskan pinggang setelah lelah menempuh perjalanan dan baru selesai membersihkan diri, ia menerima panggilan video dari Warsi. Fasilitator yang akan mengisi workshopnya selama di Jogja. Beberapa kali bertemu dalam workshop menulis di Bali dan Bandung sekaligus menjadi penggemar ulung karya-karya Warsi, Taji beruntung bisa menjadi dekat. Warsi memperlakukannya seperti kawan, bukan penggemar. Dan sudah tentu, saat melihat nama Taji ada di daftar peserta, Warsi bersemangat menyambut gadis itu sebagai tuan rumah. Menghabiskan malam membahas cerita Taji yang tak ada habisnya, kisah cinta ala remaja yang selalu digambarkan Taji super menyakitkan, namun bagi Warsi yang hidup lebih dari setengah abad semua itu hanyalah secuil dari problematika yang tak ada apa-apanya dibanding apa yang akan dihadapi di kehidupan selanjutnya. Keinginan Taji yang tak pernah berujung, ia bangun terus setiap keinginan demi keinginan, ia belajar terus-menerus, Taji yang penuh dengan energi, dan Warsi merasa ada dirinya dalam diri Taji, perempuan muda yang terus belajar sesuatu seolah ia akan hidup selamanya.
"Andai dia adalah putriku."
To be continue..
Selasa, 07 September 2021
Punggung - LM
Lelaki diibaratkan sebagai tulang punggung, sedang perempuan menjadi tulang rusuknya. Ketika keduanya bertemu, saat itulah disebut jodoh. Lalu bagaimana ceritanya ketika lelaki dan perempuan ini bertemu sebagai sesama tulang punggung? Bahkan kutub yang sama saja saling tolak-menolak, apalagi manusia?
-2016
Hanya Mencintai Sekali - Catatan
"Pada beberapa sahabat aku memang pernah berkata, bahwa dalam hidup kita hanya pernah mencintai sekali, kepada hanya satu orang, dan itulah yang paling jujur. Jika lebih dari itu, maka itu hanyalah sebuah kompromi."
Beberapa hari terakhir, kalimat di atas langsung punya sanggahan. Keyakinan selama bertahun-tahun itu bergeser, pandangan baru muncul.
"Benar dalam hidup kita hanya mencintai sekali, tetapi bukankah kita bisa hidup berkali-kali?"
Mematikan diri kita yang lama beserta kenangannya, dan menghidupkan diri kita yang baru beserta (belum ditemukan kata yang tepat untuk melengkapi kalimat ini).
07.09.2021
Tuhan Tidak Bernego - Catatan
Jumat, 27 Agustus 2021
2
Pagi-pagi sekali saat fajar belum berani lahir, halimun belum hilang sempurna, dan dingin masih merangkul kuat. Taji sudah menjejaki jalanan menuju halte bus terdekat. Ia memperhitungkan langkah kaki, jarak, dan waktu tempuh yang dibutuhkan untuk sampai di halte. Setelah itu ia menghitung dengan waktu yang tersisa sembari melihat jam di tangan kirinya, saat mengingat-ingat jadwal keberangkatan bus, ia panik dan sedikit berlari agar tidak tertinggal. Safety shoes, helmet, vest, dan ransel berisi travel toiletries & buku catatan cukup membuatnya merasa kewalahan ketika berlari. Tetapi, untuk mencapai sesuatu, memang harus berusaha sekeras demikian bukan?
Di pagi yang tenang itu, Taji sudah harus berkejaran dengan waktu. Tidak ada kompromi. Jika waktu sedang terhimpit, yang lapang pun seketika berubah menjadi sempit. Bus dengan nomor lambung 118 berhenti tepat di depan halte, ia masih berlari di belakang bus sambil melambai-lambaikan tangan berharap driver bisa melihat dari spion. Lampu sein kanan sudah terlihat, bus tampak sudah ingin segera meninggalkan halte sesaat setelah penumpang terakhir menutup pintu. Taji hampir menyerah, tapi tekadnya mencegah. Sebelum benar-benar kalah, baginya pantang untuk berserah. Sembari berlari dengan tenaga yang tersisa, dalam benak gadis itu membacakan mantra-mantra yang ia yakini mampu membuat detik seakan berhenti. Hening, hingga sepersekian detik kemudian di belakangnya melajulah beberapa mobil yang dengan kecepatan lumayan tinggi menguasai jalan, mereka datang seperti arak-arakan yang sedang melaju kencang.
Dengan mantra-mantra dalam otaknya, Taji merasakan betapa mobil-mobil yang melaju itu sedang menjadi superhero yang membantunya membekukan waktu sejenak, waktu bagi bus 118 yang sepertinya belum memiliki kesempatan untuk merebut barang sedikit badan jalan, dan disanalah semangat untuk mengejarnya berhasil.
Terengah-engah gadis itu membuka pintu bagian belakang bus, mengatur nafas perlahan, meletakkan atribut-atribut yang memungkinkan untuk di lepas, lalu duduk di salah satu seat kosong di sebelah kanan. Beberapa rekan seperti sudah terbiasa dengan pemandangan itu, dan beberapa yang lain masih mengoceh mengomentari ia yang hampir setiap hari terlambat.
"Begadang terus." Seru Pak Kalbi dengan nada menyindir. Taji memilih memejamkan mata setelah memasang seat belt lalu bersiap untuk tidur. Kegemarannya yang sudah banyak orang tau adalah tidur saat perjalanan. Di bus, di mobil, di becak, di angkot, di pesawat, di kapal, di delman, di bajaj, di kereta, bahkan di motor pun ia selalu merasa mengantuk. Sesuatu yang beberapa orang menyayangkannya, karena ia akan melewatkan banyak hal. Tetapi, begitulah Taji. Baginya, bus pagi memang waktu yang sempurna untuk tidur. Merasakan keheningan pagi yang didominasi suara-suara para pekerja yang sudah berjuang mengalahkan ayam. Rasanya tidur adalah reward terbaik untuk diri sendiri yang sudah berhasil bangun pagi.
Di sudut lain namun pada bus yang sama, ada Vimana yang memperhatikan kehadiran Taji. Isi kepalanya lagi-lagi menemukan ketidaksukaannya pada gadis itu.
"Dasar pemalas." Batinnya. Namun aroma floral kemudian berubah menjadi tonka bean lalu tercium seperti aroma vanilla, berubah-ubah menyeruak dari tubuh gadis itu, menguasai seisi bus, menghanyutkan Vimana menjauh dari fokusnya. Aroma ini tidaklah asing, mengingatkan ia pada sesuatu di masa lampau, tapi bahkan ia tak ingat persis kenangan apa itu.
Namun, konsentrasi Vimana untuk mengingat-ingat apa yang indentik dengan aroma ini terganggu oleh Jendra. Lelaki berisik ini sudah membuat gaduh suasana di bus, ia membangunkan Taji dan meghujani gadis itu dengan ragam pertanyaan.
"Apa sih Jend?" Taji yang sudah setengah tertidur kesal dengan Jendra yang duduk di belakangnya. Lelaki itu menepuk-nepuk bahu Taji, juga terus mengoceh tak kenal sungkan.
"Kenalin lah, nanti kamu juga kukenalin ke temanku."
"Nggak pokoknya."
"Ayolah, please."
"Nggak bisa Jend." Taji kurang nyaman mengatakan bahwa sahabatnya, Jube, sudah menikah.
"Jangan-jangan kamu masih cemburu ya aku pengen kenal temanmu."
"Jangan ngadi-ngadi ya." Taji langsung melotot, hilang kantuknya seketika. Kesal sekali ia dengan Jendra yang beberapa bulan sebelumnya memang sempat mendekatinya. Melihat reaksi Taji, Jendra tertawa terbahak-bahak. Di kursi belakang, Vimana hanya geleng-geleng kepala, heran melihat perilaku temannya.
Di antara banyak wanita yang Jendra dekati, mungkin Taji salah satu yang tersulit. Sikapnya yang selalu jutek dan terkesan jijik dengan Jendra membuat Jendra semakin senang menggoda gadis itu, dijadikan lelucon, dan ekspresi Taji ketika marah baginya adalah moodbooster. Oleh karena itu, sekalipun Jendra bertekad untuk berhenti menggoda gadis-gadis, niatnya mengurangi kegemaran membual sana-sini, dan menghindari polah tingkah ala cowok flamboyan lainnya. Jendra tak bisa berhenti melakukan itu pada Taji. Taji adalah pengecualian.
1
Malam kian menjadi-jadi, ia kini tak segan menautkan sepi setiap kali gelap berganti. Suara adzan maghrib menjadi pengingat, bahwa bisa saja di sini kita mati sendiri dalam kesepian dan tak ada yang bersedih. Betapa menyebalkan kehidupan masa muda yang begitu tua ini. Tua yang selalu didengung-dengungkan oleh orang lain. Sementara, di usia 28 tahun ia masih merasa muda. Ia masih percaya pada mimpi-mimpinya, percaya pada apa yang ia ingin lakukan di masa depan, warisan yang ingin ia tinggalkan sebelum mati, mimpi-mimpi besar yang membuatnya tak pernah merasa menua. Ya, ia adalah perempuan muda hebat, setidaknya bagi dirinya sendiri.
Keluar dari jeratan kota kecil, menjelajahi dunia dengan berani, hidup dalam gemerlap hebat menjadi diri sendiri, mimpinya yang orang lain tak akan mungkin paham. Tapi ia paham, ia tidak boleh memaksakan diri menjadi orang lain hanya karena lingkungan menginginkannya.
"Kapan cuti nak?"
"Masih lama bu."
"Bawa calon sekalian ya."
"Nanti kutelpon lagi ya bu, Assalamualaikum."
Topik membosankan yang menghantui hari-hari Taji, didengarnya dari berbagai manusia dalam hidupnya. Dari keluarga hingga orang setengah asing, dari yang dekat hingga yang bukan kerabat, semua tak tahu malu membahas yang satu itu, JODOH.
Taji seperti orang linglung, ia mondar-mandir kamar mandi lalu ke tempat tidur, dari tempat tidur ia duduk di kursi tempat ia bekerja, dari kursi ia berdiri membuka jendela, ia tutup lagi jendela lalu berbaring di tempat tidur, begitu terus-menerus hingga labuhan akhirnya adalah kamar mandi. Di depan cermin lama ia melihat dirinya sendiri. Bintik-bintik hitam di wajah, sedikit keriput dan lingkaran hitam di sekitar mata, komedo yang berkembang biak, pori-pori yang kian membesar, warna kulit wajah yang tidak merata, bibir yang pecah-pecah, tak lupa semua itu dilengkapi jerawat yang timbul tenggelam di beberapa titik. Taji merasa jelek.
Masih 60 menit menuju pukul 22.00 WITA, artinya ia masih punya waktu berjalan-jalan keluar kamar mencari udara segar, memulihkan isi kepala yang sudah krisis menuju ketidakwarasan. Mengenakan piyama tidur, jaket denim oversized, dan sandal jepit berwarna mint andalan. Sengaja, ia tinggalkan ponsel di kamarnya.
Dua pohon ketapang tinggi menjulang di depan gedung, di balik daun-daunnya menyembul cahaya bulan malu-malu, bulan separuh. Taji duduk di salah satu kursi di sudut taman, menaruh banyak rasa sepi, kerinduan yang entah pada siapa, dan hidup membosankan yang segera ingin ia akhiri. Ia menangis.
Beberapa menit kemudian, Taji menegakkan kepalanya, menoleh ke belakang, mengingat-ingat waktu yang tak pernah mau menunggu, waktu yang tak bisa diulang, waktu yang terus mengejarnya, usianya kian banyak, tetapi keinginannya belum terealisasi satu pun. Kali ini tangisnya mereda, kalau hanya ia ratapi bahkan mungkin hingga usia 50 tahun ia tak akan jadi apa-apa. Ia berdiri, kembali ke kamar, berpikir untuk tidur nyenyak dan keesokan harinya bangun dengan tenaga berlipat.
Aksar Vimana.
Diteror sang ibu untuk lanjut kuliah S2, mulai dari program beasiswa hingga ibunya dengan tangan terbuka ingin bertanggung jawab penuh akan biayanya. Atau jika itu sulit, Warsi selalu mengarahkan Vimana untuk mengeksplor bakatnya yang lain, banyak belajar, mengikuti pelatihan, workshop, seminar, banyak mencari pengalaman, relasi, apapun itu asalkan hal-hal positif. Keinginannya satu, anak tunggalnya itu jadi seseorang yang luar biasa atau minimal tidak jadi karyawan biasa.
"Vim, ibu pengen kamu growth, punya value, berpikir lebih kritis, ambisius, visioner, bla bla bla." Kata-kata Warsi yang membuat Vimana tidak nyaman. Ia memang hanya ingin hidup biasa-biasa saja. Tetapi, Vimana tak pernah menemukan alasan paling masuk akal untuk pilihannya itu. Alhasil, ia hanya terus menjadi bulan-bulanan sang ibu yang memang ia akui, ibunya luar biasa hebat.
Langit-langit kamar memantulkan cahaya dari LED oil diffuser berwarna gold dan aroma jasmine merebak menyempurnakannya. Vimana fokus menatap langit-langit, ia ingin berpikir tetapi otaknya sulit berpikir, ia ingin mendalami tuntutan sang ibu tetapi sulit masuk ke dunia itu. Entah mengapa ia tak bisa menjadi ambisius, itu tak mungkin, itu tak perlu, hidup bukan tentang itu kan? Seribu kali pun ia pikirkan, Vimana tetaplah menyerah dengan pikirannya. Dalam otaknya terlalu kuat tertanam apa yang ia yakini, dan sang ibu seharusnya tak boleh mengusik itu. Tak ada keraguan sedikitpun, Vimana akan tetap pada prinsipnya, hidup biasa-biasa saja.
Jendra Apriadharma.
Di usia hampir 35 tahun lelaki satu ini memang tampak masih bocah. Sikapnya yang terlalu ramah, supel, flamboyan, dan dikelilingi perempuan-perempuan membuatnya dilabeli playboy oleh orang sekitar. Tetapi, Jendra tak pernah risih, justru cenderung bangga. Seringkali ia katakan bahwa perempuan adalah godaan terbesar yang tak mungkin bisa ia lawan. Perempuan seperti candu, makin ia hindari, ia akan semakin sakau.
Dan, kesenangan itu sayangnya tidak bertahan lama, ada satu titik dimana ia mulai stress akan hidupnya. Ia ingin sendirian, ingin banyak merenung, ingin menghabiskan energinya untuk dirinya sendiri, tak melulu menyenangkan orang lain.
Di dalam kamar, Jendra membuka jendela, menyulut sebatang rokok, menyeruput kopi dingin yang sudah dibiarkannya sedari tadi. Ia juga mematikan paket data ponselnya, berharap tak ada yang mengganggu. Otaknya ia biarkan tak memikirkan apapun, tetapi mana ada manusia yang pikirannya kosong? Ia berharap ada alkohol di depannya, meminum hingga ia tak sadar, tapi di gedung ini jelas tidak mungkin.
"Mas, kalau mau ngerokok jangan di kamar." Teriakkan penjaga mess dari luar gedung mengagetkan Jendra, ia refleks menutup jendela dan membuang puntung rokoknya. Saking terburu-burunya Jendra menjatuhkan gelas kopi di depannya. Pecahan gelas keramik menyebar di lantai kamar.
"Sial." Batinnya.
Chaniago.
Ekonomi, ekonomi, ekonomi. Permasalahan yang tak pernah pergi dari rumah tangganya yang lebih dari 20 tahun itu. Andai bisa mengulang waktu, Chan ingin sekali menjadi lelaki muda yang banyak belajar financial, ia ingin punya tabungan cukup sebelum menikah, ia ingin punya usaha, ia ingin menghasilkan banyak uang, agar ketika anak-anaknya sudah mulai hadir ke dunia ia tidak pusing perihal popok, susu, biaya sekolah, biaya kuliah, cicilan rumah, cicilan mobil, biaya kos anak, biaya pulsa, kuota internet, dan lain-lain. Ia lelah hampir sepanjang 20 tahun selalu membahas uang uang uang dengan sang istri, Norma. Mengapa semua selalu serba kurang? Padahal jika dibandingkan awal menikah, gajinya saat ini jauh bertambah.
Kamis, 01 Januari 2015
quotes
#onestepmore , makassar trip 01.01.2015
Popular Posts
-
I knew a boy once, when I was small Aku mengenal anak lelaki, ketika aku masih kecil A tow-head blond, with eyes of salt Berambut pirang, d...
-
Pernah berjuang sedemikian Hingga menyerah perlahan Waktu yang mereka bilang penyembuh Kutunggu hingga aku merasa tak lagi butuh Aku tidak p...
-
Besok saat kita sampai sudah Tak lagi mandi dan tidur sebagai pemisah Tak lagi perlu panggilan telpon bersusah-susah Hilang resah gel...
-
Your words are bullets Piercing through my chest At times I can bare the pain Now I can't take it no more My words are missils Ready to ...
-
Setiap kali hati ini terasa sesak, sakit, sedih, ingin berontak entah pada apa. Yang bisa kulakukan hanya berdoa. "Semoga kita dimudah...
-
Dibanding lembur, aku lebih senang membaca ulang pesan-pesan kita beserta rencana-rencananya. LM
-
I see you in all my waking days And when I'm down Your smile will light my heart like sunrays I feel you even when you far away Before ...
-
Hampir setiap malam, kulit, tubuh dan tulangku berperang melawan beku, jiwaku bermesraan dengan sedih, sedang hatiku kubiarkan merana ditema...
-
Drama perpisahan untuk kali pertam a dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...
-
Jika mencuri ilmu dari seseorang sulit dilakukan dengan adab, maka taktik berikutnya ialah dengan mendebat. Mungkin banyak orang-orang y...