"Aku sudah nggak bisa ngelak lagi." Kalimat terakhir Giri sebelum panggilan video itu terputus. Pembahasan sensitif itu nyaris selalu menyisakan rajuk-merajuk. Tetapi entah mengapa baik Giri maupun Elok kekasihnya gemar menyelipkan topik itu dalam setiap kesempatan.
Memasuki bulan ke delapan Giri bekerja di sebuah perusahaan supplier makanan di Kotagede. Ia sudah mulai mendapat tawaran untuk pindah ke beberapa cabang lain. Semarang, Solo, bahkan ke luar Jawa. Namun, semua tawaran itu bernasib sama, Giri menolaknya mentah-mentah. Alasannya karena tak ingin meninggalkan Jogja.
Elok pun sama, ia bertahan di Jogja bekerja sebagai pramusaji di salah satu restaurant masakan Jawa di daerah Monjali. Paska kelulusan tahun lalu, Elok sudah diminta kakaknya untuk pulang ke Banyuwangi namun ia pandai mencari alasan agar kepulangannya kesana bisa ia tunda sebisa mungkin. Alasan demi alasan sudah tertulis rapi di kepala Elok, jika itu adalah skripsi maka Elok sudah siap sidang bahkan tanpa latihan. Urusan berbohong? Elok tak ada lawan.
Sampailah pada masa dimana Giri tak bisa lagi menolak titah dari kantor. Pindah atau keluar? Pindah berarti melawan Elok, atau keluar tapi tanpa tabungan. Masa-masa itulah yang membuat hubungan 4 tahunnya dengan Elok gonjang-ganjing tak jelas.
Pukul 4 sore, dari rumah orang tuanya di kawasan Godean, Giri melajukan motornya menuju kos-kosan Elok di Monjali. Di kepalanya sudah terpikir bujukan demi bujukan pada Elok. Sudah bisa ia tebak bahwa Elok saat ini sedang menggerutu di kamar dan dengan sengaja mengabaikan panggilan.
Tiba di halaman kos, muncul Tia dari pintu depan.
"Loh Elok lagi wae metu mas."
"Neng ndi?"
"Jare arep nang Tugu, tak kiro janjian ro sampean."
"Nongkrong nang Tugu maksude?"
"Ora mas, nang stasiun. Nggowo tas gedhe kok."
Mendengar itu bergegas Giri menuju Stasiun.
Dari kejauhan, tampak Elok masih berdiri di depan loket mengenakan terusan bermotif polos berwarna hitam. Giri masih tak mengerti kemana kekasihnya itu akan pergi, tetapi kuat dugaan ia akan pulang ke Banyuwangi. Dari jadwal keberangkatan kesana yang Giri ketahui hanya pada pukul 18.40 setiap harinya berarti masih ada waktu baginya berbincang sebelum batas akhir check in.
"Kalau kamu marah aku pindah, pikirkan lagi rencana kita." Pembukaan dari Giri yang merasa perlu to the point mengingat waktu yang amat sempit.
"Aku bisa aja menolak, terus resign. Tapi kamu tau tabunganku belum cukup untuk buka usaha." Tambah Giri, kali ini dengan nada bicara yang semakin halus.
"Banyak pekerjaan disini asal kamu nggak pilih-pilih."
"Tapi cuma disana aku bisa belajar sesuai bidang yang aku suka."
"Kamu nggak pernah tanya bidang yang aku suka? Aku nggak pernah suka jadi pelayan tapi demi kita tetap dekat aku nggak masalah bertahan disana." Kali ini Elok mulai menahan isak.
"Kamu sadar nggak, semua keputusan di hubungan kita berdasarkan kondisimu. Aku pulang ke Banyuwangi selalu kamu tahan, alasanmu biar konsep usaha nanti bisa kita meetingkan tiap hari, oke masuk akal aku bertahan sementara disini. Sekarang, malah kamu yang mau pergi, maksudmu apa? Salah nggak kalau aku mikir semua itu berdasarkan kondisimu, bukan kita." Elok makin emosional, tangisnya tak terbendung.
Giri merasa apa yang Elok katakan tidak sepenuhnya benar, tetapi ia tak punya kata-kata yang tepat untuk menyanggah itu.
"Tapi kali ini aku cuma ke Jakarta, aku masih bisa pulang tiap weekend. Kita masih bisa fokus ke rencana kita."
"Maksudmu kita paksain LDR? Sekalian aja aku di Banyuwangi, kamu di Jakarta. Sekalian kita nggak usah ketemu sementara waktu, biar kamu bisa nabung."
"Pikirkan dengan tenang dulu, kalau kamu kayak gini kita nggak bakal nemu solusi." Giri terus melemah.
"Iya, nggak akan nemu solusi yang memihak kamu kan?" Elok terus menangis.
"Ya sudah sekarang kamu pulang dulu ke ibumu, nanti kalau kamu sudah mulai tenang dan berubah pikiran kita bahas lagi. Besok aku ke Jakarta." Giri pasrah.
"Elok berdiri dan menuju pintu keberangkatan, Giri masih duduk terdiam disana, pikirannya kalut, tetapi tak punya solusi lain selain menghadapinya.
Di kursi tunggu keberangkatan Elok masih merasa sesak, ia kecewa dengan kekasihnya itu. Jadi apapun yang ia dengar, akan ia sanggah dengan sekali jurus. Beberapa kali ia mendengar ponselnya berbunyi, muncul sekilas pesan dari Giri, namun ia abaikan. Beberapa kali panggilan masuk pun tak ia gubris. Sampai akhirnya persis sebelum jadwal keberangkatan, Giri muncul di depannya, membawa selembar tiket.
"Kamu mau kemana?"
"Ikut kamu."
"Nggak lucu, itu bukan solusi."
"Kamu mau kita sama-sama terus kan? Ya ayok sekarang aku wujudin." Wajah Giri serius.
"Tapi bukan ini maksudku." Elok kewalahan.
"Aku sudah mikirin ini, dan aku yakin." Giri semakin percaya diri dengan tindakannya. Sementara tak lama Elok tak kuat menahan tawanya sambil menunjukkan tiket.
"YK-KT" Mata Giri membelalak melihat itu, dan seketika ikut tertawa melihat selembar tiket di tangannya. Ia tak percaya dengan yang baru saja ia alami. Elok memang pandai berakting harusnya ia curigai itu.
"Aku cuma mau ke Klaten, ke rumah Sari." Elok tertawa lepas. Giri merasa amat malu.
"Jadi, apa solusinya biar kita sama-sama terus?" Elok menggodanya. Giri hanya senyum-senyum masih tak percaya.
"Ya nggak papa kalau kamu mau ke rumah ibu." Elok lagi-lagi menggodanya.
"Beneran nggak papa kan?" Giri memastikan, Elok mengangguk.
Dan benar saja, Giri masuk ke gerbong kereta tujuan Banyuwangi.
"Kamu yakin? Mau ngomong apa ke ibu kalau sampai sana? Pikirkan dulu matang-matang." Elok kewalahan menahannya. Sambil melambaikan tangan wajah Giri dengan yakin mengatakan "Aku nggak mau terulang masalah kita yang itu lagi, itu lagi. Jadi aku selesaikan sekarang."
Antara senang dan bingung, Elok menangis haru dan terpaku. Apa maksud laki-laki itu? Apa benar Tugu membuat mereka tak lagi ragu?
Selesai.