Udara panas Samarinda dilawan oleh semangkuk pisang ijo dan seporsi coto plus iga bakar di sebuah warung makan. Sepanjang turun dari angkot, Riza enggan melepaskan genggamannya dari tangan Lania. Satu hal yang paling disukai Lania adalah ini, sentuhan. Lania merasa ketika kekasihnya melakukan itu di tempat umum menandakan ada sebuah deklarasi bahwa perempuan ini adalah milikku dan bagi Lania itu penting.
“Suka?” Riza mendapati Lania senyum-senyum sendiri saat Riza semakin kuat memegang tangannya. Lania mengangguk merespons itu.
“Sesuka itu sama aku?” Lania kembali mengangguk. Satu hal yang Riza sukai dari Lania, kejujurannya. Sedari awal mengenal gadis itu, Riza sudah disuguhi hal-hal tak terduga termasuk sikap Lania yang tak segan menunjukkan rasa suka dan bahagianya ketika bersama Riza.
“Aku nggak pernah kenal perempuan seceria kamu.” Itu yang meluncur dari mulut Riza kala itu.
*
Tiba di sebuah hotel, Lania dan Riza memutuskan memesan satu kamar sebelum Riza beranjak ke rumah omnya di kawasan Pasar Impres Baqa.
“Nanti kamu ikut ya.” Lania patuh.
Keduanya kembali menyusuri jalanan Samatinda menggunakan angkot hingga tiba di kediaman Om Ubed.
“Kapan sampai?”
“Barusan om.”
“Ini siapa?”
“Teman.”
“Disini tinggal dimana?”
“Di rumah keluarganya om.” Lania dan Riza saling pandang setelah Riza menjawab itu. Dalam pandangan itu ditemukan sandi-sandi kode yang menyiratkan mereka harus konpak dalam menjawab dan beberapa jawaban diantaranya adalah bohong.
“Keluarganya daerah mana?” Om Ubed menatap tajam pada Lania seolah menunggu jawaban itu langsung dari gadis itu.
“Loa janan om.” Cuma itu daerah yang Lania tahu tentang Samarinda, dan dengan spontan meluncur begitu saja dari mulutnya walaupun tetap dengan terbata-bata.
Tante Levi, istri dari Om Ubed mempersilakan mereka minum teh hangat dan menikmati kudapan berupa kacang atom buatannya sendiri. Dari tempat itulah awal mula muncul kebiasaan, Lania memakan bagian luar kacang atom, sedang Riza bagian kacangnya. Sebuah kolaborasi yang saling menguntungkan.
**
“Saudara di Loa Janan itu siapamu?” Om Ubed ternyata belum usai dengan pertanyaan-pertanyaannyya.
“Sepupu om.”
“Kerja dimana?”
“Di tambang om.”
“Suda lama disini?” Dan masih banyak lagi pertanyaan demi pertanyaan yang memaksa Lania berbohong lagi, berbohong lagi.
**
“Dia HRD loh di kantornya.”
“Serius?”
“Ya, paling nggak kebohongan tadi kentara.”
“Sinting ya kamu. Kenapa harus bohong sih.”
Riza mengangkat pundak, wajahnya tak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun.
*
Kabar kedatangan Riza dan Lania di Samarinda tersiar cepat hingga sampai ke telinga Bertha, entah darimana asalnya. Yang jelas kedatangan Riza dengan perempuan lain sebelum mereka benar-benar berpisah membawa awan hitam bahkah petir bagi Bertha.
“Nggak bisa banget ya kamu tunggu sebentar lagi?”
“Kenapa harus kamu pamer-pamerin di depan keluargamu?”
“Agustus itu nggak lama.”
Berkali-kali Bertha mencba menghubungi Riza, namun tak jua ia mendapat jawaban. Ketika kekesalah membuncah, keluarlah kalimat-kalimat tidak perlu yang bertujuan menyakiti hati Riza.
“Aku nyesel transferin kamu uang, aku pikir niatmu pergi untuk keluargamu, tapi malah sama cewek lain. Kamu seniat itu ya mau langsung move on?”
Tak jua pesan itu mendapat tanggapan, sementara Bertha menangis sejadi-jadinya. Ada ego yang terlukai, ego harusnya ia yang move on terlebih dahulu, karena ia yang lebih siap dengan perpisahan inj.
*
Saat sudah kelelahan menangis, Bertha tertidur dengan mata sembab. Ia tiba-tiba terbangun dengan nada pesan yang memang sengaja ia setting cukup nyaring. Pesan dari Riza.
“Nggak kok, dia cuma mau bareng aja kesini. Bukan siapa-siapa.
Dusta yang sedikit menenangkan Bertha.
To be cont...