Minggu, 09 Maret 2025

8

 

            Masih sama seperti masa-masa SMK, Ratih terus saja membuat perasaan Aco tidak menentu. Ia datang dan pergi, tarik ulur, menyatakan bagaimana ia sangat ingin bersama Aco, lalu di lain hari ia berkata menyesal, dan yang paling menyakitkan adalah hari itu. Saat Aco mengambil cuti kali terakhir, Ratih mengajak bertemu di Makassar, mereka bersama berhari-hari, seperti perpisahan Ratih tiba-tiba mengabarkan perjodohannya.

            ”Aku nggak punya alasan buat nolak.” Ratih menangis di depan Aco seolah menyesal. Aco tak banyak bicara, ia hanya memeluk perempuan itu dan turut menangis.

            ”Kamu harus patuh.” Aco terisak.

            ”Kamu nggak papa?” Wajah Ratih menatap dalam lelaki di depannya. Aco menggeleng.

            ”Aku pengen kamu datang.”

            ”Nggak mungkin.” Aco menggeleng. Ratih kembali menangis tersedu-sedu hingga fajar tiba.

            Sejak hari itu, Aco berusaha untuk ikhlas. Ia merasa tak terima, tetapi tak punya kuasa untuk merebut kembali kekasihnya itu. Ia belum siap, banyak yang perlu ia selesaikan. Menikah bukan prioritasnya kali ini.

            Beberapa hari kemudian kekasihnya itu menghubunginya, seperti tak ada apa-apa. Membiarkan nama Aco tertulis di profil BBMnya, seakan mereka masih sepasang. Ratih memberinya kabar, bertanya kabar, masih merayu dan melempar rindu.

            ”Ahhh taik.” Aco marah kepada dirinya yang masih saja goyah. Ia jawab setiap pertanyaan, ia panggil juga Ratih dengan sebutan sayang, ia pun memberikan perhatian, semua itu masih ia lakukan dengan sadar. Lalu sejurus kemudian ia menyesal saat ingat kekasihnya itu sudah dilamar. Tetapi ia pun tak punya keyakinan untuk mengabaikan perempuan itu. Ia lemah saat berurusan dengan Ratih.

            Tetapi, akhir-akhir ini, Aco mulai tak menjawab panggilan Ratih. Jika pun ia perlu menjawab, itu hanya saat panggilannya sudah mulai berpuluh-puluh kali, dan Aco merasa perlu untuk menenangkan gadis itu. Ia memberi alasan entah pekerjaan atau hal yang lain yang menyebabkannya tak bisa membalas pesan. Aco sedang disibukkan hal yang lain. Ratih mulai tak lagi punya pengaruh. Pikirannya teralihkan, pun dengan hatinya. Akhir-akhir ini Aco seperti punya semangat baru untuk memulai hidup.

 

**

 

            Sejak mengenal Aco, malam Elok tak lagi sama. Ia sering melamun, terngiang-ngiang suara Aco, terbayang-bayang matanya bulat. Bagi Elok, jika jatuh cinta pada pandangan pertama adalah mitos, maka sepertinya Aco adalah pengecualian. Elok bahkan tak lagi terganggu saat Gardana berhari-hari tanpa kabar. Ia justru lebih ingin menghabiskan malamnya dengan berdiam diri. Merenungkan interaksinya hari ini dengan Aco, mengarsipkan semuanya dalam memori dan membuat hatinya berbunga-bunga hingga tertidur. Sayangnya, Aco tak sekalipun mengirimi ia pesan. Mereka hanya bersama saat bertemu di kantor, atau membuat janji temu dengan Afif, semua secara tidak disengaja.

            Gardana memanggil.

            ”Halo.”

            ”Kamu lagi apa?”

            ”Nggak ada, santai. Kenapa?”

            ”Aku mau kita break dulu.”

            ”Kenapa?” Elok bingung.

            ”Aku nggak bisa LDR.” Hening, Elok tak bisa menjawab.

            ”Aku juga pengen fokus tugas akhir.”

            ”Oke.” Elok menjawab dengan lemas. Tak banyak basa-basi, mereka menutup panggilan itu. Malam itu Elok menangis, tetapi tangisan itu seperti hanya formalitas saja, agar ia tidak merasa bersalah pada Gardana. Ia harus bersedih saat berpisah, itu yang Elok pikirkan. Walaupun Gardana tak meminta benar-benar berpisah. Break? Istilah apa lagi? Apa ini hanya semacam cara baru untuk meminta putus? Atau apa? Elok menerima itu, bahkan seperti merasa lega.

 

**

 

            Sore itu, saat jam kantor berakhir. Elok tak sengaja bertemu Aco di parkiran. Mereka saling menyapa, tapi canggung. Sepulang dari Samarinda minggu lalu, mereka memang menjadi lebih berjarak. Apalagi saat ini Afif sedang tugas di luar kota, makinlah mereka tak punya alasan untuk bertemu.

            ”Malam ini sibuk?” Aco bertanya sembari memasang helm.

            ”Kenapa?” Elok bertanya balik.

            ”Mie ayam yuk!” Aco sambil tersenyum, Elok gugup.

            “Boleh.” Tak bisa Elok sembunyikan perasaan senangnya.

            ”Pin BBM.” Aco mengeluarkan ponselnya.

            ”BR91G26. Elok menyebutkan pinnya.

            ”Oke nanti kukabarin.” Aco lalu melajukan motornya. Sedang Elok masih terpaku disana, jantungnya berdegup kencang, tak bisa ia kendalikan rasa senangnya. Hilang sudah kesedihan putus dari Gardana. Ia bertekad melupakan lelaki itu.

 

**

 

            Selepas isya, Elok mondar-mandir di kamar. Berkali-kali ia mengecek ponselnya. Belum ada permintaan pertemanan. Ia gelisah sekaligus senang, perasaannya berdebar hebat seperti hendak dapat doorprize. Ia lalu berpikir, jangan-jangan pin yang ia sebutkan salah. Lalu ia bersedih kemudian. Lama ia menunggu hingga akhirnya pesan masuk.

            ”A. Zidane is inviting you.” Elok melompat kegirangan, ia menghempaskan tubuhkan ke kasur dan membenamkan wajahnya sambil berteriak. Ia bergegas menerima permintaan itu, lalu menunggu pesan masuk.

            ”PING!”

            ”Iya.” Hanya berselang sedetik Elok langsung membalas.

            ”Jadi?”

            ”Ok.”

            ”Kujemput?”

            ”Boleh.”

            ”OTW.”

            ”Ok.” Elok melompat dari kasur menuju lemari, ia bergegas mencari pakaian dan berdandan kilat. Ia tak ingin terlihat berlebihan, tetapi juga tak ingin terlihat buruk, ia mencoba sebaik mungkin agar tampak manusiawi di depan Aco.

            Aco berdiri di depan pintu menunggu Elok selesai Bersiap, Elok membuka pintu dan melihat lelaki yang mencuri isi kepalanya akhir-akhir ini muncul di depannya. Isi perutnya seperti ingin keluar, ia mulas, sekaligus gugup, debar yang tak bisa dijelaskan. Mengapa bisa sekilat ini ia melupakan Gardana? Mengapa semudah ini ia jatuh cinta? Mengapa harus Aco?

 

**

 

            Afif masih lama bertugas di luar, Elok dan Aco lebih banyak menghabiskan waktu berdua. Mereka dekat, hingga cerita Ratih dan Gardana bebas menjadi bahan obrolan sehari-hari. Aco yang senang Elok sudah putus. Elok yang lega Aco tak lagi dengan Ratih. Keduanya merasa dipertemukan takdir, hingga mereka merasa saling cocok dan ingin berkomitmen, ada satu hal lagi yang mengganjal di hati masing-masing.

            Malam itu di sebuah rumah makan padang.

            ”Break? Itu bener-bener putus?” Aco bertanya sekali lagi.

            “Apalagi?” Elok menjawab santai.

            “Kok dia masih ngechat?” Aco melihat notifikasi dari ponsel Elok, pesan Line dari Gardana. Elok menghela nafas, ia merasakan keragu-raguan Aco.

            ”Boleh kukasih tau dia tentang kamu?” Elok melihat dalam ke arah Aco. Aco mengangguk.

            ”Kita sudah putus beneran kan?” Elok mengirim balasan itu pada pesan bertuliskan kangen milik Gardana.

            ”Kenapa tiba-tiba nanya itu?” Gardana menjawab. Elok membaca itu dengan perasaan gugup. Lalu ia membalas. ”Aku dekat dengan orang disini.” Setelah mengirim pesan itu, Elok merasa berat. Entah mengapa ia sedih menuliskan itu. Apakah ini memang artinya hubungannya dengan Gardana selama ini benar-benar selesai? Karena Aco? Orang yang baru ia kenal? Lama Elok menunggu Gardana membalas, hingga balasan yang ia baca berikutnya membuatnya tangisnya pecah. Ia menangis sejadi-jadinya. Ada memori terputar ulang di kepalanya, banyak momen bersama Gardana yang membuat ia seperti terluka. Aco melihat itu dengan sedikit kecewa.

            ”Kamu nggak ikhlas?” Aco memegang tangan Elok. Elok tak menjawab dan makin terisak.

            ”Mau pulang?” Dengan lembut Aco menawarkan.” Elok mengangguk. Mereka pulang sebelum semua makanan habis. Aco merasa kurang nyaman melihat Elok menangis disana.

            Malam itu, Elok dan Aco tak banyak bicara. Mereka kembali ke kost masing-masing dengan ganjalan di benak masing-masing.

Kamis, 06 Maret 2025

7

 

Andi Ratih

Andi Zidane Ahmed

Keuntungan memiliki nama yang sama, keduanya diharuskan duduk berdekatan saat ujian, di kelompok yang sama saat presentasi, di waktu bersamaan saat praktik, piket di hari yang sama, bahkan saat Andi Ratih terpilih menjadi ketua kelas, dengan sukarela Aco mengajukan diri sebagai wakilnya. Andi Ratih bagaikan gula, sedang Aco semut satu-satunya. Sayangnya, pendekatan Aco pada gadis berwajah oriental itu hanya sebatas itu saja, tidak lebih, Aco minder, entah ajaran darimana itu.

Secara akademis Andi Ratih tidaklah menonjol, tetapi gadis itu pandai bersosialisasi, pandai membawa diri, jadi bergaul dengan siapapun bukanlah masalah. Itulah mengapa ia dengan mudah meraup massa untuk mendukungnya sebagai ketua kelas, yang kemudian sebagai kandidat ketua OSIS pula. Tidak terbantahkan kemampuan Andi Ratih dalam memimpin, konon ini juga karena pengaruh besar ayahnya yang menjadi pejabat penting di BUMN, entah apa itu. Kebanyakan dari kawan sekelasnya tidak terlalu peduli.

Andi Ratih memang tergolong siswi populer, walaupun bukan yang tercantik. Ia cenderung biasa saja, tidak terlalu pandai berias maupun menjadi pusat perhatian lawan jenis. Tetapi bagi Aco gadis itu paling bersinar. Dimanapun Andi Ratih berada, di kerumunan manapun, bahkan jika disejajarkan dengan artis manapun Andi Ratih tetap paling cemerlang di mata Aco. Definisi sempurna yang sesungguhnya.

Setelah sekelas hampir satu semester, baru hari itu Aco merasa seperti terbang melayang. Apalagi kalau bukan saat kali pertama Andi Ratih mengajaknya mengobrol. Akhirnya, setelah segala macam usaha dilakukan Aco dalam menunjukkan diri, gebetannya itu mulai sadar akan eksistensinya di bumi ini.

“Zidane, sudah dapat judul untuk tugasnya?” Di laboratorium hari itu saat jam istirahat mereka tak sengaja bertemu. Bagi Andi Ratih bukan sengaja, tetapi bagi Aco jelas ini kesengajaan yang sudah ia lakukan dari awal, yang menjadikannya lebih seperti penguntit dibanding siswa biasa. Yang Aco senang dari sapaan Andi Ratih hari itu adalah perasaan lega. Akhirnya setelah sekian bulan tembok di antara mereka berdua runtuh. Tembok yang selama ini membuat Aco overthinking, mengapa hanya dia sulit sekali mendekati Andi Ratih? Mengapa hanya dia satu-satunya orang yang sulit sekali dekat bahkan sekadar menyapa perempuan itu? Mengapa seperti semuanya mustahil. Padahal jika dilihat-lihat, Andi Ratih sangan friendly kepada semua orang kecuali Aco. Mengapa? Apa yang salah dari Aco? Pertanyaan-pertanyaan yang menghantui Aco hampir setiap malam. Terlebih setiap kali mereka usai dihadapkan menjadi satu kelompok, duduk berdekatan, rapat kelas, dan sebagainya. Aco selalu membenci kenyataan bahwa ia adalah satu-satunya makhluk di bumi ini yang kehadirannya seperti hanyalah bayang-bayang di mata perempuan itu. Bahkan pernah ia merasa, Apakah karena dia tau aku suka? Lalu dia risih? Lalu dia berharap aku menghilang dari hadapannya? Lalu-lalu lainnya yang sebenarnya tidak terjadi. Kenyataannya hari ini pertanyaan-pertanyaan bodoh dalam kepalanya itu terbantahkan, tidak patut.

“Belum.” Jawab Aco spontan, walaupun setelah ia menjawab baru ia sadar bahwa ia saja tidak tahu-menahu tugas apa yang dimaksud.

“Oke kita selesaikan nanti sore ya.” Andi Ratih melempar senyum sebelum berlalu meninggalkan Aco. Aco beringsut tersipu-sipu kegirangan, tak mampu ia sembunyikan rasa senangnya. Sampai ia kemudian bingung, memangnya sore ini mereka ada janji? Hah janji apa? Dimana? Sejak kapan janji ini dibuat? Dan kenapa dia belum tahu? Aco berlari ke kelas menghampiri Badawi, orang yang biasanya juga sekelompok dengan Aco.

“Tugas apa? Saya juga belum tau.” Kini bukan hanya Aco saja yang bingung, Badawi pun sama. Badawi lalu bertanya pada kawannya yang lain yang juga ia pikir tahu mengenai tugas itu dan tak satupun yang mengerti tugas yang dimaksud.

Aco semakin berpikir keras, apa yang dimaksud Andi Ratih. Ia kemudian menerka-nerka apa saja kemungkinan dan peluang tugas yang dimaksud Andi Ratih. Kemungkinan dan peluang itu bersifat liar berjejal di kepala Aco hingga ia semakin dibuat pusing sendiri.

Skenario pertama. Andi Ratih membahas tugas yang memang belum diketahui siapapun kecuali Andi Ratih, karena ibu wali kelas mempercayakan informasi itu pada ketua kelas. Dan beruntungnya Aco menjadi orang pertama yang diberi tahu.

Skenario kedua. Andi Ratih hanya lupa bahwa tugas itu sudah lewat dan karena dia tidak punya bahan basa-basi untuk menyapa Aco akhirnya ia memilih memakai pertanyaan itu saja. Atau karena pertanyaan tugas itu yang paling masuk akal ia tanyakan kepada Aco. Di skenario kedua ini Aco besar kepala, merasa ia amat spesial.

Skenario ketiga. Andi Ratih hanya salah orang, harusnya orang lain yang ia tanya mengenai tugas ini tetapi karena di lab hanya ada Aco maka spontan lah ia bertanya pada Aco. Tapi kenapa spesifik sekali memanggil dengan nama Zidane? Aco semakin mengusutkan benang yang sudah kusut di kepalanya.

Skenario keempat. Aco lebih memilih mempercayai skenario kedua. Karena hanya dalam kemungkinan itu ia bisa congkak, sombong, besar kepala, GR, PD, bahagia, yang semua perasaan itu jika dikumpulkan harusnya bisa membuat Aco terbang jauh ke langit ke delapan lalu berjingkrak-jingkrak di sana sampai Dewi Qwan in marah.

 

**

 

“Buka halaman 47.” Membawa penggaris kayu panjang Pak Taufiq memasuki kelas. Belum sampai ia tiba di mejanya, ia sudah dengan sigap meminta siswa-siswinya membuka buku. Bahkan di antara mereka pun beberapa masih sibuk bercengkerama satu sama lain. Pak Taufiq memang sedikit berbeda. Dia berjiwa muda dan sangat siap untuk menjejali murid-muridnya dengan soal-soal sulit dan tidak terjangkau manusia biasa. Setelah beberapa menit pelajaran dimulai, barulah Andi Ratih muncul memasuki kelas.

“Sudah bawa contohnya tih?”

“Sudah pak.” Andi Ratih membuka gulungan kertas karton di tangannya.

“Teman-teman mohon perhatian.” Andi Ratih lalu menjelaskan tugas berikutnya yang harus dilakukan seisi kelas dengan berkelompok. Dan setiap kelompok hanya terdiri dari dua orang dan bebas memilih.

“Andi Zidane, boleh ke depan sebentar.” Aco masih bingung mengapa gadis itu memintanya maju.

“Jadi, sekarang saya dan Andi Zidane sekelompok, maka kami berdua sepakat dengan judul yang diambil yaitu bla bla bla.” Aco sama sekali tak bisa menyimak apa yang dikatakan Andi Ratih. Bebas memilih kelompok, tapi secara sepihak Andi Ratih langsung mengajaknya, lalu langsung diumumkan di depan kelas, lalu ia merasa jauh lebih besar kepala dibanding skenario kedua yang ia agung-agungkan tadi, lalu ia mengingat-ingat tentang mimpi apa yang ia alami semalam. Ia terpaku menghadapi pikiran konyolnya hingga kertas karton di tangannya digulung kembali.

“Baik, sudah mengerti ya?” Andi Ratih menutup penjelasan singkat itu dan mengajak Aco kembali ke kursi.

 

**

Dari kelas menuju keluar gang sekolah Aco berjalan berbarengan dengan Badawi. Aco berpura-pura bertanya klise padahal ingin Badawi mengungkit kembali tentang kejadian di kelas tadi.

“Wi, kamu benar-benar belum tau tentang tugas tadi?”

“Harusnya saya ji yang tanya ke kita? Tidak tau memang kalau Andi Ratih ajak satu kelompok? Wah payah sekali pura-pura amnesia.” Badawi menjawab. Tetapi bukan respon semacam itu yang diharapkan Aco. Ia berharap Badawi memperoloknya karena beruntung Andi Ratih mengajaknya satu kelompok, lalu dibumbui cie cie supaya perasaan senangnya hari itu bisa semakin gurih. Tapi sayangnya, kawannya itu tidaklah peka.

“Sudahlah, aku duluan ya.” Dengan mengantongi sedikit kekecewaan Aco meninggalkan Badawi di belakangnya.

“Mau langsung balik?” Dari belakang Andi Ratih muncul menyapanya yang sedang menunggu angkot di depan jalan.

“Iye’.”

“Ayo.” Andi Ratih langsung menarik tangan Aco menaiki angkot yang sudah berhenti di depan mereka. Keduanya duduk berdekatan lalu dengan banyak bicara Andi Ratih mengoceh tentang banyak hal. Lagi-lagi untuk kali kesekian Aco dibuat terpana oleh gadis itu. Andi Ratih, idamannya. Cerita yang disampaikan gadis itu seperti sebuah puisi yang membuat Aco terbuai, pikirannya tak fokus pada isi cerita, ia justru terpaku pada gerakan bibir, ekspresi, hingga tangan gadis itu yang mendukung penuh emosi dalam cerita. Aco sesekali mengangguk-angguk, tersenyum, menjawab iya dan tidak pada beberapa kalimat yang bernada tanya, menanggapi sekenanya tetapi sebisa mungkin terlihat sangat antusias. Ia tak ingin sedikitpun memberikan kesan bahwa ia kurang tertarik. Ia harus tampak totalitas menjadi pendengar.

“Ndak turun?” Andi Ratih menepuk kaki Aco sambil menunjukkan posisi mereka sekarang. Aco baru sadar ia sudah tiba tepat di jalan besar menuju rumahnya. Andi Ratih masih di dalam angkot dan akan terus hingga Panakkukang.

“Mau kutemani?” Pertanyaan yang entah mengapa meluncur begitu saja dari mulut Aco, pertanyaan yang sejak dulu ingin ia keluarkan setiap kali harus berbarengan dengan gadis itu, pertanyaan yang hari ini punya kesempatan untuk terlontar.

“Ndak, aku sudah janjian sama teman.” Andi Ratih tersenyum dan melambaikan tangannya. Aco dengan berat hati turun dari angkot, merasa keberaniannya untuk mengajukkan pertanyaan itu seketika tertolak dalam satu kali jurus.

Di sepanjang jalan, Aco banyak berpikir. Sambil menendang-nendang kaleng bekas minuman bersoda ia menimbang-nimbang keberuntungannya hari ini. Ekspektasinya adalah target yang ia jadikan parameter, sikap Andi Ratih adalah hasilnya, sedang yang ia rasakan adalah hasil perbandingan antara sikap Andi Ratih dengan ekspektasi yang ia harapkan. Rumit. Tak ada ratio yang ia temukan dalam menghitung ini. Yang ia rasakan tidaklah terukur. Gadis itu seolah membuat ia terbang tinggi sekaligus merana dalam satu waktu. Perasaan macam apa ini?

 

**

 

 

6

 

Palakka, May 2004.

Doa dan isak menguasai pusara Petta dan petuahnya. Kepala Aco masih terbentur harapan bahwa yang ia saksikan bukanlah kenyataan. “Bangun, bangun, bangun.” Jeritnya dalam diam. Sanna terduduk di atas kursi plastik dengan pandangan kosong, matanya seakan bercerita bahwa jiwanya sedang terpukul, namun senyumnya kepada para pelayat yang tampak dipaksakan itu menegaskan ia ingin tampak tegar, walaupun justru terlihat makin menyedihkan. Gema duduk di sebelahnya, mengadahkan kedua telapak tangan, sigap mengucap “Aamiin” tatkala ustadz usai dengan do’a-do’a, tak bisa dibaca sedikitpun apa yang ada di pikirannya. Fatiyah sedikit berbeda, ia paling histeris ketika melihat Pettanya terbungkus kaku. Menjerit, mengamuk, menangis hingga air matanya tak cukup lagi untuk membasahi kornea, habis sudah. Hingga ia kelelahan, terdiam, bersandar pada Aco yang batinnya juga tak cukup kuat menyangga kesedihan adiknya itu. Sementara Andara sedang di rumah bersama nenek, bermain dengan mainan bunyi-bunyian yang membuat ia tertawa riang, bayi beruntung yang tak tahu-menahu perihal kehilangan. Petta meninggalkannya saat ia belum mengerti duka.

Beberapa pelayat yang hadir sungkan menghampiri atau menyapa Sanna. Beberapa yang lain tak ragu memeluk dan berusaha menenangkan ibu 4 anak itu. Lalu tak sedikit yang berusaha mengajak mengobrol, bertanya ini-itu, membahas hal rinci tentang penyebab meninggalnya Petta, yang seringkali membuat hati Sanna semakin terpukul. Ia tidak siap menghadapi itu semua. Namun sayangnya, tidak semua orang peka akan hal itu. Hari dimana jasad lelaki itu dikebumikan, seluruh kerabat dari berbagai penjuru Sulawesi Selatan berkumpul, menyaksikan Sanna yang sudah tentu akan tertatih-tatih membesarkan 4 anaknya yang masih kecil-kecil. Rasa iba, empati, kasihan, bersatu-padu menaungi Sanna yang dirundung duka bahkan nyaris pingsan hari itu, tetapi tidak ada yang mengerti bahwa Sanna hanya ingin menikmati kesedihan ini sendirian. Memeluk ulang kenangan-kenangan bersama lelaki yang dikenalnya sejak lama itu, Jalalludin.

            Dinding papan yang tidak rapat, bercelah, beberapa bagian mampu dilihat dengan jelas dari luar, jendela pun akhirnya ia biarkan terbuka sedikit karena udara sedang panas padahal sedang musim hujan. Sanna merebahkan kepalanya menatap langit-langit, melamun ia disertai gelisah yang membuatnya sulit memejamkan matanya. Ia memandangi tumpukkan beras dan bahan makanan lain serta amplop yang dibawa para pelayat tempo hari masih amat banyak. Tetapi, Sanna sadar itu semua akan habis dan ia harus bekerja. Dipandanginya Andara yang pulas tertidur setelah diberinya asi, kasihan ia melihat putri bungsunya itu harus ditinggalkan Petta saat ia belum mengerti apa-apa. Belum lagi saat ia melihat ketiga anaknya yang lain, tak tega ia membayangkan jika anak-anaknya itu kekurangan. Isak tak tertahan, air mata keluar dengan derasnya, sesak ia mengingat-ingat anak-anaknya, rindu ia pada mendiang suaminya.

            “Mammi, belum tidur?” Aco terbangun, melihat ke arah mamminya yang masih terjaga dan menangis. Semenjak Petta meninggal, Aco dan ketiga adiknya memang tidur bersama mamminya di kamar utama, karena mereka beberapa kali mimpi buruk dan terkadang pula merasa Petta hadir di mimpi mereka.

“Tidur lagi nak.” Sanna menyuruh putranya itu tidur.

“Tidur tidur.” Mammi mengelus-elus kepala Aco. Aco patuh, dengan memejamkan matanya namun dengan jelas ia masih merasakan kepedihan mamminya.

“Mammi, kalau aku berhenti sekolah saja bagaimana? Aku bisa jadi reseller es lilin Bu Ratmi, lumayan untuk tambahan uang saku Gema dan Fatiyah.” Sanna melihat putranya itu masih memejamkan mata, namun keluar dari mulut anak 13 tahun itu sesuatu yang diluar dugaan.

“Mammi masih sanggup beri kalian uang saku. Kamu belajar saja yang pintar, biar jadi orang sukses.” Sanna terus mengelus kepala anaknya, Aco mengangguk. Makin pedih hati Sanna mendengar apa yang keluar dari mulut putranya, ia bertekad harus berusaha sekeras mungkin agar tak berkekurangan.

            Belum lama Sanna berhasil terpejam, namun ia harus bangun kembali. Kerja kerja kerja, panggilan yang otomatis terdengar di telinganya. Inilah salah satu alasan, tidurnya semalam tidaklah tenang. Membersihkan rumah, menyiapkan sarapan, mencuci peralatan masak, mencuci pakaian, mempersiapkan pakaian sekolah, memompa asi, hingga membangunkan putra-putrinya dengan hati-hati, takut jika Andara ikut terbangun. Setelah jam menunjukan pukul 6, Sanna membuka pintu rumah, dirasakannya udara sejuk pagi itu memasuki rumahnya melalui celah pintu, ditariknya nafas dalam lalu ia hembuskan perlahan, lagi ia ulangi berharap kegelisahan yang ia rasakan bisa segera tercairkan.

Pagi ini Sanna sudah yakin dengan rencananya, mencari kerja. Sanna kikuk membayangkan itu, karena semenjak dipersunting Jalal tak pernah lagi ia bekerja terkecuali saat suaminya itu mulai sakit-sakitan dan Sanna terpaksa mengambil upah sebagai buruh cuci pakaian. Kali ini pekerjaan itu sudah pasti sulit ia dapat Kembali, karena banyaknya yang punya mesin cuci & laundry yang sudah mulai buka di dekat kantor desa. Pilihan pekerjaan lain yang terpikir hanya satu, tetapi kemungkinan Sanna ditolak juga 50:50. Yang penting usaha dulu.

Di rumah Pak Haji Darian pagi-pagi sekali sedang kedatangan tamu istimewa. Wanita berusia 36 tahun yang terkenal sebagai janda cantik beranak 4 yang baru 3 pekan ditinggal suami tercintanya, Sanna.

“Ada perlu apa pagi-pagi kesini? Ayo duduk dulu.” Menyambut baik istri pertama Pak Haji Darian melihat Sanna yang tampak amat putus asa itu, ramah ia walaupun instingnya sedang merasa curiga, “Jangan-jangan dia mau pinjam uang”. Dalam kepala Bu Haji itu terpikir beberapa alasan kalau-kalau benar adanya Sanna ingin meminjam uang. Alasan demi alasan ia cari-cari dan dikumpulkan menjadi 1 folder di otaknya untuk berjaga-jaga.

“Bu, saya sepertinya perlu pekerjaan.” Suara Sanna keluar dengan kecepatan yang amat lambat, bergetar, tak stabil, berfrekuensi rendah, dan tanpa penekanan sedikitpun. Mendengar ada tamu Pak Haji Darian bergegas keluar sambil membawa segelas teh di dalam gelas seng, tanpa canggung bergabung ia pada meja kotak dan sofa empuk dengan kayu ukir dari bahan jati termahal yang langsung didatangkan dari Pulau Jawa itu.

“Kerja aja besok di ladang. Mumpung kami kurang orang.” Kata Pak Haji Darian tanpa basa-basi, padahal istrinya ingin sekali mengatakan tidak karena merasa panen kopi di bulan-bulan ini tidak terlalu banyak dan jika menambah karyawan lagi pastinya akan menambah biaya operasional termasuk gaji dan makan siang. Namun, urung istrinya mendebat Pak Haji Darian yang terkenal tegas itu. Maka, jadilah Sanna karyawan resmi di ladang kopi terluas di Kabupaten Bone milik Pak Haji yang terkenal dermawan itu.

            Pagi itu memang belum terlalu terang, namun beberapa warga sudah sibuk lalu lalang. Ada penjaga pos kamling yang menuju pulang, ada pedagang yang sudah menuju pertokoan, ada petani yang sudah menuju ladang, dan yang paling banyak ialah ibu-ibu tangguh yang sudah berjejer di depan rumah masing-masing ada yang menyapu teras, ada yang menyiram kembang di halaman, ada yang menjemur pakaian, ada yang hanya duduk-duduk menunggu ayam-ayam memakan biji-biji jagung. Dan hampir semuanya, mengalihkan pandangan ke Sanna.

            Sanna memang cantik, tanpa berniat bersolek pun ia tetap tampak menarik. Terlebih yang tertarik bukan hanya laki-laki, namun perempuan juga. Tak ada yang bisa membantah, bahwa Sanna adalah lajang tercantik di desa Tanah Tengnga. Sanna mengenakan kaos lengan panjang berwarna maroon, lipstiknya berwarna pink tipis, sedikit ia bubuhi bedak tabur berwarna kemuning ke wajahnya, rambutnya terikat rapi, celana kulot berwarna gelap, dan terakhir tas kain kesayangannya hadiah dari Almarhum suaminya.

            Sanna tersenyum menyapa tetangganya, dari seberang rumah, samping kiri-kanan, hingga yang berjarak 5 hingga 10 rumah pun ada yang coba menyapanya hingga berpura-pura menyapu jalan raya. Setelah mendapati senyum dari Sanna, satu dua ibu-ibu saling pandang, memasang wajah tidak begitu senang, dan masa iddah Sanna lah yang kali ini menjadi bahan mereka.

            “Belum kering tanah kuburan Puang Jalal sudah sibuk dia tebar pesona.”

            “Kau lihat baju merahnya itu, dalam agama sudah jelas dilarang saat masa iddah memakai pakaian terang.”

            “Apalagi warna lipstiknya, seperti anak muda saja.”

            “Lihat juga rambutnya yang sengaja diikat biar lehernya terlihat.”

            “Aku dengar Sanna kerja di ladang kopi.”

            “Kerja di ladang saja begitu gayanya?”

            “Mungkin mau jadi istri ketiga Pak Haji.”

            “Kasihan anaknya ya, masih asi sudah ditelantarkan.”

            Satu dua bisikan-bisikan itu tidak hanya berhenti di lingkungan tetangga tetapi juga menyebar ke tempat lain, di sekolah dasar Fatiyah, posyandu, balai desa, puskesmas, pasar, ladang, toko kelontong, majelis, pos kamling, warung kopi, pangkalan ojek, semua penjuru Tanah Tengnga heboh soal Sanna, dengan tajuk utama “Janda dalam masa iddah yang sudah gatal tebar pesona.” Semua yang sampai dari mulut ke mulut itu adalah hal negatif yang tak jelas kebenarannya, terlupakan tujuan-tujuan baik dari perginya Sanna pagi-pagi untuk mencari nafkah, yang justru teringat adalah warna pakaian dan warna lipstiknya. Begitulah cara gosip menyebar, omongan yang tadinya berupa kedelai, tiba-tiba sore hari bisa sudah berubah menjadi tempe.

 

**

Sudah sebulan lamanya sejak kali pertama Sanna menjadi buruh petik kopi. Rutinitas yang ia jalani 4 hingga 5 kali seminggu. Memang tak setiap hari. Sanna harus menyisihkan setidaknya 2 hari dalam seminggu untuk seharian bersama Andara. Putrinya yang seringkali tantrum saat ia tinggal. Tak jarang ia pun tak tega melihat ibunya yang terlihat lelah mengasuh Andara seharian. Jadi, Sanna menjadikan setidaknya 2 hari sebagai hari libur untuk ibunya, Puang Ani. Karena, bekerja di kebun saat ini menjadi penghasilan utama Sanna.

“Ndak mau di rumah saja kita buka warung?” Takko adik kedua Sanna yang paling mapan di keluarga.

“Ndak ada ji modalku.” Sanna menjawab sembari menyetrika pakaian di depan TV.

“Pakai dulu uang kebun, kasihan masih bayi ditinggal terus.” Sanna terdiam, uang kebun yang dimaksud adalah warisan yang sudah dibagi oleh Puang Ani kepada anak-anaknya. Namun, Sanna enggan menjual itu karena ia jaga untuk biaya kuliah Aco kelak.

“Jual saja, nanti gampang saya carikan pembeli.” Takko masih berupaya, walaupu Sanna tau betul memang Takko lah yang ingin sekali membeli kebun itu.

”Lihat nanti saja, masih bisa aku ke ladang.” Sanna tetap dengan pendiriannya.

Memang, bagi orang-orang di kampung keluarga Sanna bukanlah tergolong keluarga susah, bahkan cenderung berkecukupan. Tetapi, pilihan Sanna untuk dipersunting Jalal lah yang membuat kehidupan Sanna cukup berbeda dibanding saudara-saudaranya. Sanna lahir di keluarga bangsawan Bone. Semua saudaranya menikah dengan sesama keturunan bangsawan, kecuali Sanna. Dan bisa dibilang, kehidupan Sanna lah yang paling susah. Terlebih sejak suaminya meninggal. Karena bahkan selama ini mereka tinggal di rumah warisan dari Puang Ani. Kasarnya, Jalal tak membawa harta secuil pun ke rumah itu. Modal cinta, begitulah pendapat satu keluarga saat Sanna memilih Jalal. Namun apa mau dikata, keputusan mereka berdua bulat dan susah dicegah.

“Kalau ada alasan yang lebih masuk akal selain dia tidak mapan, maka saya akan mundur.” Tidak ada, satupun anggota keluarga tak ada yang bisa memberikan alasan itu. Termasuk Puang Ani yang saat itu menentang keras. Jalal meminang Sanna dengan uang pas-pasan untuk kebutuhan acara yang sederhana. Sebagai putri sulung di keluarga, mau tidak mau Puang Ani yang akhirnya berkorban untuk memberikan acara yang sesuai dengan standard keluarga Bangsawan saat menikah. Semua tambahan biaya pesta hasil dari menjual tanah leluhur. Tak henti-hentinya rapat keluarga terus digelar sebelum pesta. Gengsi yang membuat acara itu menjadi semakin rumit. Sementara di luaran, terdengar Jalal yang memberikan uang panai bernilai besar. Saat itu Sanna malas turut campur lebih dalam perihal pesta, tujuannya hanya satu yaitu hidup bahagia bersama Jalal.

Selama hidup, Jalal tergolong lelaki rajin dan bertanggung jawab. Hanya saja sepertinya ia kurang beruntung dalam mencari nafkah. Ia sering gonta-ganti pekerjaan. Dan yang bertahan cukup lama hanyalah menjadi penjual rokok. Pekerjaan yang ia geluti dengan mengorbankan banyak waktu bersama keluarganya terganggu karena harus seringkali ke luar kota berhari-hari bahkan hampir sebulan. Jika ditinjau kembali, perhitungan Sanna tidaklah keliru. Ia merasa bahagia hidup bersama Jalal, lelaki yang pada akhirnya memberikannya empat orang anak.

 

**

Sanna rindu sekali dengan Jalal, suami yang ia cintai itu adalah sahabat terbaik baginya. Segala hal bisa ia ceritakan berjam-jam setiap kali Jalal pulang. Waktu terasa begitu berarti. Sekalipun terkadang dalam kekurangan, Jalal ada tipe lelaki yang hangat dan setia, walaupu diluaran dia terlihat garang. Sedang Sanna adalah perempuan pandai bersyukur yang selalu melihat Jalal dengan penuh cinta. Komplit. Sanna sangat bergantung pada kehadiran Jalal. Begitu pun sebaliknya. Setiap malam selepas isya, Sanna terbiasa menyiapkan segelas kopi hitam dan kudapan, entah pisang goreng ataupun jalangkote. Itu adalah kudapan favorit Jalal. Mereka terbiasa duduk berdua di ruang tamu, mengobrol kesana-kemari sementara anak-anaknya berkumpul di ruang tengah. Sengaja, mereka hanya melibatkan bincang ini berdua saja, agar bisa intens, dan ini sangat berguna bagi keduanya. Cerita-cerita kecil dari kegiatan di rumah, di sekolah anak-anak, keluarga besar yang rumahnya saling berdekatan, hingga kondisi perasaan Sanna terkini dengan terbuka mereka bahas setiap malam saat Jalal di rumah. Sedang Jalal pun sama, ia menceritakan bagaimana pekerjaannya, rekan-rekan kerjanya, perjalanannya, apapun itu ia ceritakan. Sanna merasa itulah alasan mengapa mereka berdua harus menjadi sepasang. Karena tak ada yang bisa lebih mengerti dirinya selain Jalal, pun sebaliknya.

Sedang selepas Jalal tiada, Sanna hanya bisa duduk sendirian merenung menghadap jendela kamar yang ia biarkan terbuka lebar. Ia berusaha membayangkan wajah Jalal yang lama-lama sulit ia bayangkan. Sanna mencari-cari dalam memorinya bagaimana wajah suaminya itu, tetapi selalu gagal. Sanna hanya merasa Jalal masih sangat dekat sekali. Sanna bisa merasakan, tetapi tidak dengan mengingat wajah. Ritual mengorek-ngorek memori itu ia lakukan hampir setiap hari dan bisa ia temukan jawabannya hanya pada saat ia membuka buku nikah yang berisi pas foto Jalal, itupun hitam putih, hanya itu yang bisa ia ingat. Padahal, di kepala Sanna, Jalal lebih luar biasa dibanding foto itu. Sanna kesal harus selalu kesulitan membayangkan Jalal yang lain, yang ia deskripsikan dalam tubuhnya bahwa lelaki ini adalah sosok yang sempurna, ya tubuhnya lah yang berhasil mengingat, tapi tidak dengan kepalanya. Memori Sanna tentang wajah Jalal rusak, digerus entah apa.

 

**

Diantara keempat anaknya, paling sulit menghadapi Aco. Aco sosok pendiam namun keras kepala, sikapnya jauh berbeda dengan siapapun, tidak dengan Jalal, dengan Sanna apalagi. Sedikitpun Aco tak pernah merengek meminta sesuatu. Sedang ketiga anak lainnya sangat mudah diajak diskusi, tetapi juga pandai menuntut. Aco berbeda sekali. Pernah suatu Ketika Aco didaftarkan untuk mengikuti paskibraka di Kecamatan Palakka, dari sekolahnya hanya beberapa yang terpilih, karena mempertimbangkan postur tubuh Aco terpilih. Tetapi karena disyaratkan harus Latihan hnmpir setiap hari, Aco memilih mengundurkan diri sebelum Latihan hari pertama dimulai. Alasannya? Ia sakit dan tidak mampu terlalu lelah. Alasan sesungguhnya? Ia harus membantu pekerjaan di kebun Puang Takko. Yang ia jalani atas permintaan mamminya. Walaupun di sisi lain, Aco sangat ingin ikut. Akhirnya Sanna paham, lambat laun Aco semakin mirip almarhum suaminya. Garis wajahnya yang tegas, matanya yang besar, hidungnya yang tidak terlalu mancung, bibirnya yang tipis, giginya yang tertata rapi, dan kulitnya yang kecokelatan. Semuanya adalah Jalal versi remaja.

Sedang Gemma dan Fatiyah sangat mirip dengan Sanna, pun Andara si bungsu bayi mungil yang cukup terlihat seperti Sanna walaupun nantinya bisa jadi berubah.

Untuk pertama kalinya Aco berani meminta sesuatu pada Sanna, yaitu bersekolah di Makassar, spesifik SMK, jurusannya pun sudah jelas, tinggal dimana pun ia sudah punya ancang-ancang, bahkan ia inisiatif untuk izin pada Puang Takko agar bisa tinggal bersama di Toddopuli. Hanya hal ini saja yang membuat Sanna senang sekaligus bingung. Anak laki-laki tertuanya ternyata sudah cukup dewasa. Seperti ia tahu persis akan hidup bagaimana. Dari kemauan Aco itulah, Sanna semakin semangat mencari uang, menjadi tulang punggung sekaligus pilar utama dalam melindungi keempat anaknya, dan yang pasti usaha untuk membuktikan bahwa ia suatu saat pasti berhasil.

5

 

Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco persis seperti mendung buatan yang memaksa suasana hati tak tenang.

“Akkatutuki’ nak.” Sembari mengulurkan tangan kanannya untuk disambut Aco sebagai salim perpisahan. Ia menahan air mata yang sedari subuh ingin tumpah-ruah. Ingin sekali ia memeluk putranya yang sudah semakin remaja itu, namun gengsi. Tidak, aku tidak boleh tampak sedih. Mungkin itulah mantra yang ada di benak ibunda Aco dan ia dengungkan dalam hati berkali-kali. Sementara di pinggir jalan besar tepat di depan rumah itu, seorang sopir yang akan membawa Aco menuju Kota Makassar sudah tidak sabar untuk melajukan kemudinya. 

              “Ayo mi!”

              Aco melangkahkan kaki memunggungi ibu, nenek, om, tante, dan adik-adiknya. Langkahnya berat, namun semangat. Dalam kepalanya bertarung kecemasan jauh dari ibu, dan gairah menghadapi lingkungan baru, tentunya pula semangat mengenakan putih abu-abu. Digendongnya ransel hitam polos bergantungan kunci bola berbahan plastik itu, ransel yang ia pakai ke sekolah sejak duduk di kelas VIII. Sedikit pudar warnanya, bekas jahitan tangan dengan benang berwarna biru malam di bagian resleting pun terlihat nyata, belum lagi robekan kecil di bagian bawah yang jika diamati sudah perlu pengganti. Namun, langkah Aco terlihat pasti, tidaklah baginya ransel yang butut itu menghalangi keinginannya untuk belajar di kota, menjadi cerdas, dan kemudian sukses.

              Sekolah Menengah Kejuruan, alternatif sekolah paling diminati anak-anak dengan latar belakang keluarga seperti Aco. Kenapa? Karena dirasa di sekolah ini akan membentuk mereka untuk punya skill dan dasar untuk memasuki dunia kerja tanpa kuliah. Ya, ditekankan tanpa kuliah. Aco lagi-lagi tidak percaya diri bahwa 3 tahun setelah lulus dari SLTA ia akan mampu melanjutkan kuliah, lebih tepatnya ia tak ingin membebani ibundanya. Jadilah, SMK menjadi pilihan paling bijak anak berusia 15 tahun itu. 

              Hari pertama masuk sekolah, Aco berangkat dari kediaman omnya di kawasan  Toddopuli dengan menggunakan angkot. Rambutnya yang baru kemarin jadi korban kebrutalan alat cukur Omnya Puang Takko terlihat amat rapi dengan bagian atas dilumurinya dengan gel sachet yang ia beli di warung serba ada dekat rumah. Ia juga tak lupa menyetrika seragam baru yang dibeli ibundanya di Eks Pasar Sentral Watampone dengan amat hati-hati, bagian lengannya licin sekali bak perosotan, setiap lipatan garisnya pun terlihat tegas dan presisi. Belum lagi sepatu hitam polos andalannya yang sudah usang tetapi masih tampak keren setelah disemir. Aco benar-benar terlihat percaya diri akan bertemu teman-teman baru di hari pertama sampai-sampai ia merasa GR ketika wanita setengah baya yang duduk tepat di depannya berkali-kali mencuri pandang ke arahnya.

 

**

Kagum Aco menginjakkan kaki di sekolah barunya. Benar-benar terlihat elok, bangunan-bangunan rapi terurus, fasilitas olahraga ada, lapangan basket bersama ringnya yang tinggi standard, lapangan futsal walaupun gawang tanpa jaring-jaring, pagar-pagar tinggi yang didesain untuk siswa-siswi yang gemar membolos, bagian paling Aco senangi ialah deretan pohon glodokan yang tersusun dan terpangkas rapi di berbagai penjuru sekolah. Ia memujinya dalam hati, tersenyum-senyum tak kenal malu karena tak kenal seorang pun.

“Ppoo…” Dari depan perpustakaan lelaki bertubuh gempal melambai-lambaikan tangan ke arah Aco hingga membuyarkan lamunannya. Lelaki tadi sangat mudah dikenali, kulitnya yang teramat gelap, badannya yang tidaklah mungil, wajahnya yang tak ada dua, mengarahkan Aco pada memori masa SDnya, Nyompa.

“Kapan kita datang?” Nyompa menyapa dengan girang hingga memukul punggung Aco dengan keras.

“2 hari lalu ppo. Belum sempat main ke rumah ta.” Aco merespon dengan semangat pula.

“Jurusan apa kita? Sudah ki dapat kelas?” 

“Belum pi. TKJ saya.”

“Widih, biar banyak perempuannya?”

“Tidak, saya lihat cuma TKJ yang akreditasinya A.”

“Tapi laki-laki harusnya ambil teknik mesin biar ada toh pengalaman tawuran.”

“Di masa depan tawuran bisa jarak jauh, baku hantam tidak ada harganya lagi, badik apalagi.”

“Lewat komputer maksudnya?”

“Bukan, lewat santet.” Aco dan sepupu jauhnya itu tertawa bersamaan. Lama mereka tidak bertemu, mungkin 3 tahun semenjak orang tua Nyompa dipindahtugaskan ke Kota Makassar.

 

**

 

Menumpang, begitulah kata yang tepat untuk menyebutkan posisi Aco di rumah itu. Harus pandai-pandailah membawa diri. Begitu pesan ibunya. Maka ketika hari berganti, minggu, bulan, dan tahun berlalu Aco pandai pun menyesuaikan diri di rumah itu. Tetapi, perasaannya mulai berkata sebaliknya. Berada di rumah itu sudah tidak seasik saat pertama kali. Bukan karena setiap malam Aco tidur hanya beralaskan tikar dan berbantal kapuk yang sudah usang. Bukan karena setiap pagi ia harus menimba air di sumur untuk memenuhi bak cuci. Bukan pula karena ia harus mulai kreatif memikirkan menu makan untuk omnya yang lelah sepulang bekerja. Bukan. Ia hanya sedih saat tidak bisa menyaksikan pertandingan tim sepakbola kesayangannya, real madrid. Memasuki tahun kedua ia hanya tau cerita setiap pertandingan El Real dari teman-teman di kelasnya, atau dari omnya di Bone yang dengan rajin mengirim SMS berapa skor pertandingan semalam. Aco pun hanya bisa senyum-senyum mengamati layar ponsel jika skor yang dikirimkan Puang Besse dari kampung adalah kemenangan Zidane dan kawan-kawan, atau ia akan murung seharian jika tim berdarah putih itu kalah. 

              Hari itu, pagi-pagi sekali Aco menerima SMS dari Puang Besse, “Kalah 3-1”. Pesan itu langsung membuyarkan konsentrasi Aco, pikirannya mengawang tidak keruan, perasaannya resah tidak tahu arah, ia terus mengingat-ingat posisi El Real yang sudah disalip rival abadinya FCB. Ia pun tak terima mengapa harus kalah dari Deportivo. Ia merutuk seharian, menyalahkan entah siapa. Melihat buku ia kesal, lalu diacak-acak. Melihat tas ia kesal, dibuka tutup resleting padahal benangnya sudah hampir meronta-ronta ingin menyerah. Melihat pintu ia kesal, dibantingnya pintu walaupun tak berhasil karena terhalang bola. Melihat tiang listrik ia kesal, ditendang-tendangnya hingga kakinya sakit. Hingga, ia tiba di angkot, melihat kursi angkot pun ia masih kesal, ingin sekali ia injak-injak tetapi seketika urung ia lakukan. Perempuan berambut hitam panjang terikat ada disana, wajahnya yang oriental, senyumnya yang manis bak artis sinetron, sikap ramahnya yang langsung menyambut Aco dengan sapaan yang suaranya tak sedikitpun Aco dengar, Aco hanya terpana pada wajahnya, “Mabelo.” Desisnya pelan. Angin seolah menyapu rambut gadis itu, lampu-lampu gemerlapan tampak dari wajahnya, hati Aco menghangat menikmati pemandangan yang tak ia duga itu. Dag dig dug dirasakannya, walaupun ia tak tahu persis bagian mana yang bersuara. Ia hanya tahu, seluruh tubuhnya mulai bergetar, berdesir, bergemuruh, bergejolak, entahlah. 

             Salah tingkah Aco sepanjang jalan, tak berani ia tatap perempuan itu. Tak ada sederajat pun ia berani menoleh, walaupun hatinya sangat ingin. Hati dan rasa kikuknya bergulat hebat saat ini, lagu Bang Haji Rhoma Irama Begadang yang terdengar dari radio angkot tak berhasil mendistrak pergolakan batinnya. Ia kehabisan nafas, oksigen seolah enggan berpihak padanya. Sampai akhirnya tanpa sadar angkot sudah beberapa kali berhenti, dan gadis itu sudah tak ada lagi di dalam angkot, entah di pemberhentian ke berapa. Aco pun langsung memukul-mukul kepalanya ketika melihat sekeliling dan menyadari ia sudah berada di tempat yang tak semestinya, dilihatnya tulisan di depan angkot. Bukan Toddopuli.

 

**

Di kantin Mbak Welis. Ratih dengan khidmat menikmati sepiring nasi goreng dengan warna kemerahan khas saos tomat palsu, di atasnya bertabur bawang goreng, suwiran ayam, dan telur dadar, tidak lupa Ratih membubuhkan sambal. Sesekali ia menyeruput segelas es jasjus berperisa jambu yang mengisi gelas plastik di depannya. 

              Di kantin Bu Ola, Aco duduk termangu memegang segelas es teh Sisri Gulabatu, mengintip dengan malu-malu ke arah seorang wanita yang duduk di warung sebelahnya. Rambutnya hari ini tergerai dan ketika setiap helaian mengganggu wajahnya, ia selipkan rambutnya itu dibalik daun telinga. Disanalah, Aco bisa menikmati dengan lebih teliti. Wajahnya yang sedikit berkeringat, matanya yang tampak sendu, hidung mungilnya yang terkadang bergerak-gerak manja seolah ingin disentuh, bibirnya yang semakin memerah karena pedas, sempurnalah pemandangan Aco. Tanpa Aco sadar, di sebelahnya juga tengah duduk seorang siswa lain yang juga duduk persis seperti Aco, objek yang mereka lihat sama, apa yang mereka nikmati sama, hanya saja si lelaki ini memiliki pikiran berbeda. 

“Kau atau saya duluan yang bilang ke Andi Ratih? Dilihat saja, tidak akan tahu ji perasaannya.” Kaget Aco mendengar Ridwan, teman sekelasnya yang dengan tiba-tiba berkata demikian. Aco tersenyum malu-malu, Ridwan lebih jauh ingin tahu.

“Kalau penasaran, tanyakan kawan. Kalau suka, ungkapkanlah.” Aco mulai geli mendengar kata-kata temannya itu dan memilih untuk kabur setelah membayar segelas minuman yang belum ia hisap sedikitpun. 

              Di perjalanan menuju kelas, Aco diikuti oleh Gau dan Daramang. 2 siswa dari kelas teknik mesin yang biasa bermain futsal bersama Aco saat istirahat. 

“Sore ini jangan lupa datang latihan, sekali-kali lah kita ikut.” Gau merangkul pundak Aco dengan sok akrab.

“Insya Allah kawan, sibuk aku di rumah.” Aco mengingat PRnya untuk ke pasar membeli ikan, memasak, mencuci pakaian, dan membersihkan rumah.

“Ayo lah sekali-kali, mau kukasi lihat kalau kita juga punya pemain andalan.” Daramang juga terus membujuk. Aco mulai sedikit ada perasaan ingin dan mempertimbangkan ajakan mereka. 

“Lihat nanti ya.”

              Pukul 15.00 WITA, setelah menyelesaikan pekerjaan rumah Aco bersiap-siap ingin berangkat ke sekolah untuk bermain futsal dengan teman-temannya. Ia memakai kaos bola terbaiknya yang dilapis dengan jaket kain berwarna abu-abu favoritenya, tidak lupa celana pendek yang ia lapis dengan celana seragam pramuka, lalu kakinya dibungkus rapi dengan sepatu hitam Adidas andalannya. 

              Tiba di sekolah, Gau & Daramang serta teman-teman lain berseragam rapi dengan kaos bola tim kesayangan Kota Makasar, PSM. Daramang berlari menghampiri Aco dengan semangat. Ia meminta Aco untuk bersiap-siap. Ternyata kali ini mereka harus melawan tim dari sekolah lain. Nyali Aco menciut, ia minder tatkala menunduk melihat kaos bola Real Madrid usang dibalik jaket yang ia kenakan. Ia pun enggan melepaskan celana pramuka yang melekat menutupi kakinya, lebih tepatnya ia enggan memamerkan celana kain yang biasa ia pakai menimba air itu untuk berlaga melawan sekolah lain. Belum lagi, ketika ia harus menjelaskan sepatunya. Lama ia berpikir dan akhirnya berakhir dengan terpaksa bermain. 

              Sparing dengan tim dari sekolah lain bukan lagi sekedar permainan, tetapi lebih kepada pertahanan gengsi. Tak ada sosok Gau dan Daramang yang ramah terlihat, ia begitu garang menjatuhkan tim lawan dengan trik maupun terang-terangan. Cedera? Pikir esok lusa. Hari ini adalah menang. Begitulah keyakinannya. Sementara Aco tidak terbiasa dengan adu sikut dan tendang sembarang. Ia mengikuti aturan hingga tak jarang harus terpental. Hingga skor pertandingan berakhir dengan kemenangan tim lawan, dan Aco dan kawan-kawan hanya menang dalam membuat pelanggaran.

“Puas aku injak kakinya.” Gau tertawa cekikikan seakan tak gusar, berbeda sekali saat sebelum pertandingan ia selalu menggaung-gaungkan untuk menang. 

“Aku juga senang cedera kulihat betisnya, keras sekali tadi kita tendang.” Daramang menambahkan.

Aco yang tidak sepemikiran, langsung yakin bahwa ini adalah kali pertama dan terakhir ia mau ikut Gau dan Daramang untuk latihan di luar jam sekolah. Jera, batinnya. 

              Tiba di rumah pukul 18.00, Aco heran ketika mendapati lampu-lampu di rumah menyala. Ia hanya bertanya-tanya, apakah ia yang lupa mematikan atau ada seseorang yang datang. Bergegas ia memasuki rumah, ternyata di ruang tamu Puang Takko sudah duduk disana. Kumisnya yang tebal, mimiknya yang tanpa senyum, serta sebatang rokok yang mengeluarkan asap mengebul, berhasil membuat Aco sedikit merinding. 

“Darimana?”

Puang Takko bertanya dengan nada biasa, datar, pelan, namun Aco semakin ketakutan.

“Ekskul puang.” Aco menjawab sebisanya.

Puang Takko berdiri, diraihnya sabuk di atas bufet. Di arahkannya pada kaki, dan punggung Aco berkali-kali. Amarahnya benar-benar membuncah. Puang Takko yang tenang tak ada disana. Ia terus memukul Aco tanpa berkata apapun, hingga pikiran Aco terus mencerna apa kesalahannya, dan bahkan ia masih belum terlalu sadar apa yang ia alami sekarang. 

“Kau mau bakar rumah ini?” Cuma itu yang keluar dari mulut om nya itu.

“Tidak puang. Tidak. Ampun puang.” Aco menghindar, menangis, menjawab, sekaligus berpikir kesalahan apa yang sampai membuatnya dianggap ingin membakar rumah. Puang Takko menarik kerah jakaet Aco, menyeretnya ke dapur, lalu memperlihatkan tutup panci yang meleleh hingga panci berisi rebusan ikan yang gosong. Ia lalu ingat, bahwa ia lupa mematikan kompor.

 

**

Udara malam terasa panas, namun hati Aco kedinginan. Ada sepi menggerogoti, jiwanya kosong tak tertolong, lukanya tidak nyata namun terasa. Pedih rasanya jika ingat apa yang dilakukan Puang Takko beberapa jam yang lalu. Menyesal ia ketika ingat kesalahannya. Dipukulnya kepala, dijambaknya rambut, berteriak rasanya batinnya ingin berontak, sakit sekali namun tak berani ia menangisi. Jendela dibiarkannya terbuka, nyamuk-nyamuk dengan ganas berebut masuk. Tak terasa lagi siku hingga lengannya jadi santapan empuk nyamuk-nyamuk penuh dahaga. 

              Pikiran kacau Aco sudah mulai melanglang buana, dari ingatan beberapa jam lalu, hingga ingatan bertahun-tahun lalu. Aco teringat mendiang ayahnya. “Petta, apa kabar?” bisiknya. 

 

              Kala itu di awal tahun 2004.

              Sudah di minggu ketiga ayahanda Aco pulang dari luar kota untuk berdagang. Sebagai seorang pedagang kopi, ayahnya biasa pulang sebulan sekali itupun hanya di rumah sekitar 2 sampai 4 hari. Kali ini sedikit berbeda, ayahnya dalam keadaan sakit. Katanya malaria. Sejak di rumah, ibunda Aco memang lebih sibuk. Bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan hingga seluruh keperluan Aco dan adik-adik sebelum berangkat sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah, menyiapkan obat dan makanan untuk ayahnya, lalu pergi ke rumah tetangga bekerja sebagai buruh cuci pakaian. 

              “Nak, nanti sebelum ke sekolah ambil es lilin jangan lupa ya. Buat uang saku kamu sama Gema.” Aco mengangguk. Ia memang terbiasa menjadi reseller es lilinnya Bu Ratmi di sekolah. Kata ayahnya hal itu bisa melatih Aco untuk jadi pedagang, dan ibunya bilang itu lumayan untuk tambahan uang saku. Tapi semenjak ayahnya sakit, es lilin satu-satunya sumber uang saku yang Aco dan Gema andalkan. Aco dan Gema bersekolah di SMP yang sama.

              Sebagai reseller es lilin, Aco punya trik tersendiri untuk menghindari rasa malu saat menjualnya ke kelas-kelas. Mulai dari mengajak anak-anak osis berkumpul, lalu dengan sengaja meletakkan es lilin di atas meja, sampai mendatangi kelas-kelas yang pada jam kosong hanya diisi siswa perempuan. Karena ia pernah mengalami kejadian tidak mengenakkan saat menawarkan es ke siswa laki-laki di sekolah. Dibully, hingga es lilinnya diambil tanpa dibayar.

              Sementara Gema tak mau tau, ia harus mendapatkan jatah jajannya bagaimanapun keadaannya. Laku atau tidak laku es lilin itu. Aco pun berpikir keras agar sebelum jam istirahat pertama es lilin itu sudah ada pembeli. Pagi itu jam pelajaran padat, tidak ada guru yang terlambat ataupun pergi lebih cepat. Mereka semua disiplin datang dan pergi tepat waktu. Berkali-kali Aco melirik 1 termos es lilin yang belum laku satu pun itu. Lalu membayangkan Gema yang datang dengan penuh keringat setelah lelah bermain bola. Bisa saja ia haus, tetapi es lilin tidaklah cukup menghilangkan hausnya. Atau bagaimana kalau dia lapar. Berkecamuk rasa kasihan dan ketakutan bagaimana caranya menghadapi Gema.

              Sampai akhirnya dengan memberanikan diri, Aco membolos dari kelas baca tulis Al-quran Pak Helmi. Mengantongi es lilin dalam plastik, mengendap-endap keluar kelas dan jika Pak Helmi bertanya ia sudah punya jawaban akan ke toilet. Begitulah rencananya. Sampai akhirnya Aco tiba  di depan kantin Mang Kumal.

              “Mang, lihat matahari disana. Panas terik sampai daun-daun pun sembunyi karena merasa terintimidasi.” Aco berlagak menunjuk-nunjuk matahari yang sudah jelas muncul di belakang perpustakaan. 

              “Terintimidasi apa co?” Ia bertanya-tanya. Aco baru sadar mungkin saja bahasanya terlalu pintar untuk Mang Kumal yang katanya tidak lulus SD. 

              “Daun-daun merasa kalah mang.” 

              “Daun melawan matahari, tidak pernah ada di dongeng mana pun.” Mang Kumal ternyata lebih kritis.

              “Untuk itu mang, daun butuh pembelaan agar dia tetap segar, tegar, dan tidak takut.”

              “Maksudmu daun diminumi es lilis yang kamu bawa di kantong plastik itu?” Mang Kumal tidak senaif perkiraan Aco.

              “Daripada daun mending mamang saja yang minum es lilin. Agar segar, tegar, dan tidak takut menghadapi matahari.”

              “Aku lebih takut padamu.” Mang Kumal mengambil uang dalam kresek hitam polos yang ia letakkan sembarangan di atas meja. 

              “Berapa es lilin kau bawa?” 

              “5 mang.”

              “Mana yang lain?”

              “Ada di kelas, aku takut membawa termos keluar.”

              “Bawa ke hadapanku saat jam istirahat. Semuanya. Aku mau membuat semua orang sadar bahwa matahari harus dilawan.” Dengan nada yakin entah apa maksudnya.

              “Baik mang.” Aco kembali ke kelas, meninggalkan 5 es lilin tadi untuk Mang Kumal, dan dengan resah menunggu jam istirahat pertama. 

              Teng teng teng

              Lonceng 3 kali berbunyi yang berarti jam istirahat tiba. Aco bergegas menenteng termos menuju kantin Mang Kumal. Kantin itu sudah penuh sesak dengan anak kelas 1 dan 2 yang sepertinya sebelum lonceng berbunyi sudah berani-berani duduk disana. Aco pun menunggu hingga sedikit lengang. Tapi tak jua lengang. Sementara menit-menit waktu istirahat hampir berakhir.

              Mang Kumal lalu memanggilnya.

              “Co, kesini lah. Bawa termosmu.” Aco beranjak menghampiri Mang Kumal di meja jualan. Mang Kumal mempersiapkan kertas putih dengan tulisan besar “Es Lilin Aco satuan Rp 200 beli 3 Rp 500 saja”. Ditempelnya tulisan itu di termos. Dalam sekejap es lilin yang biasa dijual dengan harga Rp 100 itu raib. Lalu Mang Kumal memberi Aco uang dengan hasil jualan. “Besok pagi bawa kesini aja es mu. Kujual dengan strategi marketingku. Walaupun tidak lulus SD, kemampuanku berdagang jauh lebih baik dibanding S3 marketing fren.” Mang Kumal bangga. Aco pun langsung berlari mencari Gema untuk dengan sombong membawakannya uang saku. Dari jauh ia melihat Gema tengah berlarian bermain bola di lapangan. Lalu, berlari ia ke arah Aco menyambar uang saku untuk dilarikan ke kantin dengan semangat.

“Nak, sudah ko makan?” Dari luar Puang Takko berteriak. Aco bergegas menghampiri, sembari mengubah rautnya agar terlihat baik-baik saja. Di atas meja bundar kecil tempat biasa mereka menaruh makanan dan makan, tersedia 2 mangkok bakso yang dibawa Puang Takko dari luar. Makanlah 2 orang om dan keponakan ini dengan rasa canggung, Aco masih tak enak, begitu pula omnya. Aco menyesal, begitu pula omnya. Mereka berdua menyesal, tetapi terlalu gengsi untuk membahasnya. 

              “Nanti tukang TV datang. Biar bisa ta nonton bola.” Begitu omnya memulai obrolan. Aco bingung merespon apa, hingga ia mengangguk saja.

              “Nda usah lagi tanya Puang Besse, bisa sudah nonton sendiri Zidane dari sini.” Sambung om nya lagi. Aco masih mematung, melihat ke arah Puang Takko hanya sesekali, lalu fokus lagi pada mangkok bakso yang sudah hampir kering itu. Padahal, pada saat itu hati Aco sedang ramai. Gemuruh tepuk tangan sedang menguasai batin dan kepalanya. Namun, terasa aneh jika ia tampak, senang, tersenyum, tertawa, bertepuk tangan, bersorak, apalagi jingkrak-jingkrak. Ganjil sekali rasanya. Puang Takko terlalu berwibawa untuk menyaksikan hal tidak punya adab seperti pikirannya. Sementara Puang Takko hatinya sedih ketika melihat Aco hanya diam, ia berpikir bahwa sikapnya tadi begitu keterlaluan. “Maaf nak.” Batinnya. 

 

**

              Naik ke kelas 3, Aco mulai sibuk mempersiapkan uji laporan magang, uji kompetensi, dan ujian nasional. Sibuk sekali, hingga ia sering begadang dan tak jarang pulang hampir petang. Semangat ia ketika menghabiskan waktu di lab merakit PC, berpura-pura tidak tahu agar bisa bertanya pada Ratih, atau sekedar melihat perempuan itu dari dekat. Mereka semakin akrab, Ratih semakin sering mengajaknya bicara karena Aco pandai berpura-pura tidak sengaja bertemu di angkot padahal beda jurusan hanya untuk memastikan Ratih sampai dengan selamat. Atau Aco berpura-pura lupa mencatat agar Ratih meminjamkan buku catatan yang dalam semalam bisa ia pandangi berulang-ulang. Sibuk itu tidaklah berat ia rasa, karena hatinya lebih bahagia. 

              Seperti biasa Aco selalu mencuci pakaiannya sepulang sekolah, ia paling tidak suka mengenakan pakaian bekas pakai yang berbau keringat sementara ia hanya punya satu. Rajin ia mencuci pakaian, menjemurnya, lalu ia setrika agar kering dengan sempurna. Memasuki kelas 3, pakaian Aco tidaklah lagi tampak putih, namun kuning. Beberapa temannya dengan santai memanggilnya si kuning. Aco tidak mengerti arti panggilan itu, namun ia selalu berpikir bahwa maksudnya bukanlah menghina. Dipanggil si kuning Aco tersenyum, dipanggil lagi ia tersenyum lagi, dipanggil berulang kali ia mulai diam, dipanggil dengan nada ejekan ia mulai tak tahan. 

Siang itu, jam pelajaran matematika kosong. Bapak ibu guru katanya sedang rapat. Anehnya, para siswa tidak dipulangkan lebih awal. Aco yang sedari pagi emosi dengan ejekan Kifli CS mulai memuncak amarahnya. Kifli mencolek bajunya, menyebutnya si kuning, lalu Aco murka. Berdiri ia, disambarnya buku pelajaran matematika di atas meja, setengah digulung, lalu dipukulkannya di wajah Kifli. Kaget lelaki hitam itu dengan serangan Aco. Tak pernah ia lihat si kuning yang ia olok bertahun-tahun ini marah. Ini kali pertama dan membuatnya tak punya kuda-kuda. 

“Diam kau bangsat!” Berteriak Aco hingga mengheningkan seisi kelas XII TKJ 1 itu. Sebagian ketakutan jika Kifli balik menyerang, sebagian lain justru menunggu momen itu datang. Kifli mematung di posisinya, masih sibuk menyadarkan kepalanya tentang apa yang ia alami barusan. Lalu Aco dengan langkah pasti mengayunkan kepalan tangannya pada Kifli. Hampir saja bogem itu mendarat, namun Aco menahannya. Tiba-tiba ia melihat Ratih yang duduk di salah satu sudut kelas, ia tak ingin Ratih melihatnya sebagai lelaki yang suka berkelahi. Lalu Aco menghentikan atraksinya.

Popular Posts