Selasa, 25 Maret 2025

10

 

            Di Kuala Timur, kisah cinta Mahesh dan Ranu seperti cerita rakyat, negeri dongeng, indah sekali. Mereka bertetangga dari kecil. Ayah Ranu adalah seorang bankir, ibunya pegawai negeri. Ranu lebih sering bersama pengasuhnya, Ajeng, yang kini jadi ibu mertuanya. Maka tak heran sedari kecil Ranu dan Mahesh saling kenal. Mereka bahkan selalu sekelas dari TK hingga SMA. Ranu yang cengeng, Mahesh yang gemar berkelahi, pasangan serasi kala itu. Bahkan seekor semut pun tak diizinkannya untuk menggigit Ranu. Mahesh sangat protektif. Begitulah yang tersiar di kampung Kuala Timur.

            Saat masih kecil, ayah dan ibu Ranu meninggal karena kecelakaan, jadilah Ranu tinggal dan menetap dengan neneknya di kampung Kuala Barat, yang hanya berjarak sekitar 15 KM. Senin hingga sabtu, Mahesh bersama dengan Ranu di sekolah, lalu di hari minggu Mahesh apel di rumah nenek Ranu hingga seharian. Itu terjadi bertahun-tahun hingga saat lulus SMA Ranu dan Mahesh sempat berencana langsung dinikahkan, tetapi Ajeng menolak. Bukan karena tidak setuju dengan Ranu, tetapi ia merasa terlalu muda jika Mahesh ingin menikah di usia itu. Setelah perdebatan panjang, akhirnya Mahesh bisa lulus dan setelah itu baru menikah. Ranu yang sudah lulus S1 dilarang Mahesh bekerja dan dipaksa menjadi ibu rumah tangga. Begitulah kehidupan mereka yang baik-baik saja hingga Mahesh tak ada.

            ”Ya agak nyesel buk. Tapi sudah terjadi.” Ranu seringkali bercerita ke Ajeng bahwa ia menyesal memutuskan tidak bekerja saat itu. Sekarang ia kesulitan mencari pekerjaan kantoran di usianya yang tidak lagi muda dan sudah beranak 2.

            ”Semoga nanti dikasih jalan.” Ajeng mengelus kepala Ranu, wanita setengah baya itu memang benar-benar menyayangi anak menantunya yang ia asuh sedari kecil itu.

            Setelah ditinggal Mahesh, belahan jiwanya, Ranu seperti menjadi orang yang berbeda. Ia jarang bicara, mengurangi interaksi dengan tetangga, memilih pasar yang jauh untuk sekadar beli sayuran dan lauk-pauk, punya rutinitas baru di luar yang entah dengan siapa, ia hanya bilang bahwa sedang berkumpul dengan teman-teman SMA, lalu tak jarang ia menginap di luar. Kebiasaan Ranu itu tidaklah mengganggu bagi Ajeng, Ajeng merasa wajar jika Ranu perlu waktu untuk melupakan Mahesh, wajar jika Ranu perlu berkawan agar tidak terpuruk di rumah, Ajeng selalu mengizinkan. Malah justru Elok yang cerewet, ia bertanya-tanya apa yang dilakukan kakak iparnya itu hingga menginap? Tetapi, Ajeng selalu punya jawaban yang akhirnya membuat Elok tak bisa marah lebih jauh.

            Pernah di satu malam, Ranu tak kunjung pulang, tetapi juga tidak memberi kabar. Ajeng tidak tidur, ia menunggu. Kedua anak Ranu pun turut gelisah, mereka terbangun berkali-kali hingga Ajeng semakin risau. Dengan perasaan yang menyiksa itu, Ajeng menghubungi Elok, berharap ada Elok yang bisa membuatnya lebih tenang atau sekadar meyakinkannya bahwa nanti juga Ranu akan pulang. Namun sayang, Elok justru semakin marah. Ia kesal dengan Ranu yang bahkan sedari dulu mncuri kasih sayang Ajeng darinya. Tetapi Ranu seperti tidak tahu diri.

            ”Jangan terlalu dimanja!” Elok meninggikan suaranya.

            ”Bukan manjain, ibu kan cuma kasih ruang to.” Ajeng berkilah.

            ”Kasih ruang kasih ruang, tunggu aja sampai dia bikin malu keluarga. Mana ada orang yang kerjaannya nginep di luar nggak ada kabar? Nggak ada bu.” Elok semakin kesal.

            ”Siapa tahu dia memang ada keperluan.” Ajeng masih membela Ranu.

            ”Keperluan apa malem-malem bu? Ya sudah kalua ibu memang seneng dibohongin sama Mbak Ranu, terserah.” Elok menutup teleponnya. Malam itu hingga matahari muncul, tak jua ada kabar dari Ranu, pun tak jua perempuan itu kembali. Hingga di hari ketiga barulah Ranu kembali dengan alasan klasik. Bantu acara di rumah teman SMA, yang entah siapa orang itu. Ajeng tak kenal. Seumur hidup Ranu bersama Ajeng, tetapi bari kali ini Ajeng merasa jauh sekali dengan Ranu. Gadis kecil yang selalu ia sayangi itu.

            Sejah dahulu, Ranu seperti anak emas Ajeng. Apapun yang Ranu inginkan, Ajeng selalu berusaha mewujudkan itu. Walaupun Ranu masih punya nenek, tetapi Ajeng merasa ia punya tanggung jawab untuk memastikan kebahagiaan gadis itu, dan itu yang membuat Elok geram. Pernah satu waktu, Ranu bercerita pada Ajeng bahwa motor yang ia bawa ke kampus sering mogok, dengan keadaan Ajeng yang terbatas ia berusaha meminjamkan motornya kepada Ranu, yang akhirnya membuatnya kerepotan sendiri. Ranu memang menolak, tetapi itu semakin membuat Ajeng merasa perlu meyakinkan gadis itu bahwa ia harus membantu. Ranu juga seringkali datang ke rumah hanya untuk bercerita tentang perkelahiannya dengan Mas Mahesh, dan sudah tentu Ajeng membelanya. Ranu sering bilang bahwa Elok tidak senang dengannya, lalu Ajeng marah dan menasehati Elok dengan keras. Pokoknya jika diurutkan anak kesayangan di rumah itu, Ranu lah posisi pertama. Maka dari itu, Elok sangat senang saat tahu bahwa kakaknya dilarang menikah dengan Ranu di awal-awal kelulusan SMA, ia berharap itu bisa membuat mereka berdua putus dan Ranu menjauh dari keluarganya. Tetapi sayangnya kegembiraan itu tidak bertahan lama, hanya dengan waktu 4 tahun, harapan Elok itu luluh lantak, hancur berkeping-keping.

            Ketidaksukaan Elok bukan hanya karena pilih kasihnya Ajeng ke Ranu, ia pernah beberapa kali menjumpai kakak iparnya itu berperilaku janggal. Di balik sifatnya yang berbicara lemah-lembut, Elok meyakini ada sisi lain Ranu yang berisi setan, jelmaan iblis, dan penemu kesurupan. Apapun itu, Elok ingin sekali berteriak.

            ”Mbak Ranu nggak sebaik itu buuuuuuuuuu!” Tetapi ia urung mengatakan itu karena sudah tentu akan sia-sia.

 

**

 

            Cerita tentang Ranu sudah seperti agenda harian antara Elok dan Aco. Elok mendongengkan nama Ranu berkali-kali dalam sehari hingga Aco hapal. Lelaki itu bahkan bisa membayangkan Ranu di kepalanya. Elok sangat amat jelas mendeskripsikan perempuan itu, dan sudah pasti isinya kuranglah baik.

            ”Jangan su’udzon.” Aco menasihati.

            ”Kamu nggak tau sih, coba kamu ketemu langsung pasti kesel.” Elok merengut.

            ”Kalian kurang komunikasi aja itu.” Aco masih berusaha.

            ”Ngapain?” Suara Elok meninggi.

            ”Habisnya kamu kalau ceritain dia menggebu-gebu banget yang, habis energimu membenci orang.” Aco terus berusaha.

            ”Ya wajar lah, dia keterlaluan. Dia nggak menghargai ibu.” Elok seperti melakukan closing statement. Ia memberikan penekanan di kalimat terakhir. Aco menyerah setelah itu, ia pun takut hubungannya memburuk karena ini.

            Tetapi di lain kesempatan terus saja mereka berdua berdebat terkait Ranu, tak ada habisnya. Elok sangat piawai membenci, sedang Aco merasa itu berlebihan. Sampai-sampai Aco merasa lebih mudah menasihati orang yang tengah jatuh cinta atau pendukung capres, dibanding menasihati Elok. Elok benar-benar seperti batu.

 

Senin, 17 Maret 2025

9

 

            Aco di mata Elok seperti lelaki sempurna yang tak ada celahnya, kekurangannya pun bagi Elok tetap membuatnya suka. Elok yang dimabuk cinta itu menghabiskan hampir seluruh waktunya kecuali mandi dan tidur, untuk memikirkan atau bertemu Aco. Aco ada dalam semua hal yang ingin ia lakukan sepanjang hari. Dari bangun tidur hingga kembali tidur, Elok tak luput merawat Aco dalam kepalanya. Hanya ada Aco, titik. Ia bisa bersuka walaupun kiriman uang ke orang rumah harus lebih banyak bulan ini, tak masalah. Elok bisa menghadapi dunia ini dengan uang pas-pasan, asalkan ada Aco di dalamnya. Ia seringkali melamun sendirian, dan kemudian tertawa kegirangan, tak berselang lama ia bisa menangis terharu, ia lalu bertanya pada dirinya sendiri, apa ia memang benar-benar sebahagia itu? Aco seperti menyodorkan buku kosong ke kehidupan Elok, membuat Elok dengan sukarela mengisinya dengan berjuta puisi, Elok jatuh cinta.

            Sejak kecil Elok terbiasa menulis buku harian, ia senang menyisihkan uang jajannya untuk sebuah buku atau binder yang bisa ia isi cerita-cerita sehari-hari atau tempat ia berkeluh kesah. Elok senang menulis, bahkan ia ingin jadi penulis.

            Saat itu di tahun 2004, perpisahan kakak kelas 6. Elok diminta Pak Pram untuk membacakan puisi dari adik kelas yang ditinggalkan. Pak Pram memanggil Elok ke ruang guru.

            ”Kamu salin ini ya, nanti bacakan di hari H.” Pak Pram menunjuk 1 halaman puisi yang akan dibawakan Elok. Elok mengangguk patuh, dan membawa buku itu ke kelas untuk disalin. Sebelum sempat menyalin, Elok membuka halaman lain di buku itu. Buku yang sepertinya tidak muda lagi. September 1993, 11 tahun lalu. Mata Elok berbinar-binar melihat buku itu. Ia takjub dengan bagaimana Pak Pram menuliskan setiap lembar demi lembar. Buku itu bukanlah buku catatan biasa, di dalamnya seperti sepaket surat cinta untuk seseorang, isinya amat puitis. Elok yang masih 10 tahun pun bahkan tahu ini bukan hanya ditulis dengan pena, tetapi juga sepenuh hati, dalam sekali.

            Yuni, nama yang beberapa kali muncul di buku itu. Elok menduga Yuni adalah mantan kekasih Pak Pram, karena istri Pak Pram bernama Siti. Elok terbayang bagaimana tragisnya kisah cinta Pak Pram jika benar demikian. Saat ia masih terpaku pada beberapa lembar halamannya, Pak Pram masuk ke kelas dan memulai pelajaran. Setelah pelajaran usai, Pak Pram meminta Elok menyelesaikan salinannya dan membawa kembali buku itu. Elok sedikit kecewa, ia masih ingin membaca lembar demi lembar di buku itu lebih lama.

 

**

 

            Tahun berikutnya, saat perpisahan Elok, ia menawarkan diri kepada Pak Pram untuk membacakan puisi perpisahan, puisi dari kakak kelas yang meninggalkan sekolah, Pak Pram mengiyakan. Sebelum hari latihan, Elok sudah berdebar membayangkan ia akan bertemu kembali dengan buku Pak Pram, buku yang sudah membuat ia tak tenang setahun terakhir, bisa-bisa ia mati penasaran sebelum sempat membaca semua isi yang ada di buku itu. Saat tiba di sekolah, Elok sudah langsung berinisiatif mendatangi Pak Pram di ruang guru. Saat Elok tiba, Pak Pram sudah siap dengan buku di atas meja. Elok bersorak dalam hati.

            ”Mau ambil puisi pak.”

            ”Oh iya.” Pak Pram berdiri, berjalan ke arah mesin fotokopi, mengambil selembar kertas dan menyerahkan ke Elok.

            ”Ini ya, kamu bawa aja, biar ada banyak waktu menghafal.” Kata Pak Pram. Elok kecewa, tubuhnya terkulai, ia mendadak sulit bernafas, penantiannya selama setahun sia-sia, pupus. Sejak saat itu Elok bertekad, ia ingin menulis bukunya sendiri, ia ingin menulis tentang seseorang dengan romantis, sebagaimana Pak Pram menulis tentang Yuni.

Nama Aco seperti tokoh dongeng yang hampir setiap halaman muncul dalam buku harian Elok. Seperti ingin jatuh cinta selamanya, Elok mempersiapkan banyak hal untuk mengabadikan Aco dalam sejarahnya. Ia ingin menciptakan Yuni yang lain dalam bukunya sendiri. Ia ingin kelak ada yang membaca buku itu, menjadi saksi bagaimana seorang manusia bisa merasa sedemikian berbunga.

 

**

 

Balikpapan, 23 May 2014.

 

Aku merenung sambil membuka jendela kamar, kubiarkan angin kecil yang hangat menyapu wajahku. Kupikirkan bagaimana aku bisa seberuntung ini. Apa yang sudah pernah kulakukan di masa lalu hingga Tuhan dengan berbaik hati menghadiahkan kamu?

 

            Elok hanyut dalam tulisannya, ia terhenti di kalimat tanya itu. Hatinya menghangat, perutnya terasa mual, jantungnya berdebar seperti hendak berlarian, hingga rasa haru membuat ia menangis. Terus saja itu yang terjadi sepanjang malam usai menulis.

            Pesan masuk ke BBM Elok.

            ”Udah mau tidur?”

            ”Udah, kamu?” Elok membalasnya.

            ”Belum, kamu udah isi botol minum?”

            ”Belum, besok aja.”

            ”Isi sekarang.”

            ”Iya.” Elok berdiri usai membaca pesan itu, ia meraih botol dan keluar hendak menuju dispenser. Kosong. Air habis. Sementara penjaga kost tak terlihat saat itu. Elok berinisiatif keluar untuk membeli air minum.

            Sepulang dari minimarket, Elok melihat sesosok lelaki yang ia kenal berdiri di depan pagar kostnya. Membawa 2 botol air mineral ukuran besar lelaki itu tampak menelpon seseorang. Saat lelaki itu berbalik, Elok langsung tersenyum lebar. Lelaki itu tampak kaget melihat Elok, lalu menyodorkan apa yang ia bawa.

            ”Aku udah beli.” Elok tersipu-sipu sata mengatakan itu.

            ”Pinter.” Aco mengusap-usap kepala Elok.

            ”Aku balik ya.” Aco pamit. Elok mengangguk.

            ”Hati-hati.” Elok merasa berdebar saat itu. Pergerakan Aco seperti di luar perkiraannya. Semua tiba-tiba, tetapi hatinya mudah sekali merasa istimewa.

 

**

 

            Pagi itu suasana kantor sedang ramai. Semua tampak terburu-buru seperti di kejar sesuatu. Elok tak luput dari itu. Beberapa orang sudah memintanya melakukan banyak hal sepagi ini. Ia cukup kewalahan. Sampai akhirnya Bu Santi memintanya meninggalkan pekerjaan lainnya untuk fokus membuat salinan data untuk bahan meeting dengan Chief.

            ”Ini tolong disesuaikan dengan yang kuemail ya.” Bu Santi hanya berpesan itu. Elok lalu sibuk fokus mengerjakan perintah Bu Santi. Ia memilah file-file yang perlu diprint dan difotokopi.

            Saat sudah tiba di depan mesin fotokopi, tiba-tiba ada yang memanggil namanya pelan.

            ”El, El.” Elok menoleh, dan ada Aco disana. Elok tersenyum.

            ”El.” Kini setengah berbisik namun nama Elok terdengar lebih jelas. Elok kembali menoleh. Aco memutar layar laptopnya, dan menunjukkan sebuah tulisan besar di excel.

            I LOVE U

            Elok seketika membalikkan badannya kembali, ia pun melihat sekeliling. Ada perasaan takut orang lain melihat, tetapi juga ingin membaca tulisan itu lebih lama. Ia merasa itu bukan hanya sekadar tulisan. Ia tak hanya membacanya. Ia seperti mengamini tulisan itu, seperti sebuah doa. Aco kembali memanggilnya.

            ”El.” Saat Elok berbalik, Aco sedang menatapnya. Mata bulat lelaki itu tampak berbinar-binar, setengah basah seperti ingin menangis, ada harus dalam tatapan itu, tatapan dalam yang membuat Elok terbang lagi dan lagi.

Antara senang dan malu, Elok menghardik dirinya sendiri. Ia geli dengan apa yang dilakukan kekasihnya itu, tetapi juga senang bukan kepalang. Di tengah kesibukannya pagi ini, ada seseorang yang membuat hatinya berdebar. Ia benar-benar dibuat jatuh cinta setiap hari.

 

Minggu, 09 Maret 2025

8

 

            Masih sama seperti masa-masa SMK, Ratih terus saja membuat perasaan Aco tidak menentu. Ia datang dan pergi, tarik ulur, menyatakan bagaimana ia sangat ingin bersama Aco, lalu di lain hari ia berkata menyesal, dan yang paling menyakitkan adalah hari itu. Saat Aco mengambil cuti kali terakhir, Ratih mengajak bertemu di Makassar, mereka bersama berhari-hari, seperti perpisahan Ratih tiba-tiba mengabarkan perjodohannya.

            ”Aku nggak punya alasan buat nolak.” Ratih menangis di depan Aco seolah menyesal. Aco tak banyak bicara, ia hanya memeluk perempuan itu dan turut menangis.

            ”Kamu harus patuh.” Aco terisak.

            ”Kamu nggak papa?” Wajah Ratih menatap dalam lelaki di depannya. Aco menggeleng.

            ”Aku pengen kamu datang.”

            ”Nggak mungkin.” Aco menggeleng. Ratih kembali menangis tersedu-sedu hingga fajar tiba.

            Sejak hari itu, Aco berusaha untuk ikhlas. Ia merasa tak terima, tetapi tak punya kuasa untuk merebut kembali kekasihnya itu. Ia belum siap, banyak yang perlu ia selesaikan. Menikah bukan prioritasnya kali ini.

            Beberapa hari kemudian kekasihnya itu menghubunginya, seperti tak ada apa-apa. Membiarkan nama Aco tertulis di profil BBMnya, seakan mereka masih sepasang. Ratih memberinya kabar, bertanya kabar, masih merayu dan melempar rindu.

            ”Ahhh taik.” Aco marah kepada dirinya yang masih saja goyah. Ia jawab setiap pertanyaan, ia panggil juga Ratih dengan sebutan sayang, ia pun memberikan perhatian, semua itu masih ia lakukan dengan sadar. Lalu sejurus kemudian ia menyesal saat ingat kekasihnya itu sudah dilamar. Tetapi ia pun tak punya keyakinan untuk mengabaikan perempuan itu. Ia lemah saat berurusan dengan Ratih.

            Tetapi, akhir-akhir ini, Aco mulai tak menjawab panggilan Ratih. Jika pun ia perlu menjawab, itu hanya saat panggilannya sudah mulai berpuluh-puluh kali, dan Aco merasa perlu untuk menenangkan gadis itu. Ia memberi alasan entah pekerjaan atau hal yang lain yang menyebabkannya tak bisa membalas pesan. Aco sedang disibukkan hal yang lain. Ratih mulai tak lagi punya pengaruh. Pikirannya teralihkan, pun dengan hatinya. Akhir-akhir ini Aco seperti punya semangat baru untuk memulai hidup.

 

**

 

            Sejak mengenal Aco, malam Elok tak lagi sama. Ia sering melamun, terngiang-ngiang suara Aco, terbayang-bayang matanya bulat. Bagi Elok, jika jatuh cinta pada pandangan pertama adalah mitos, maka sepertinya Aco adalah pengecualian. Elok bahkan tak lagi terganggu saat Gardana berhari-hari tanpa kabar. Ia justru lebih ingin menghabiskan malamnya dengan berdiam diri. Merenungkan interaksinya hari ini dengan Aco, mengarsipkan semuanya dalam memori dan membuat hatinya berbunga-bunga hingga tertidur. Sayangnya, Aco tak sekalipun mengirimi ia pesan. Mereka hanya bersama saat bertemu di kantor, atau membuat janji temu dengan Afif, semua secara tidak disengaja.

            Gardana memanggil.

            ”Halo.”

            ”Kamu lagi apa?”

            ”Nggak ada, santai. Kenapa?”

            ”Aku mau kita break dulu.”

            ”Kenapa?” Elok bingung.

            ”Aku nggak bisa LDR.” Hening, Elok tak bisa menjawab.

            ”Aku juga pengen fokus tugas akhir.”

            ”Oke.” Elok menjawab dengan lemas. Tak banyak basa-basi, mereka menutup panggilan itu. Malam itu Elok menangis, tetapi tangisan itu seperti hanya formalitas saja, agar ia tidak merasa bersalah pada Gardana. Ia harus bersedih saat berpisah, itu yang Elok pikirkan. Walaupun Gardana tak meminta benar-benar berpisah. Break? Istilah apa lagi? Apa ini hanya semacam cara baru untuk meminta putus? Atau apa? Elok menerima itu, bahkan seperti merasa lega.

 

**

 

            Sore itu, saat jam kantor berakhir. Elok tak sengaja bertemu Aco di parkiran. Mereka saling menyapa, tapi canggung. Sepulang dari Samarinda minggu lalu, mereka memang menjadi lebih berjarak. Apalagi saat ini Afif sedang tugas di luar kota, makinlah mereka tak punya alasan untuk bertemu.

            ”Malam ini sibuk?” Aco bertanya sembari memasang helm.

            ”Kenapa?” Elok bertanya balik.

            ”Mie ayam yuk!” Aco sambil tersenyum, Elok gugup.

            “Boleh.” Tak bisa Elok sembunyikan perasaan senangnya.

            ”Pin BBM.” Aco mengeluarkan ponselnya.

            ”BR91G26. Elok menyebutkan pinnya.

            ”Oke nanti kukabarin.” Aco lalu melajukan motornya. Sedang Elok masih terpaku disana, jantungnya berdegup kencang, tak bisa ia kendalikan rasa senangnya. Hilang sudah kesedihan putus dari Gardana. Ia bertekad melupakan lelaki itu.

 

**

 

            Selepas isya, Elok mondar-mandir di kamar. Berkali-kali ia mengecek ponselnya. Belum ada permintaan pertemanan. Ia gelisah sekaligus senang, perasaannya berdebar hebat seperti hendak dapat doorprize. Ia lalu berpikir, jangan-jangan pin yang ia sebutkan salah. Lalu ia bersedih kemudian. Lama ia menunggu hingga akhirnya pesan masuk.

            ”A. Zidane is inviting you.” Elok melompat kegirangan, ia menghempaskan tubuhkan ke kasur dan membenamkan wajahnya sambil berteriak. Ia bergegas menerima permintaan itu, lalu menunggu pesan masuk.

            ”PING!”

            ”Iya.” Hanya berselang sedetik Elok langsung membalas.

            ”Jadi?”

            ”Ok.”

            ”Kujemput?”

            ”Boleh.”

            ”OTW.”

            ”Ok.” Elok melompat dari kasur menuju lemari, ia bergegas mencari pakaian dan berdandan kilat. Ia tak ingin terlihat berlebihan, tetapi juga tak ingin terlihat buruk, ia mencoba sebaik mungkin agar tampak manusiawi di depan Aco.

            Aco berdiri di depan pintu menunggu Elok selesai Bersiap, Elok membuka pintu dan melihat lelaki yang mencuri isi kepalanya akhir-akhir ini muncul di depannya. Isi perutnya seperti ingin keluar, ia mulas, sekaligus gugup, debar yang tak bisa dijelaskan. Mengapa bisa sekilat ini ia melupakan Gardana? Mengapa semudah ini ia jatuh cinta? Mengapa harus Aco?

 

**

 

            Afif masih lama bertugas di luar, Elok dan Aco lebih banyak menghabiskan waktu berdua. Mereka dekat, hingga cerita Ratih dan Gardana bebas menjadi bahan obrolan sehari-hari. Aco yang senang Elok sudah putus. Elok yang lega Aco tak lagi dengan Ratih. Keduanya merasa dipertemukan takdir, hingga mereka merasa saling cocok dan ingin berkomitmen, ada satu hal lagi yang mengganjal di hati masing-masing.

            Malam itu di sebuah rumah makan padang.

            ”Break? Itu bener-bener putus?” Aco bertanya sekali lagi.

            “Apalagi?” Elok menjawab santai.

            “Kok dia masih ngechat?” Aco melihat notifikasi dari ponsel Elok, pesan Line dari Gardana. Elok menghela nafas, ia merasakan keragu-raguan Aco.

            ”Boleh kukasih tau dia tentang kamu?” Elok melihat dalam ke arah Aco. Aco mengangguk.

            ”Kita sudah putus beneran kan?” Elok mengirim balasan itu pada pesan bertuliskan kangen milik Gardana.

            ”Kenapa tiba-tiba nanya itu?” Gardana menjawab. Elok membaca itu dengan perasaan gugup. Lalu ia membalas. ”Aku dekat dengan orang disini.” Setelah mengirim pesan itu, Elok merasa berat. Entah mengapa ia sedih menuliskan itu. Apakah ini memang artinya hubungannya dengan Gardana selama ini benar-benar selesai? Karena Aco? Orang yang baru ia kenal? Lama Elok menunggu Gardana membalas, hingga balasan yang ia baca berikutnya membuatnya tangisnya pecah. Ia menangis sejadi-jadinya. Ada memori terputar ulang di kepalanya, banyak momen bersama Gardana yang membuat ia seperti terluka. Aco melihat itu dengan sedikit kecewa.

            ”Kamu nggak ikhlas?” Aco memegang tangan Elok. Elok tak menjawab dan makin terisak.

            ”Mau pulang?” Dengan lembut Aco menawarkan.” Elok mengangguk. Mereka pulang sebelum semua makanan habis. Aco merasa kurang nyaman melihat Elok menangis disana.

            Malam itu, Elok dan Aco tak banyak bicara. Mereka kembali ke kost masing-masing dengan ganjalan di benak masing-masing.

Kamis, 06 Maret 2025

7

 

Andi Ratih

Andi Zidane Ahmed

Keuntungan memiliki nama yang sama, keduanya diharuskan duduk berdekatan saat ujian, di kelompok yang sama saat presentasi, di waktu bersamaan saat praktik, piket di hari yang sama, bahkan saat Andi Ratih terpilih menjadi ketua kelas, dengan sukarela Aco mengajukan diri sebagai wakilnya. Andi Ratih bagaikan gula, sedang Aco semut satu-satunya. Sayangnya, pendekatan Aco pada gadis berwajah oriental itu hanya sebatas itu saja, tidak lebih, Aco minder, entah ajaran darimana itu.

Secara akademis Andi Ratih tidaklah menonjol, tetapi gadis itu pandai bersosialisasi, pandai membawa diri, jadi bergaul dengan siapapun bukanlah masalah. Itulah mengapa ia dengan mudah meraup massa untuk mendukungnya sebagai ketua kelas, yang kemudian sebagai kandidat ketua OSIS pula. Tidak terbantahkan kemampuan Andi Ratih dalam memimpin, konon ini juga karena pengaruh besar ayahnya yang menjadi pejabat penting di BUMN, entah apa itu. Kebanyakan dari kawan sekelasnya tidak terlalu peduli.

Andi Ratih memang tergolong siswi populer, walaupun bukan yang tercantik. Ia cenderung biasa saja, tidak terlalu pandai berias maupun menjadi pusat perhatian lawan jenis. Tetapi bagi Aco gadis itu paling bersinar. Dimanapun Andi Ratih berada, di kerumunan manapun, bahkan jika disejajarkan dengan artis manapun Andi Ratih tetap paling cemerlang di mata Aco. Definisi sempurna yang sesungguhnya.

Setelah sekelas hampir satu semester, baru hari itu Aco merasa seperti terbang melayang. Apalagi kalau bukan saat kali pertama Andi Ratih mengajaknya mengobrol. Akhirnya, setelah segala macam usaha dilakukan Aco dalam menunjukkan diri, gebetannya itu mulai sadar akan eksistensinya di bumi ini.

“Zidane, sudah dapat judul untuk tugasnya?” Di laboratorium hari itu saat jam istirahat mereka tak sengaja bertemu. Bagi Andi Ratih bukan sengaja, tetapi bagi Aco jelas ini kesengajaan yang sudah ia lakukan dari awal, yang menjadikannya lebih seperti penguntit dibanding siswa biasa. Yang Aco senang dari sapaan Andi Ratih hari itu adalah perasaan lega. Akhirnya setelah sekian bulan tembok di antara mereka berdua runtuh. Tembok yang selama ini membuat Aco overthinking, mengapa hanya dia sulit sekali mendekati Andi Ratih? Mengapa hanya dia satu-satunya orang yang sulit sekali dekat bahkan sekadar menyapa perempuan itu? Mengapa seperti semuanya mustahil. Padahal jika dilihat-lihat, Andi Ratih sangan friendly kepada semua orang kecuali Aco. Mengapa? Apa yang salah dari Aco? Pertanyaan-pertanyaan yang menghantui Aco hampir setiap malam. Terlebih setiap kali mereka usai dihadapkan menjadi satu kelompok, duduk berdekatan, rapat kelas, dan sebagainya. Aco selalu membenci kenyataan bahwa ia adalah satu-satunya makhluk di bumi ini yang kehadirannya seperti hanyalah bayang-bayang di mata perempuan itu. Bahkan pernah ia merasa, Apakah karena dia tau aku suka? Lalu dia risih? Lalu dia berharap aku menghilang dari hadapannya? Lalu-lalu lainnya yang sebenarnya tidak terjadi. Kenyataannya hari ini pertanyaan-pertanyaan bodoh dalam kepalanya itu terbantahkan, tidak patut.

“Belum.” Jawab Aco spontan, walaupun setelah ia menjawab baru ia sadar bahwa ia saja tidak tahu-menahu tugas apa yang dimaksud.

“Oke kita selesaikan nanti sore ya.” Andi Ratih melempar senyum sebelum berlalu meninggalkan Aco. Aco beringsut tersipu-sipu kegirangan, tak mampu ia sembunyikan rasa senangnya. Sampai ia kemudian bingung, memangnya sore ini mereka ada janji? Hah janji apa? Dimana? Sejak kapan janji ini dibuat? Dan kenapa dia belum tahu? Aco berlari ke kelas menghampiri Badawi, orang yang biasanya juga sekelompok dengan Aco.

“Tugas apa? Saya juga belum tau.” Kini bukan hanya Aco saja yang bingung, Badawi pun sama. Badawi lalu bertanya pada kawannya yang lain yang juga ia pikir tahu mengenai tugas itu dan tak satupun yang mengerti tugas yang dimaksud.

Aco semakin berpikir keras, apa yang dimaksud Andi Ratih. Ia kemudian menerka-nerka apa saja kemungkinan dan peluang tugas yang dimaksud Andi Ratih. Kemungkinan dan peluang itu bersifat liar berjejal di kepala Aco hingga ia semakin dibuat pusing sendiri.

Skenario pertama. Andi Ratih membahas tugas yang memang belum diketahui siapapun kecuali Andi Ratih, karena ibu wali kelas mempercayakan informasi itu pada ketua kelas. Dan beruntungnya Aco menjadi orang pertama yang diberi tahu.

Skenario kedua. Andi Ratih hanya lupa bahwa tugas itu sudah lewat dan karena dia tidak punya bahan basa-basi untuk menyapa Aco akhirnya ia memilih memakai pertanyaan itu saja. Atau karena pertanyaan tugas itu yang paling masuk akal ia tanyakan kepada Aco. Di skenario kedua ini Aco besar kepala, merasa ia amat spesial.

Skenario ketiga. Andi Ratih hanya salah orang, harusnya orang lain yang ia tanya mengenai tugas ini tetapi karena di lab hanya ada Aco maka spontan lah ia bertanya pada Aco. Tapi kenapa spesifik sekali memanggil dengan nama Zidane? Aco semakin mengusutkan benang yang sudah kusut di kepalanya.

Skenario keempat. Aco lebih memilih mempercayai skenario kedua. Karena hanya dalam kemungkinan itu ia bisa congkak, sombong, besar kepala, GR, PD, bahagia, yang semua perasaan itu jika dikumpulkan harusnya bisa membuat Aco terbang jauh ke langit ke delapan lalu berjingkrak-jingkrak di sana sampai Dewi Qwan in marah.

 

**

 

“Buka halaman 47.” Membawa penggaris kayu panjang Pak Taufiq memasuki kelas. Belum sampai ia tiba di mejanya, ia sudah dengan sigap meminta siswa-siswinya membuka buku. Bahkan di antara mereka pun beberapa masih sibuk bercengkerama satu sama lain. Pak Taufiq memang sedikit berbeda. Dia berjiwa muda dan sangat siap untuk menjejali murid-muridnya dengan soal-soal sulit dan tidak terjangkau manusia biasa. Setelah beberapa menit pelajaran dimulai, barulah Andi Ratih muncul memasuki kelas.

“Sudah bawa contohnya tih?”

“Sudah pak.” Andi Ratih membuka gulungan kertas karton di tangannya.

“Teman-teman mohon perhatian.” Andi Ratih lalu menjelaskan tugas berikutnya yang harus dilakukan seisi kelas dengan berkelompok. Dan setiap kelompok hanya terdiri dari dua orang dan bebas memilih.

“Andi Zidane, boleh ke depan sebentar.” Aco masih bingung mengapa gadis itu memintanya maju.

“Jadi, sekarang saya dan Andi Zidane sekelompok, maka kami berdua sepakat dengan judul yang diambil yaitu bla bla bla.” Aco sama sekali tak bisa menyimak apa yang dikatakan Andi Ratih. Bebas memilih kelompok, tapi secara sepihak Andi Ratih langsung mengajaknya, lalu langsung diumumkan di depan kelas, lalu ia merasa jauh lebih besar kepala dibanding skenario kedua yang ia agung-agungkan tadi, lalu ia mengingat-ingat tentang mimpi apa yang ia alami semalam. Ia terpaku menghadapi pikiran konyolnya hingga kertas karton di tangannya digulung kembali.

“Baik, sudah mengerti ya?” Andi Ratih menutup penjelasan singkat itu dan mengajak Aco kembali ke kursi.

 

**

Dari kelas menuju keluar gang sekolah Aco berjalan berbarengan dengan Badawi. Aco berpura-pura bertanya klise padahal ingin Badawi mengungkit kembali tentang kejadian di kelas tadi.

“Wi, kamu benar-benar belum tau tentang tugas tadi?”

“Harusnya saya ji yang tanya ke kita? Tidak tau memang kalau Andi Ratih ajak satu kelompok? Wah payah sekali pura-pura amnesia.” Badawi menjawab. Tetapi bukan respon semacam itu yang diharapkan Aco. Ia berharap Badawi memperoloknya karena beruntung Andi Ratih mengajaknya satu kelompok, lalu dibumbui cie cie supaya perasaan senangnya hari itu bisa semakin gurih. Tapi sayangnya, kawannya itu tidaklah peka.

“Sudahlah, aku duluan ya.” Dengan mengantongi sedikit kekecewaan Aco meninggalkan Badawi di belakangnya.

“Mau langsung balik?” Dari belakang Andi Ratih muncul menyapanya yang sedang menunggu angkot di depan jalan.

“Iye’.”

“Ayo.” Andi Ratih langsung menarik tangan Aco menaiki angkot yang sudah berhenti di depan mereka. Keduanya duduk berdekatan lalu dengan banyak bicara Andi Ratih mengoceh tentang banyak hal. Lagi-lagi untuk kali kesekian Aco dibuat terpana oleh gadis itu. Andi Ratih, idamannya. Cerita yang disampaikan gadis itu seperti sebuah puisi yang membuat Aco terbuai, pikirannya tak fokus pada isi cerita, ia justru terpaku pada gerakan bibir, ekspresi, hingga tangan gadis itu yang mendukung penuh emosi dalam cerita. Aco sesekali mengangguk-angguk, tersenyum, menjawab iya dan tidak pada beberapa kalimat yang bernada tanya, menanggapi sekenanya tetapi sebisa mungkin terlihat sangat antusias. Ia tak ingin sedikitpun memberikan kesan bahwa ia kurang tertarik. Ia harus tampak totalitas menjadi pendengar.

“Ndak turun?” Andi Ratih menepuk kaki Aco sambil menunjukkan posisi mereka sekarang. Aco baru sadar ia sudah tiba tepat di jalan besar menuju rumahnya. Andi Ratih masih di dalam angkot dan akan terus hingga Panakkukang.

“Mau kutemani?” Pertanyaan yang entah mengapa meluncur begitu saja dari mulut Aco, pertanyaan yang sejak dulu ingin ia keluarkan setiap kali harus berbarengan dengan gadis itu, pertanyaan yang hari ini punya kesempatan untuk terlontar.

“Ndak, aku sudah janjian sama teman.” Andi Ratih tersenyum dan melambaikan tangannya. Aco dengan berat hati turun dari angkot, merasa keberaniannya untuk mengajukkan pertanyaan itu seketika tertolak dalam satu kali jurus.

Di sepanjang jalan, Aco banyak berpikir. Sambil menendang-nendang kaleng bekas minuman bersoda ia menimbang-nimbang keberuntungannya hari ini. Ekspektasinya adalah target yang ia jadikan parameter, sikap Andi Ratih adalah hasilnya, sedang yang ia rasakan adalah hasil perbandingan antara sikap Andi Ratih dengan ekspektasi yang ia harapkan. Rumit. Tak ada ratio yang ia temukan dalam menghitung ini. Yang ia rasakan tidaklah terukur. Gadis itu seolah membuat ia terbang tinggi sekaligus merana dalam satu waktu. Perasaan macam apa ini?

 

**

 

 

6

 

Palakka, May 2004.

Doa dan isak menguasai pusara Petta dan petuahnya. Kepala Aco masih terbentur harapan bahwa yang ia saksikan bukanlah kenyataan. “Bangun, bangun, bangun.” Jeritnya dalam diam. Sanna terduduk di atas kursi plastik dengan pandangan kosong, matanya seakan bercerita bahwa jiwanya sedang terpukul, namun senyumnya kepada para pelayat yang tampak dipaksakan itu menegaskan ia ingin tampak tegar, walaupun justru terlihat makin menyedihkan. Gema duduk di sebelahnya, mengadahkan kedua telapak tangan, sigap mengucap “Aamiin” tatkala ustadz usai dengan do’a-do’a, tak bisa dibaca sedikitpun apa yang ada di pikirannya. Fatiyah sedikit berbeda, ia paling histeris ketika melihat Pettanya terbungkus kaku. Menjerit, mengamuk, menangis hingga air matanya tak cukup lagi untuk membasahi kornea, habis sudah. Hingga ia kelelahan, terdiam, bersandar pada Aco yang batinnya juga tak cukup kuat menyangga kesedihan adiknya itu. Sementara Andara sedang di rumah bersama nenek, bermain dengan mainan bunyi-bunyian yang membuat ia tertawa riang, bayi beruntung yang tak tahu-menahu perihal kehilangan. Petta meninggalkannya saat ia belum mengerti duka.

Beberapa pelayat yang hadir sungkan menghampiri atau menyapa Sanna. Beberapa yang lain tak ragu memeluk dan berusaha menenangkan ibu 4 anak itu. Lalu tak sedikit yang berusaha mengajak mengobrol, bertanya ini-itu, membahas hal rinci tentang penyebab meninggalnya Petta, yang seringkali membuat hati Sanna semakin terpukul. Ia tidak siap menghadapi itu semua. Namun sayangnya, tidak semua orang peka akan hal itu. Hari dimana jasad lelaki itu dikebumikan, seluruh kerabat dari berbagai penjuru Sulawesi Selatan berkumpul, menyaksikan Sanna yang sudah tentu akan tertatih-tatih membesarkan 4 anaknya yang masih kecil-kecil. Rasa iba, empati, kasihan, bersatu-padu menaungi Sanna yang dirundung duka bahkan nyaris pingsan hari itu, tetapi tidak ada yang mengerti bahwa Sanna hanya ingin menikmati kesedihan ini sendirian. Memeluk ulang kenangan-kenangan bersama lelaki yang dikenalnya sejak lama itu, Jalalludin.

            Dinding papan yang tidak rapat, bercelah, beberapa bagian mampu dilihat dengan jelas dari luar, jendela pun akhirnya ia biarkan terbuka sedikit karena udara sedang panas padahal sedang musim hujan. Sanna merebahkan kepalanya menatap langit-langit, melamun ia disertai gelisah yang membuatnya sulit memejamkan matanya. Ia memandangi tumpukkan beras dan bahan makanan lain serta amplop yang dibawa para pelayat tempo hari masih amat banyak. Tetapi, Sanna sadar itu semua akan habis dan ia harus bekerja. Dipandanginya Andara yang pulas tertidur setelah diberinya asi, kasihan ia melihat putri bungsunya itu harus ditinggalkan Petta saat ia belum mengerti apa-apa. Belum lagi saat ia melihat ketiga anaknya yang lain, tak tega ia membayangkan jika anak-anaknya itu kekurangan. Isak tak tertahan, air mata keluar dengan derasnya, sesak ia mengingat-ingat anak-anaknya, rindu ia pada mendiang suaminya.

            “Mammi, belum tidur?” Aco terbangun, melihat ke arah mamminya yang masih terjaga dan menangis. Semenjak Petta meninggal, Aco dan ketiga adiknya memang tidur bersama mamminya di kamar utama, karena mereka beberapa kali mimpi buruk dan terkadang pula merasa Petta hadir di mimpi mereka.

“Tidur lagi nak.” Sanna menyuruh putranya itu tidur.

“Tidur tidur.” Mammi mengelus-elus kepala Aco. Aco patuh, dengan memejamkan matanya namun dengan jelas ia masih merasakan kepedihan mamminya.

“Mammi, kalau aku berhenti sekolah saja bagaimana? Aku bisa jadi reseller es lilin Bu Ratmi, lumayan untuk tambahan uang saku Gema dan Fatiyah.” Sanna melihat putranya itu masih memejamkan mata, namun keluar dari mulut anak 13 tahun itu sesuatu yang diluar dugaan.

“Mammi masih sanggup beri kalian uang saku. Kamu belajar saja yang pintar, biar jadi orang sukses.” Sanna terus mengelus kepala anaknya, Aco mengangguk. Makin pedih hati Sanna mendengar apa yang keluar dari mulut putranya, ia bertekad harus berusaha sekeras mungkin agar tak berkekurangan.

            Belum lama Sanna berhasil terpejam, namun ia harus bangun kembali. Kerja kerja kerja, panggilan yang otomatis terdengar di telinganya. Inilah salah satu alasan, tidurnya semalam tidaklah tenang. Membersihkan rumah, menyiapkan sarapan, mencuci peralatan masak, mencuci pakaian, mempersiapkan pakaian sekolah, memompa asi, hingga membangunkan putra-putrinya dengan hati-hati, takut jika Andara ikut terbangun. Setelah jam menunjukan pukul 6, Sanna membuka pintu rumah, dirasakannya udara sejuk pagi itu memasuki rumahnya melalui celah pintu, ditariknya nafas dalam lalu ia hembuskan perlahan, lagi ia ulangi berharap kegelisahan yang ia rasakan bisa segera tercairkan.

Pagi ini Sanna sudah yakin dengan rencananya, mencari kerja. Sanna kikuk membayangkan itu, karena semenjak dipersunting Jalal tak pernah lagi ia bekerja terkecuali saat suaminya itu mulai sakit-sakitan dan Sanna terpaksa mengambil upah sebagai buruh cuci pakaian. Kali ini pekerjaan itu sudah pasti sulit ia dapat Kembali, karena banyaknya yang punya mesin cuci & laundry yang sudah mulai buka di dekat kantor desa. Pilihan pekerjaan lain yang terpikir hanya satu, tetapi kemungkinan Sanna ditolak juga 50:50. Yang penting usaha dulu.

Di rumah Pak Haji Darian pagi-pagi sekali sedang kedatangan tamu istimewa. Wanita berusia 36 tahun yang terkenal sebagai janda cantik beranak 4 yang baru 3 pekan ditinggal suami tercintanya, Sanna.

“Ada perlu apa pagi-pagi kesini? Ayo duduk dulu.” Menyambut baik istri pertama Pak Haji Darian melihat Sanna yang tampak amat putus asa itu, ramah ia walaupun instingnya sedang merasa curiga, “Jangan-jangan dia mau pinjam uang”. Dalam kepala Bu Haji itu terpikir beberapa alasan kalau-kalau benar adanya Sanna ingin meminjam uang. Alasan demi alasan ia cari-cari dan dikumpulkan menjadi 1 folder di otaknya untuk berjaga-jaga.

“Bu, saya sepertinya perlu pekerjaan.” Suara Sanna keluar dengan kecepatan yang amat lambat, bergetar, tak stabil, berfrekuensi rendah, dan tanpa penekanan sedikitpun. Mendengar ada tamu Pak Haji Darian bergegas keluar sambil membawa segelas teh di dalam gelas seng, tanpa canggung bergabung ia pada meja kotak dan sofa empuk dengan kayu ukir dari bahan jati termahal yang langsung didatangkan dari Pulau Jawa itu.

“Kerja aja besok di ladang. Mumpung kami kurang orang.” Kata Pak Haji Darian tanpa basa-basi, padahal istrinya ingin sekali mengatakan tidak karena merasa panen kopi di bulan-bulan ini tidak terlalu banyak dan jika menambah karyawan lagi pastinya akan menambah biaya operasional termasuk gaji dan makan siang. Namun, urung istrinya mendebat Pak Haji Darian yang terkenal tegas itu. Maka, jadilah Sanna karyawan resmi di ladang kopi terluas di Kabupaten Bone milik Pak Haji yang terkenal dermawan itu.

            Pagi itu memang belum terlalu terang, namun beberapa warga sudah sibuk lalu lalang. Ada penjaga pos kamling yang menuju pulang, ada pedagang yang sudah menuju pertokoan, ada petani yang sudah menuju ladang, dan yang paling banyak ialah ibu-ibu tangguh yang sudah berjejer di depan rumah masing-masing ada yang menyapu teras, ada yang menyiram kembang di halaman, ada yang menjemur pakaian, ada yang hanya duduk-duduk menunggu ayam-ayam memakan biji-biji jagung. Dan hampir semuanya, mengalihkan pandangan ke Sanna.

            Sanna memang cantik, tanpa berniat bersolek pun ia tetap tampak menarik. Terlebih yang tertarik bukan hanya laki-laki, namun perempuan juga. Tak ada yang bisa membantah, bahwa Sanna adalah lajang tercantik di desa Tanah Tengnga. Sanna mengenakan kaos lengan panjang berwarna maroon, lipstiknya berwarna pink tipis, sedikit ia bubuhi bedak tabur berwarna kemuning ke wajahnya, rambutnya terikat rapi, celana kulot berwarna gelap, dan terakhir tas kain kesayangannya hadiah dari Almarhum suaminya.

            Sanna tersenyum menyapa tetangganya, dari seberang rumah, samping kiri-kanan, hingga yang berjarak 5 hingga 10 rumah pun ada yang coba menyapanya hingga berpura-pura menyapu jalan raya. Setelah mendapati senyum dari Sanna, satu dua ibu-ibu saling pandang, memasang wajah tidak begitu senang, dan masa iddah Sanna lah yang kali ini menjadi bahan mereka.

            “Belum kering tanah kuburan Puang Jalal sudah sibuk dia tebar pesona.”

            “Kau lihat baju merahnya itu, dalam agama sudah jelas dilarang saat masa iddah memakai pakaian terang.”

            “Apalagi warna lipstiknya, seperti anak muda saja.”

            “Lihat juga rambutnya yang sengaja diikat biar lehernya terlihat.”

            “Aku dengar Sanna kerja di ladang kopi.”

            “Kerja di ladang saja begitu gayanya?”

            “Mungkin mau jadi istri ketiga Pak Haji.”

            “Kasihan anaknya ya, masih asi sudah ditelantarkan.”

            Satu dua bisikan-bisikan itu tidak hanya berhenti di lingkungan tetangga tetapi juga menyebar ke tempat lain, di sekolah dasar Fatiyah, posyandu, balai desa, puskesmas, pasar, ladang, toko kelontong, majelis, pos kamling, warung kopi, pangkalan ojek, semua penjuru Tanah Tengnga heboh soal Sanna, dengan tajuk utama “Janda dalam masa iddah yang sudah gatal tebar pesona.” Semua yang sampai dari mulut ke mulut itu adalah hal negatif yang tak jelas kebenarannya, terlupakan tujuan-tujuan baik dari perginya Sanna pagi-pagi untuk mencari nafkah, yang justru teringat adalah warna pakaian dan warna lipstiknya. Begitulah cara gosip menyebar, omongan yang tadinya berupa kedelai, tiba-tiba sore hari bisa sudah berubah menjadi tempe.

 

**

Sudah sebulan lamanya sejak kali pertama Sanna menjadi buruh petik kopi. Rutinitas yang ia jalani 4 hingga 5 kali seminggu. Memang tak setiap hari. Sanna harus menyisihkan setidaknya 2 hari dalam seminggu untuk seharian bersama Andara. Putrinya yang seringkali tantrum saat ia tinggal. Tak jarang ia pun tak tega melihat ibunya yang terlihat lelah mengasuh Andara seharian. Jadi, Sanna menjadikan setidaknya 2 hari sebagai hari libur untuk ibunya, Puang Ani. Karena, bekerja di kebun saat ini menjadi penghasilan utama Sanna.

“Ndak mau di rumah saja kita buka warung?” Takko adik kedua Sanna yang paling mapan di keluarga.

“Ndak ada ji modalku.” Sanna menjawab sembari menyetrika pakaian di depan TV.

“Pakai dulu uang kebun, kasihan masih bayi ditinggal terus.” Sanna terdiam, uang kebun yang dimaksud adalah warisan yang sudah dibagi oleh Puang Ani kepada anak-anaknya. Namun, Sanna enggan menjual itu karena ia jaga untuk biaya kuliah Aco kelak.

“Jual saja, nanti gampang saya carikan pembeli.” Takko masih berupaya, walaupu Sanna tau betul memang Takko lah yang ingin sekali membeli kebun itu.

”Lihat nanti saja, masih bisa aku ke ladang.” Sanna tetap dengan pendiriannya.

Memang, bagi orang-orang di kampung keluarga Sanna bukanlah tergolong keluarga susah, bahkan cenderung berkecukupan. Tetapi, pilihan Sanna untuk dipersunting Jalal lah yang membuat kehidupan Sanna cukup berbeda dibanding saudara-saudaranya. Sanna lahir di keluarga bangsawan Bone. Semua saudaranya menikah dengan sesama keturunan bangsawan, kecuali Sanna. Dan bisa dibilang, kehidupan Sanna lah yang paling susah. Terlebih sejak suaminya meninggal. Karena bahkan selama ini mereka tinggal di rumah warisan dari Puang Ani. Kasarnya, Jalal tak membawa harta secuil pun ke rumah itu. Modal cinta, begitulah pendapat satu keluarga saat Sanna memilih Jalal. Namun apa mau dikata, keputusan mereka berdua bulat dan susah dicegah.

“Kalau ada alasan yang lebih masuk akal selain dia tidak mapan, maka saya akan mundur.” Tidak ada, satupun anggota keluarga tak ada yang bisa memberikan alasan itu. Termasuk Puang Ani yang saat itu menentang keras. Jalal meminang Sanna dengan uang pas-pasan untuk kebutuhan acara yang sederhana. Sebagai putri sulung di keluarga, mau tidak mau Puang Ani yang akhirnya berkorban untuk memberikan acara yang sesuai dengan standard keluarga Bangsawan saat menikah. Semua tambahan biaya pesta hasil dari menjual tanah leluhur. Tak henti-hentinya rapat keluarga terus digelar sebelum pesta. Gengsi yang membuat acara itu menjadi semakin rumit. Sementara di luaran, terdengar Jalal yang memberikan uang panai bernilai besar. Saat itu Sanna malas turut campur lebih dalam perihal pesta, tujuannya hanya satu yaitu hidup bahagia bersama Jalal.

Selama hidup, Jalal tergolong lelaki rajin dan bertanggung jawab. Hanya saja sepertinya ia kurang beruntung dalam mencari nafkah. Ia sering gonta-ganti pekerjaan. Dan yang bertahan cukup lama hanyalah menjadi penjual rokok. Pekerjaan yang ia geluti dengan mengorbankan banyak waktu bersama keluarganya terganggu karena harus seringkali ke luar kota berhari-hari bahkan hampir sebulan. Jika ditinjau kembali, perhitungan Sanna tidaklah keliru. Ia merasa bahagia hidup bersama Jalal, lelaki yang pada akhirnya memberikannya empat orang anak.

 

**

Sanna rindu sekali dengan Jalal, suami yang ia cintai itu adalah sahabat terbaik baginya. Segala hal bisa ia ceritakan berjam-jam setiap kali Jalal pulang. Waktu terasa begitu berarti. Sekalipun terkadang dalam kekurangan, Jalal ada tipe lelaki yang hangat dan setia, walaupu diluaran dia terlihat garang. Sedang Sanna adalah perempuan pandai bersyukur yang selalu melihat Jalal dengan penuh cinta. Komplit. Sanna sangat bergantung pada kehadiran Jalal. Begitu pun sebaliknya. Setiap malam selepas isya, Sanna terbiasa menyiapkan segelas kopi hitam dan kudapan, entah pisang goreng ataupun jalangkote. Itu adalah kudapan favorit Jalal. Mereka terbiasa duduk berdua di ruang tamu, mengobrol kesana-kemari sementara anak-anaknya berkumpul di ruang tengah. Sengaja, mereka hanya melibatkan bincang ini berdua saja, agar bisa intens, dan ini sangat berguna bagi keduanya. Cerita-cerita kecil dari kegiatan di rumah, di sekolah anak-anak, keluarga besar yang rumahnya saling berdekatan, hingga kondisi perasaan Sanna terkini dengan terbuka mereka bahas setiap malam saat Jalal di rumah. Sedang Jalal pun sama, ia menceritakan bagaimana pekerjaannya, rekan-rekan kerjanya, perjalanannya, apapun itu ia ceritakan. Sanna merasa itulah alasan mengapa mereka berdua harus menjadi sepasang. Karena tak ada yang bisa lebih mengerti dirinya selain Jalal, pun sebaliknya.

Sedang selepas Jalal tiada, Sanna hanya bisa duduk sendirian merenung menghadap jendela kamar yang ia biarkan terbuka lebar. Ia berusaha membayangkan wajah Jalal yang lama-lama sulit ia bayangkan. Sanna mencari-cari dalam memorinya bagaimana wajah suaminya itu, tetapi selalu gagal. Sanna hanya merasa Jalal masih sangat dekat sekali. Sanna bisa merasakan, tetapi tidak dengan mengingat wajah. Ritual mengorek-ngorek memori itu ia lakukan hampir setiap hari dan bisa ia temukan jawabannya hanya pada saat ia membuka buku nikah yang berisi pas foto Jalal, itupun hitam putih, hanya itu yang bisa ia ingat. Padahal, di kepala Sanna, Jalal lebih luar biasa dibanding foto itu. Sanna kesal harus selalu kesulitan membayangkan Jalal yang lain, yang ia deskripsikan dalam tubuhnya bahwa lelaki ini adalah sosok yang sempurna, ya tubuhnya lah yang berhasil mengingat, tapi tidak dengan kepalanya. Memori Sanna tentang wajah Jalal rusak, digerus entah apa.

 

**

Diantara keempat anaknya, paling sulit menghadapi Aco. Aco sosok pendiam namun keras kepala, sikapnya jauh berbeda dengan siapapun, tidak dengan Jalal, dengan Sanna apalagi. Sedikitpun Aco tak pernah merengek meminta sesuatu. Sedang ketiga anak lainnya sangat mudah diajak diskusi, tetapi juga pandai menuntut. Aco berbeda sekali. Pernah suatu Ketika Aco didaftarkan untuk mengikuti paskibraka di Kecamatan Palakka, dari sekolahnya hanya beberapa yang terpilih, karena mempertimbangkan postur tubuh Aco terpilih. Tetapi karena disyaratkan harus Latihan hnmpir setiap hari, Aco memilih mengundurkan diri sebelum Latihan hari pertama dimulai. Alasannya? Ia sakit dan tidak mampu terlalu lelah. Alasan sesungguhnya? Ia harus membantu pekerjaan di kebun Puang Takko. Yang ia jalani atas permintaan mamminya. Walaupun di sisi lain, Aco sangat ingin ikut. Akhirnya Sanna paham, lambat laun Aco semakin mirip almarhum suaminya. Garis wajahnya yang tegas, matanya yang besar, hidungnya yang tidak terlalu mancung, bibirnya yang tipis, giginya yang tertata rapi, dan kulitnya yang kecokelatan. Semuanya adalah Jalal versi remaja.

Sedang Gemma dan Fatiyah sangat mirip dengan Sanna, pun Andara si bungsu bayi mungil yang cukup terlihat seperti Sanna walaupun nantinya bisa jadi berubah.

Untuk pertama kalinya Aco berani meminta sesuatu pada Sanna, yaitu bersekolah di Makassar, spesifik SMK, jurusannya pun sudah jelas, tinggal dimana pun ia sudah punya ancang-ancang, bahkan ia inisiatif untuk izin pada Puang Takko agar bisa tinggal bersama di Toddopuli. Hanya hal ini saja yang membuat Sanna senang sekaligus bingung. Anak laki-laki tertuanya ternyata sudah cukup dewasa. Seperti ia tahu persis akan hidup bagaimana. Dari kemauan Aco itulah, Sanna semakin semangat mencari uang, menjadi tulang punggung sekaligus pilar utama dalam melindungi keempat anaknya, dan yang pasti usaha untuk membuktikan bahwa ia suatu saat pasti berhasil.

Popular Posts